Kupang, Vox NTT – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta pemerintah provinsi itu untuk merevisi peraturan daerah (Perda) APBD 2021 terkait pinjaman daerah senilai Rp1,5 Triliun dengan durasi pengembalian selama delapan tahun karena adanya perubahan regulasi yang mengatur tentang pinjaman daerah.
Wakil Ketua Komisi II DPRD NTT Patris Lali Wolo mengatakan, persetujuan antara lembaga dewan dengan pemerintah terkait pinjaman daerah yang tertuang dalam Perda APBD 2021 waktu itu, yakni tidak ada bunga pinjaman atau bunga pinjaman nol persen.
Namun keputusan terbaru Menteri Keuangan nomor 125 yang diterbitkan pada Maret 2021 lalu, pinjaman daerah dikenakan bunga pinjaman sebesar 6,19 persen.
“Kami setuju adanya pinjaman daerah itu tapi perda APBD 2021 harus terlebih dahulu direvisi karena adanya perubahan regulasi ini, yakni dikenakan bunga pinjaman,” kata Patris kepada wartawan di Kupang, Rabu (19/05/2021)
Patris berargumen, karena rencana pinjaman daerah itu sudah dikenakan bunga, tentunya mempengaruhi nota kesepahaman sebagaimana yang telah diatur dalam Perda APBD 2021. Karena itu, pemerintah harus merancang skema pinjaman dan harus dibahas ulang.
BACA JUGA: Diduga Ada Investasi ‘Suram’ di Pemprov NTT Senilai 491 Miliar
Ia mengatakan, pembahasan itu menyangkut kemampuan dan potensi daerah dalam mengembalikan pokok dan bunga pinjaman.
Selain itu, menyangkut sumber potensi keuangan karena beban pinjaman bermuara kepada masyarakat, mengingat sumber pengembalian pokok dan bunga pinjaman berasal dari APBD NTT.
Pemerintah NTT sebelumnya sudah melakukan pinjaman dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sekitar Rp170 Miliar dan Bank NTT Rp150 Miliar.
Dengan demikian, total pinjaman daerah oleh Pemerintah NTT kurang lebih mendekati Rp2 Triliun.
Tentunya nilai yang besar ini sangat membebankan APBD karena selain mengembalikan pokok pinjaman, juga ditambah dengan bunga pinjaman sebesar enam persen atau sekitar Rp92 Miliar per tahun.
Jika durasi pengembalian pinjaman selama delapan tahun, maka total bunga pinjaman yang harus dibayar sekitar Rp736 Miliar.
“Ini bukan soal substansi pinjaman yang kita persoalkan tapi kemampuan keuangan kita, dan seperti apa skema analisis pemerintah terhadap kemampuan untuk mengembalikan, dan sumber keuangan lain yang bisa menunjang pendapatan asli daerah (PAD),” tandas politisi PDIP itu.
Perlu dicermati, target PAD yang ditetapkan cukup tinggi yakni sampai tahun 2023 sebesar Rp3 Triliun. Sedangkan pada tahun anggaran 2021 ditetapkan sebesar Rp2 Triliun lebih.
Sementara di satu sisi, target PAD tahun lalu tidak tercapai. Apalagi tahun ini pandemi Covid-19 belum berakhir dan badai siklon tropis seroja. Dengan demikian dipastikan, terjadi kontraksi ekonomi.
“Karena itu pemerintah harus mencermati secara betul pinjaman daerah yang akan dilakukan tahun ini. Dalam rapat bersama pemerintah, saya sampaikan bahwa pemerintah kurang cermat ketika melakukan pinjaman tahap sebelumnya, dan saat ini baru kita lihat. Waktu itu semuanya terlalu digenerasilisasi dan memudahkan, padahal persoalannya panjang. Beban bunga ini yang menjadi pertimbangan semua,” papar Patris.
Patris menambahkan, pada prinsipnya ia setuju dengan pinjaman daerah, tetapi soal nilai pinjaman bisa dikaji ulang. Hal ini menyangkut skema, kemampuan dan durasi waktu pengembalian serta mengubah nota persetujuan. Supaya dewan dan pemerintah tetap dalam rel regulasi dan dewan pun tidak dijebak atau terjebak.
“Saya sendiri dari periode pinjaman lalu mengingatkan agar hati- hati dalam melakukan pijaman daerah. Karena sebelumya sangat gampang sekali, dimana dokumen tidak ada sama sekali, kita dipaksakan untuk setuju saja,” ungkap Patris.
Prinsipnya, tidak ada masalah untuk percepatan. Tapi sangat diharapkan, kajian dan regulasi yang dihasilkan, semuanya disampaikan.
Karena itu, kata dia, pemerintah harus secepat mungkin melakukan kajian dan disampaikan ke dewan, supaya tidak dipasung menunggu seolah- olah polemik di dewan menjadi lama.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Ardy Abba