Oleh: Yohanes Mau
Kisah antara Damian dan Helena telah pupus. Fajar tak menyapa lagi seperti kemarin. Kemarin telah pergi dan hari ini hanyalah sisa dari kemarin.
Hari ini Damian masuk dalam dunianya demi secercah cerah di jalan hidup selanjutnya. Helena pun berlakon dalam dunianya demi gapai mimpi-mimpi yang masih bergantung di angan.
Keduanya telah berpisah untuk meraih mimpi demi esok yang lebih baik dari hari kemarin dan hari ini.
Senja hampir tenggelam di balik gunung Lakaan. Damian masih nikmati cantiknya panorama alam Fulan Fehan dan tawaran sejuk hembusan angin sepoi-sepoi basah yang menusuk tubuh mungilnya.
Tepat di ujung Kikit Gewen Damian memandang jauh dan imajinasinya menggembara hingga awan gemawan.
Ia menghadirkan kembali kisah ada bersama Helena beberapa hari lalu dalam acara Sumpah Pemuda dan kunjungan Tjahjo Kumolo sebagai Mentari dalam Negeri dari Jakarta Ibu kota negara Indonesia.
Kisah itu hadir lagi dalam sunyi yang basah. Ia kembali dan seolah sedang ada bersama Helena hari ini seperti kemarin.
Hembusan angin sejuk hadirkan kisah itu secara hangat.
“….Helena kekasihku engkau tahu dan rasakan betapa dalamnya cintaku kepadamu. Pergimu goreskan luka di dalam lubuk hatiku yang merah.
Jumpaku denganmu adalah penyatuan untuk menghidupkan hidup ini ataukah hanyalah menggoreskan luka di hati ini? Ah Helena, aku dan kau pernah menjadi satu dalam hangat selimut cinta syair “Lese Luan.”
Di sana jiwaku dan jiwamu menjadi satu dalam ikatan hasrat menuju dunia baru. Berpisah di batas hari adalah kisah piluh di dada dan terasa berat karena tembusi relung-relung terdalamku.
Wajah moleknya padang sabana Fulan Fehan diam seribu bahasa menyaksikan kisah haru itu.
Hari ini batas jumpa di akhir senja. Damian pegang erat tangan Helena dan bisik, “Sayang, kemanakah engkau akan pergi?” Sambil membelai rambutnya yang terurai lurus hingga pinggulnya itu. Helena hanya diam tanpa kata.
Air matanya meleleh basahi wajah nan molek. Damian tak biarkan air mata Helena jatuh, ia menyekanya dengan sapu tangan cinta.
Dengan suara isak tangis Helena bisik pada Damian, “Sayang, saya mesti pergi karena ayahku telah beri saya waktu hanya untuk hari ini dan esok saya harus ada bersama mereka di rumah seperti kemarin.
Tidak apa kita berpisah karena pergi adalah harapan dan rindu yang dinanti. Suatu saat fajar pagi masih merekah hangatkan relung-relung hati yang berkelopak menuju temu bila sang waktu masih izinkan kita lagi.
Namun entalah sampai kapan kehangatan itu terulang seperti ini?Dalam hangat rangkulnya Damian terperangah akan kata-kata indah yang keluar dari mulut Helena, sambil hangatkan tangan Helena di pipinya Damian menatap tajam dan dalam-dalam wajah Helena, “Ah Helena kekasihku pedih hati ini.
Andaikan saja tiada senja pasti perpisahan ini pun tidak terjadi namun mau bilang apa lagi. Segalanya telah berjalan secara otomatis dan tak tertahankan. Aku tak bisa membiarkanmu pergi.
Kekuatan cinta ini terlalu deras dan kalau Helena tidak percaya, rasakanlah denyut jantungku ini yang sedang bisik cinta tulus kepadamu…”Mobil Sinar Gemilang menunggu di pinggiran jalan sedangkan Helena masih hanyut di peluk Damian.
Tersadarlah Helena oleh suara panggil dari Faustin sahabatnya dari dalam mobil, “Helena saatnya kita pulang!” Tangan Helena terlepas dari genggeman Damian dan terjadilah perpisahan ini.
Sebelum beranjak bisik Helena pada Damian, “Kak, izinkanlah saya pergi, semoga kita jumpa lagi suatu saat nanti.”Helena melambaikan tangan sambil masuk dalam mobil dan tak lama beberapa menit mobil itu pergi dan hilang di hadapannya bersama senja.
Kini yang tersisa pada Damian hanyalah kehangatan dan basah air mata Helena disapu tangannya. Yang basah itu adalah kemurnian rasa cinta yang tulus antara dua sejoli yang saling menyatuh hingga hati terdalam.
Segala rutinitas bergulir dan berotasi bersama matahari dan detak jarum jam yang tiada henti tik tik tik menuju detik, menit, jam hingga lenyap tinggalkan luka.
Aku masih menyepi di sudut malam dan jalanan tak ramai seperti kemarin. Kucoba tanyakan pada rembulan, “dimanakah para sahabatku?” Rembulan hanya diam bungkus senyum.
Aku balutkan tubuhku dengan selimut cinta titipan Helena. Hangat selimut Helena mengalirkan rasa rindu ke seluruh ruang tubuh yang dilanda sepi.
Aku teringat akan kemarin yang tersulam dalam lingkaran tarian tebe bersama. Gandengan tangan bersama, rasakan hangat canda dan tawa-ria bersama itu hadir lagi.
Menusuk jantungku hingga kumat. Ah, aku tak berdaya lagi. Aku lemah tanpamu Helena. Sampai kapankah fajar baru merekah lagi untuk jumpa di esok yang baru?
Malam panjang selimuti segala rasaku dan kumat jantungku lelap bersama hangat selimut Helena. Memang benar jumpa itu adalah gores luka menuju pedih yang tak tertahankan. Kalau saja ada kesesuian antara kedua hati maka cinta bersemi bersama untuk abadi selamanya.
Namun terlalu sedih bila jumpa hanya menciptakan luka dan pergi untuk selamanya. Jumpa yang disesalkan di batas senja dan malam pun turut menangis akan kisah piluh anak manusia. Air mata basahi bantal kasih.
Benih-benih mimpi berkecambah bagai bibit kelor yang tumbuh dan kelak merangkul dunia dan rindunya.
Benarlah dunia ini hanya seluas daun kelor? Kalau demikian kita bisa jumpa lagi.
Hari indah bersama itu pergi dengan sejuta kenangan. Kenangan diantara hatiku dan hatinya. Kenangan yang terlukis hingga selamanya.
Kemarin kita masih bersama petik matahari di bukit sabana Fulan Fehan. Bunga kaktus menjadi mawar baluti indah kemarin.
Karang dan binatang piaraan di sekitarnya turut menari bahagia dengan alunan syair lagu “Lese Luan.”
Bunga-bunga desa berdandan dan mekar kembangkan aromanya bersama angin sepoi-sepoi basah.
Sejuk segar aroma memantik rasa pencinta alam jelajahi hingga memeluk erat mawar desa.
Sedih berlarut menyayatku tanpa kasihan. Luapan kegembiraan seribu cinta di langit Fulan Fehan pergi tinggalkan jejak terdalam.
Jejak itu abadi bersama basah air mata di pipi. Kisah ini lebih gema gaungnya dibanding kisah berdarah di jalur Gaza antara Israel dan Palestina.
Kisah di batas senja hanya sekali namun membekas dan abadi terkenang, tak lekang oleh ruang dan waktu. Kisah seribu cinta lenyap sekejab oleh pisah jarak antara aku dan Helena.
Helena hadirmu membunuh aku sebelum ajal menjemput. Andai saja kita tak berjumpa pasti kisah cinta tak basah seperti ini.
Setelah perih lara berkurang aku pun insyaf ternyata pisah antara aku dan Helena hanyalah cara jitu agar hati tidak terlalu hanyut jelajahi satu hati saja. Hanyut dalam fantasi pada satu hati saja itu adalah lupa akan hati yang lain.
Karena sejati hati mesti menjangkau dan jelahi sekat batas agama, budaya dan tradisi serta memeluknya menjadi hangat cinta dari aku yang lain.
Helena terima kasih untuk aliran hangat cinta di langit Fulan Fehan. Manis senyum dan kisah-kisahmu menghidupkan hati ini untuk bertahan hadapi derasnya badai hidup di tengah padang pasir dan semak belukar negeri ini.
Suguhan syair “Lese Luan” dan tariannya menggugah hati musafir untuk tetap setia berkanjang walau matahari pagi enggan terbit.
Mari kita bergandeng tangan bersama, bulatkan hati bersyair “Lese Luan” tebe di bukit sabana Fulan Fehan tempat segala rindu pulang dan bersemi seperti dulu lagi.
Helena dan balutan hangat “Lese Luan” menyatuhkan kita dan memisahkan hatiku dan hatimu. Rindu yang tulus kelak akan mekar bersama bunga kaktus dan aromanya menembusi langit Fulan Fehan.
Rindu yang dalam untuk negeri kecil Fulan Fehan. Surga turun di bumiku, bumi dia, bumimu, bumi mereka, dan bumi kita. Helena dan Fulan Fehan dalam balutan hangat Lese Luan abadi.
Kisah ini bersemi dan abadi hingga pada generasi selanjutnya. Biarlah segala makluk bergembira dan memuliakan ciptaanNya di bukit cinta Fulan Fehan hingga menggapai surga sebelum senja pamit.
Damian dan Helena belum jumpa lagi setelah perpisahan itu. Senja pun lenyap. Entahlah dimana dan sampai kapankah terjadi lagi jumpa…”
Relasi cinta yang indah tak selamanya memiliki hingga napas selesai. Namun biarkan cinta pergi melalang buana hingga menjamah setiap hati yang sedang resah dan gelisah dalam melakonkan drama hidup di atas panggung dunia ini.
Catatan:
Kikit Gewen adalah sebutan dalam bahasa bunaq di hadapan bukit tinggi. Kalau diterjemahkan secara harafiahnya; kikit, Elang, dan gewen, wajah/rupa. Maka Kikit Gewen dapat dimengerti sebagai wajah atau rupa elang.
2. Damian, Helena dan Faustyn bukanlah nama sebenarnya.
3. Lese Luan adalah syair indah yang sering dinyanyikan oleh orang bunaq dan khas dalam menarikan Tebe bersama.- Tebe adalah tarian bersama orang Belu dan Malaka.
5. Lakaan; dalam bahasa Tetun; menyala sendiri. Lakaan diartikan sebagi gunung yang menampakan cahaya, memantulkan terang. Bercahaya, bersinar, terang.
Yohanes Mau
Penulis warga Belu Utara NTT Indonesia
Penikmat sastra
Kini sedang bertualang di Zimbabwe-Afrika.