Ruteng, Vox NTT – Lima Pilar Foundation menggelar webinar yang bertema Literasi di Manggarai, Berada di Persimpangan Jalan pada Sabtu, (29/05/2021). Webinar yang diikuti 150 peserta itu menampilkan pembicara, antara lain dosen Unika Santu Paulus Ruteng Marianus Manto Tapung dan pegiat literasi Tarsi Gantura.
Dalam kesempatan itu, Manto Tapung memaparkan peta literasi Indonesia berdasarkan penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) pada Desember 2019. Disebutkan bahwa Indonesia merosot di bidang membaca, sains, dan matematika.
Skor membaca Indonesia hanya 371 atau bertengger diperingkat 72 dari 77 negara. Selanjutnya skor matematika hanya 379 atau berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sementara skor sains hanya 396 atau berada di peringkat 70 dari 78 negara.
Sedangkan riset Central Connecticut State University 2016, literasi Indonesia berada di tingkat ke-2 terbawah dari 61 negara. “Hanya satu tingkat di atas Bostwana. Indonesia menduduki urutan ke 60 dari 61 negara dalam hal kemampuan literasi,” papar Manto.
Selanjutnya, hasil penelitian Perpustakaan Nasional 2017, rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu dengan durasi waktu membaca per hari re-rata 30-59 menit. Sedangkan jumlah buku yang diselesaikan per tahun re-rata hanya 5-9 buku. Beda jauh dengan Singapura yang masyarakatnya bisa menghabiskan waktu 2-3 jam per hari untuk membaca dan pertahun membaca 20-30 buku.
“Berbagai kondisi ini disebabkan oleh kebiasaan membaca yang belum mulai dari rumah, perkembangan teknologi yang makin canggih, sarana membaca yang minim, ketiadaan motivasi untuk membaca, dan sikap malas untuk mengembangkan gagasan, ide dan wacana,” jelas Manto.
Akibatnya, lanjut Manto, berbagai ujaran kebencian, berita hoax, radikalisme, dan intoleransi merupakan ancaman besar yang tengah melanda masyarakat Indonesia. Ia mengutip survey dari CIGI-Ipsos tahun 2016 yang menyebutkan sebanyak 65% dari 132 juta pengguna internet di Indonesia percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa cek dan rechek.
Pembicara lain, Tarsisius Gantura, menyebutkan kondisi tanpa cek dan rechek ini diperparah oleh rendahnya kemampuan dalam mengolah informasi.
“Tidak ada pertanyaan terhadap informasi. Semua informasi dianggap benar, tepat dan layak untuk dikonsumsi. Ini terjadi karena kita sering dan suka dianggap intelek, update, keren/hits. Kita menilai kebenaran informasi berdasarkan kecepatan, bukan ketepatan. Hanya karena pingin dinilai seperti itu,” cibir Tarsi.
Karena itu, menurut Tarsi, setiap informasi yang dibaca harus diolah melalui pertanyaan. Sehingga ketika disajikan, informasi tersebut menjadi informasi yang jelas, logis, lengkap dan beragam.
Tarsi juga menyinggung peran pemerintah yang dinilai belum mampu mengembangkan program literasi berbasis gerakan. Program literasi yang dijalankan pemerintah selama ini, kata dia, lebih ke arah seremonial dan insidentil yang cenderung mengarah ke sesuatu yang artifisial.
“Pemerintah kita masih sangat suka membuat yang populer demi popularitas bukan substansial,” katanya.
Membenarkan hal itu, Manto Tapung menyebutkan angka putus sekolah tidak dijadikan sebagai statsitik untuk merumuskan program kebijakan yang tepat buat masyarakat. Padahal tingginya angka putus sekolah memberikan dampak yang negatif terhadap iklim literasi.
“Ketika banyak orang putus sekolah karena kondisi ekonomi yang tidak memadai, maka literasi yang baik menjadi utopis,” ucap Manto.
Ia pun membeberkan data yang berkaitan dengan kemiskinan di Manggarai. Pada tahun 2020, angka stunting di Manggarai mencapai 5.322 kasus. Angka kemiskinan 20,83%. Sementara angka IPM 63, atau urutan ke-11 di NTT.
“Data-data ini paling tidak mengatakan kepada kita bahwa kondisi ekonomi yang baik memberikan sumbangan positif terhadap kemajuan budaya literasi. Sebaliknya, akan menjadi tugas dan kewajiban banyak pihak untuk melakukan peran yang signfikan menghadirkan literasi yang baik,” terang Manto.
Webinar itu akhirnya merekomendasikan kepada Pemkab Manggarai agar memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat jika literasi menjadi tujuan bersama.
Penulis: Leo Jehatu
Editor: Yohanes