Oleh: Yasintus E. Darman
Seperti biasanya, tak sedikit orang dari berbagai kalangan, baik akademisi, aktivis maupun pemerhati sosial NKRI akan menggaungkan wacana dengan meringkus satu moment penting, lalu dibungkus dengan bingkai ide dan diekpresikan dengan penuh harapan mulia, yaitu menciptakan negara bangsa yang adil, sejahtera, persatuan dan kebijaksanaan, seperti yang dikehendaki oleh nilai-nilai pancasila.
Tindakan ini jelas dipandang mulia. Sebab, satu sisi akan menciptakan iklim demokrasi yang bermanfaat bagi perjalanan negara bangsa ke depannya. Kemudian di sisi lain menunjukan kepedulian dan kecintaan yang besar bagi NKRI.
Kali ini, tepatnya tanggal 1 Juni yang merupakan hari lahirnya Pancasila, telah berseliweran atau berlimpah ide dalam memotret praksis pancasila dalam ruang keindonesiaan.
Ada yang bernuansa motivasi dan pula yang berbau kritik. Tetapi, ketahuilah bahwa semunya itu punya tujuan mulia.
Kali ini sebuah potret anak Timor terhadap satu peristiwa nasional 1 Juni yang kita rayakan, sesungguhnya berangkat dari refleksi yang kian mendalam atas sejumlah persoalan yang membanjiri ruang publik ahir-ahir ini.
Konflik vertikal dan horizontal setidaknya mereprensentasi peristiwa yang mengiris hati yang kemudian menjadi tesis dasar tulisan ini digaungkan.
Kita perlu jujur kalau sesungguhnya ruang kehidupan kita masih jauh dari harapan pancasila. .
Padahal kalau ditelisik secara konseptual, nilai-nilai pancasila adalah roh yang menghidupkan Indonesia. Konsep ini aromanya jelas, yaitu kesejahteraan masyarakat. Ini yang harusnya diperjuangkan.
Potret Pancasila dalam praksis kenegaraan, menuntut saya untuk menggubris Pancasila dengan kebijakan publik dan pancasila dengan praktik masyarakat melalui basis rumusannya ialah Apakah seusia pancasila, antara konsep dan praktik dapat jalan beriringan? Ataukah keduanya berpisah di persimpangan?
Jelas, yang mau kita ambil adalah perkara kebijakan harus berlandas pada konsep yang ada pada nilai-nilai pancasila.
Basis fakta dan pendekatan dijadikan sebagai acuan analisis. Sebelum kita melirik lebih jauh, ada hal urgen yang harus kita lihat dan kaitkan antara makna simbol pancasila dengan praktek kenegaraan.
Makna Simbol Pancasila dengan Praktek Kenegaraan
Saya yakin seratus persen, sesungguhnya teman-teman pasti merasakan yang sama dengan saya, bahwa peristiwa 1 Juni merupakan kebahagian terbesar dalam diri kita.
Sebab, pancasila telah memberikan kita jalan yang terang untuk mengarungi samudra negara yang amat luas, apalagi saat ini serba bertarung dalam ranak ekonomi politik diruang globalisasi yang semakin membabi buta.
Dalam konteks itu, Pancasila sesungguhnya menjadi tameng kita, maka makna simbol-simbol pancasila menarik untuk ditelanjangkan. Sebab, padanya terdapat roh kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus kita jaga dan rawat.
Konfogurasi Pancasila tampak dalam simbol-simbolnya, yaitu: Bintang tunggal, rantai emas, pohon beringin, kepala Banten, padi dan Kapas.
Kelima simbol itu tertuang dalam sila-sila pancasila dan saya tidak perlu menjelaskannya, karena saya yakin teman-teman pasti memahaminya dengan lebih sempurna dari saya.
Tetapi, yang perlu di periksa adalah makna di balik nilai-nilai itu. Praksisnya, dalam ragam kenyataan, simbol-simbol dan nilai-nilai pancasila tidak selamanya diterapkan.
Kita boleh menyebut beberapa kasus, mulai dari perbedaan pembangunan antara Indonesia Timur dengan Barat, masalah rasisme, terorisme di Poso, Intoleransi, bantuan sosial yang salah sasaran dan korupsi bansos, korupsi di tengah kedaruratan yang meraja lela, ini adalah sebagian kecil kenyataan yang terjadi dalam praktek kenegaraan.
Kalau boleh jujur, praktik tersebut bersumber dari masyarakat, negarawan, elit maupun tokoh politik Negara.
Insiden ini terus merangkak mulai dari pemerintahan orde lama sampai sekarang dan menjadi biang kerok defisitnya Negara dalam segala aspek.
Peristiwa tersebut jelas mengindikasikan kegagapan dan kelalaian masyarakat dan pemerintah dalam memahami dan mengaplikasikan konsep yang terkandung dalam nilai-nilai pancasila.
Selain itu, agak keras saya menyebut bahwa itu adalah bukti tidak bermoralnya masyarakat dan pejabat negara kita. Sebab, masih membiarkan peristiwa itu terjadi.
Lalu, apakah harapan kita untuk mencapai indonesia maju tanpa membersihkan puing-puing kejahatan tersebut dapat tercapai? Saya kira kita hanya mimpi di siang bolong.
Bersihkan dulu ampas penoda itu baru kita menikmati harapan pancasila. Jelas, ini menjadi tantangan kita kedepannya bahwa dengan segenap hati kita mengikis seluruh sisa-sisa kekelaman itu, agar ruang kehidupan kita tercipta apik nan rapi.
Sebab, dengan itu Pancasila menjadi rill. Kalau tidak, Pancasila sama dengan hayalan.
Aspek Penting Pancasila dalam Praksis Kenegaraan
Pertama, aspek historis. 1 Juni 1945 merupakan hari lahirnya Pancasila. sesungguhnya kalau boleh jujur, founder father kita memiliki harapan mulia di balik pembentukan pancasila.
Selain itu, pembentukannya didasari oleh pergulatan ide dan emosional yang menguras tenaga dan relasi para pendiri.
Lantas, apa yang kita jawab dari pengorbanan itu? Apakah dengan praktek kebencian, penindasan, diskriminasi, intoleransi, korupsi, kolusi dan nepotisme yang masih melanglang buana di NKRI?
Potret kenyataan itu menjadi dasar nodanya kesucian para pendiri Bangsa sekaligus pendiri Pancasila dan kesucian nilai-nilai dan makna dibalik konfigurasi Burung Garuda Pancasila.
Setidaknya, harapan dbalik perjuangan pendiri pancasila harus kita hargai dengan praktek yang sesuai.
Kedua, aspek yuridis. Dalam Undang-undang Dasar 1945, Pancasila merupakan dasar negara dan hukum tertinggi.
Artinya, segala regulasi yang ada tidak boleh berbenturan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
Jelas, bukan karena hanya nilai-nilai tersebut dianggap suci, melainkan mampu memeluk dan mengintegrasikan seluruh kebutuhan masyarakat Indonesia yang multikultur dari Sabang sampai Merauke.
Pancasila mampu menciptakan kesejahteraan negara Bangsa NKRI. Pada tataran itulah kita pantas mengakui pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara.
Ketiga, aspek sosial budaya. Pada aspek ini, pancasila dengan nilai-nilainya mampu mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat.
Jelas ini sangat proporsional dalam kaitannya dengan wajah Indonesia yang karakternya multikultural.
Narasi di atas ahirnya membuat kita tiba pada suatu ide yang berbasis argumentasi logis bahwa harapan pancasila masih jauh dari kenyataan.
Sebab, dalam praksisnya, ada berbagai kenyataan rill yang seringkali berbenturan dengan sila-sila pancasila. Padahal, roh kehidupan kita ada dalam tubuh pancasila itu.
Oleh sebab itu, sesungguhnya tidak ada kata terlambat, harapan pancasila masih mampu dicapai hanya dengan bergandengan tanagan antara masyarakat dengan pemerintah.
Maka, marilah kita secara bersama-sama, pemerintah dan masyarakat untuk bergandengan tanagan merapikan indonesia yang centang perenang ke iklim yang segar dan pehuh dengan kesejahteraan.
Penulis adalah mahasiswa Sosiologi Undana Kupang