Borong, Vox NTT-Sikap Wakil Bupati Manggarai Timur Stefanus Jaghur disebut plin-plan atas lokasi tanah yang akan dibangun Bandara di Tanjung Bendera, Kabupaten Manggarai Timur.
Sikap tidak konsisten Wabup Jaghur itu disebut tidak sesuai dengan sikapnya saat pertemuan dengan sebanyak sebelas orang utusan dari Waerana kala menggelar pertemuan dengan dirinya pada 30 Mei, sehari sebelum acara penyerahan tanah untuk lokasi Bandara di Tanjung Bendera.
“Kami 11 orang diutus dari Waerana mewakili Suku Suka Rato Ame Nggaong, Suka Kelok, Roka, Motu Poso dan suku Tanda untuk memastikan kegiatan apa yang dilakukan Pemda dan beberapa suku seperti Motu Pumbu, Nggeli, Kewi. Apa betul seperti yang disampaikan oleh wakil bupati bahwa kegiatan pada tanggal 31 Mei 2021 adalah sebatas peninjauan lokasi, bukan untuk pengukuran dan sebagainya,” ujar R. Flavianus salah satu warga yang bertemu Wabup Jaghur kepada VoxNtt.com, Selasa (01/06/2021).
Flavianus mengaku pada saat pertemuan pada 30 Mei lalu, Wabup Jaghur mengatakan baru mengetahui jika ada persoalan seperti itu.
Kala itu, pihak Flavianus menyampaikan bahwa surat-surat penolakan mereka sudah banyak tetapi tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah.
“Ada apa ini, seperti dipaksakan. Info yang beredar bahwa sudah ratusan miliar uang yang dihabiskan untuk pengadaan tanah Bandara, pertanyaannya, ke mana uang itu?” tukasnya.
Pada malam itu Wabup Jaghur mengatakan bahwa akan ke lokasi esok harinya dan hanya kegiatan peninjauan atau jalan-jalan saja.
“Ternyata ada penyerahan sepihak oleh Motu Pumbu,” katanya heran.
Tidak sampai di situ, Flavianus dan sejumlah utusan dari Waerana, esok harinya saat acara penyerahan tanah lokasi Bandara di Tanjung Bendera juga turun ke lokasi.
Ada 11 orang yang diutus ke lokasi. Mereka yakni, Benediktus Sejarah, R. Flavianus (utusan Suka Rato dan Suka Kelok), Lukas Ngoi (utusan Suku Roka), Iren Laghung (utusan Motu Poso), Nobertus Nekong (utusan dari Suku Ramba- Anak Wina Suku Roka) dan utusan dari Suku Tanda.
Setelah sampai di lokasi, Flavianus dan warga lain berniat bertemu dengan Wabup Jaghur, anggota DPRD, dan para pihak yang merekomendasikan kegiatan peninjauan tersebut.
Flavianus mengaku pihaknya difasilitasi oleh beberapa anggota Polres Matim.
Sebelum itu, lanjut Flavianus, mereka diprovokasi oleh beberapa oknum dengan menghujat, sambil mengacungkan parang.
Pihak Flavianus lantas menanggapinya dengan biasa-biasa saja, sebab mereka tidak berniat untuk bertemu orang-orang tersebut.
“Ketika situasi tidak memungkinkan, kami disarankan oleh pihak Polres Matim untuk kembali dan dikawal oleh 1 anggota polres. Kami nyatakan bahwa apapun kegiatan hari ini, 1000% kami menolak,” tegasnya.
“Kami hari ini sudah datang ke lokasi dan kami menyaksikan kegiatan itu, kami pastikan bahwa setelah hari ini, kami akan datang lagi besok, lusa dan seterusnya,” kata Flavianus.
Flavianus menegaskan bahwa mereka akan datang kembali melibatkan seluruh rumpun Suka Rato Ame Nggaong, baik yang di Waerana maupun yang ada di Kecamatan Kuwus, Welak, Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat.
“Selain itu Suka Kelok juga akan melibatkan keluarga besar Kelok yang ada Sambi Rampas (Wae, Wae Kara dan sebagainya) dan Elar, Elar Selatan. Perjuangan kami akan indah pada waktunya, catat itu,” tegasnya.
Menurut dia, kegiatan penyerahan dilakukan secara sepihak dari Motu Pumbu ke Pemda Matim.
Flavianus mengatakan, lokasi Bandara berada dalam wilayah adat Suku Roka yang diberikan mandat oleh leluhur Suka Rato dan Suka Kelok untuk menjaga dan mengurusnya.
Hal ini, lanjut dia, kontra dengan yang disampaikan Wabup sebelumnya.
“Kami sampaikan juga bahwa, akan ada bencana besar bagi pelaku-pelaku setelah ini,hal itu bisa kami rasakan dari kejadian hari ini,” tandas Flavianus.
Ia menegaskan, pihaknya bukan penghambat pembangunan Bandara seperti yang diisukan. Mereka mendukung rencana pembangunan Bandara, tetapi harus melalui prosedur adat yang pas dan benar.
“Bukan sembarangan orang atau suku hanya karena timses Pilkada kemarin,” imbuhnya.
Memicu Konflik
Flavianus mengatakan, inkonsistensi sikap Wabup Jaghur hanya akan menyulut konflik karena klaim atas tanah lokasi Bandara di Tanjung Bendera.
Dia juga mengatakan bahwa dalam surat perwakilan 11 orang dari Waerana kepada Wabup Jaghur dan Pemda Matim, sudah menyampaikan usulan untuk melakukan sumpah adat di atas tanah yang diklaim oleh pihak lain tersebut.
“Mereka seolah-olah mau kasih bentrok kami dengan menyatakan bahwa ada Suku Suka juga yang hadir dan menyetujui soal penyerahan tanah oleh Motu,” pungkas Flavianus.
Ia mengingatkan, tiga oknum yang mengaku dari Suku Suka itu sama sekali tidak merepresentasikan Suku Suka yang sebenarnya.
Menurut Flavianus, oknum itu hanya orang-orang yang mengaku dari Suku Suka. Padahal yang punya hak ulayat adalah Suka keturunan Rato Ame Nggaong yang ada di Mbelar dan Suka Kelok. Sedangkan Suka yang lain tidak punya hak soal tanah ulayat itu.
Pihak Flavianus pun menyesalkan dengan apa yang disampaikan Wabup Jaghur.
Penyampaiannya bahwa kegiatan yang dilakukan hanya peninjauan, bukan pengukuran atau kegiatan lainnya.
Mirisnya, yang terjadi adalah penyerahan sepihak oleh Motu Pumbu.
“Seharusnya beliau (Wabup Jaghur) menolak, karena sudah ada keberatan sebelumnya, disampaikan langsung oleh perwakilan Suka Rato, Suka Kelok, Roka, Motu Poso, Nggeli dan Suku Tanda. Ini sama saja beliau merekomendasikan terjadinya pertumpahan darah di lokasi ke depannya,” sambung Flavianus.
Sejarah
Iren Laghung, utusan Motu Poso menyodorkan catatan sejarah. Dalam sejarahnya di pesisir Tanjung Bendera, tidak saja milik suku-suku di wilayah Rongga, tetapi juga menjadi mukadimah mitos kedatangan suku-suku di Manggarai.
Hanya saja untuk keseluruhan bentangan pesisir dari Watu Wengga hingga Mukulia, banyak suku di luar Rongga, seperti Ngkuleng, Kelok di Wea, Kecamatan Congkar yang lebih populer menyebut kawasan itu Muting.
Suku Suka dalam kisah ‘Ulu Kana’ juga mengambil seting kedatangan pertamanya di Tanjung Bendera.
Demikian juga Motu. Di bagian timur wilayah Tanjung Bendera ada tempat pendaratan awal bernama Sari Kondo. Sementara di bagian baratnya ada Leko Ture.
Dalam sabda leluhur Motu (para Ngga’e) terpatri syair berikut:
Motu Weka Ndhili Mai
Tu ndhele Sarikondo
Sarikondo Moda Me a
Tei Motu Tanah Merhe
Sampai di sini bunyi sabda leluhur dari sejumlah suku di kalangan suku-suku Rongga selalu berakhir dengan syair; Tri Tanah Merhe (dapat tanah nan luas).
Di dalam kawasan, antara Leko Ture dan Sari Kondo itu juga sabda leluhur suku lain tertanam rapi dalam memori kolektif beberapa suku, seperti Rombo, Liti, Kewi, dan lain-lain.
Rombo, misalnya, menyebut Watu Toro dan Liti dikenal dengan Kopo Mbajanya. Sementara Kewi di Ali Kewi.
Dari kisah awal itu Motu lantas mengklaim tanah Tu-nya berada dalam kawasan Sari Kondo hingga Leko Ture, sambil menafikan keberadaan suku yang lain.
Di dalam Motu memang terpatri sabda leluhur berikut:
Welu sari Kondo
Nuka Nua Nunu Wula
Dheke rheta sanggo sa
Wa’u rhale wasi wali
Dari Sarikondo Motu hijrah dan membuka kampung di Nua Nunu Wula.
Di sana, konon Motu hidup dan ceritanya melegenda dan dikenal juga suku-suku yang lain di kalangan orang Rongga.
Dalam kisah, konon terjadi perpecahan keluarga Motu. Lalu semuanya tercerai berai lantas mencari lokasi pemukiman lain. Ada yang ke Wolo Poso, Mabha Ruju, dan lain-lain.
Tidak ada alasan lain yang dikemukakan dalam warisan lisan itu yang menjadi pemicu perpecahan, selain apa yang disebut ‘Tange Wae Kodhe’ (rebut jatah kuah daging kera). Apakah Wae Korhe ini sebagai ungkapan? Juga tidak ada warisan kisahnya.
Dari kisah singkat itu, setelah sekian abad, ketika wacana pembangunan bandara udara mengemuka sejak tahun 2010, kisah yang sudah digulung dalam lipatan waktu yang lampau itu, mulai berada kembali.
Sentimen nostalgik itu benar-benar merasuki semua orang Motu hingga ungkapan bheka tange wae kodhe mulai bertuah lagi.
Sementara di sisi lain, suku-suku yang ada di wilayah Rongga punya kisah.
Saat Bima menguasai kawasan itu, terutama di Kota Mbesi (Kota Bima sekarang) tidak ada perlawanan dari kalangan Motu, Nggeli dan yang lainnya, kecuali Suka, Kelok dan Roka.
Untuk menumpas Bima, Rato, Roka berkoalisi dengan Tung dari wilayah Congkar.
Mereka membangun benteng di Tiwu Kozo. Sedangkan benteng Bima di sana, tepatnya di ujung barat daya lokasi pengukuran Bandara saat ini. Hingga kini, bekas benteng itu masih ada.
Tahun 2016, Suku Suka dan Roka melangsungkan ritual dan pemasangan bendera merah di sana. Sebagian Suku Motu, oleh karena sentimen nostalgik kisah masa lalu, sempat mencegah aktivitas itu. Sempat terjadi keributan, tetapi tidak berujung perkelahian massal.
Seminggu kemudian, Motu menggelar ritual di tempat yang sama. Hasilnya, Ura manu mbholo pu’u rheta tuki rhale. Semua orang Motu yang hadir saat itu terperangah, ketakutan dan hilang muka.
“Sampai di situ, optimisme dan keyakinan saya yang begitu kuat bahwa itu tanah Motu mulai beralih menggali kembali sejarah. Jawabannya, jelas masihada pemangku ulayat di wilayah itu? Siapa mereka? Roka!!!
Apakah Suka berhak mengatur kebijakan atas tanah di sana? Jelas Suka dan Kelok berhak. Dalam situasi yang carut marut seperti saat ini kehadiran Suka dan Kelok sangat dibutuhkan. Tapi, dalam tubuh Suka juga kisah atas tanah itu selalu saja berbeda antara yang satu dan yang lainnya,” kata Iren.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba