Oleh: Yohanes A. Loni
Gerakan perlawanan aktivis mahasiswa ditempuh lewat pendekatan teoretis dan praktis. Namun, jalur advokasi semacam itu tidak cukup hanya dengan mengandalkan militansi ataupun spiritualitas, apalagi seruan moral. Aktivis mahasiswa harus dilengkapi modal pengetahuan dan nalar kritis berdasarkan data dan informasi yang komprehensif untuk kemudian disusun menjadi opini di media massa ataupun orasi ilmiah kala demonstrasi.
Hampir semua orang tentu pernah membaca, mendengar, dan menonton film Pinochio. Pinochio merupakan sebuah kisah inspiratif dan sarat makna. Pinochio, sebuah patung kayu yang menjadi manusia, adalah dongeng anak-anak yang secara implisit mengisahkan tema kejujuran dan keistimewaan.
Pinochio memang merupakan patung hasil karya seorang pemahat hebat. Patung itu sangat mirip dengan manusia, sehingga pemahatnya menginginkan agar Pinochio menjadi seorang manusia. Singkat cerita, seorang peri menghembuskan nafas ke patung itu dan jadilah Pinochio.
Namun, hidup Pinochio berada di bawah perintah si peri. Pinochio harus setia mematuhi perintah si peri agar tidak dikembalikan menjadi patung kayu. Pertanyaannya kemudian, apa hubungan antara kisah Pinochio dan pemimpin boneka?
Pemimpin Boneka
Eksistensi seorang pemimpin boneka mirip dengan kisah Pinochio. Seorang pemimpin boneka selalu berada di bawah perintah boneka; selalu berada di bawah perintah sekelompok orang yang lebih berpengaruh.
Sekelompok orang tersebut, yang lazim disebut sebagai komunitas bayangan (secret society), mengharuskan seorang pemimpin untuk melakukan sesuatu (mengambil kebijakan) seturut kemauan mereka yang tentunya akan mendatangkan keuntungan tertentu bagi kelompok itu.
Jika demikian adanya, dapat ditarik konklusi sederhana bahwa penyelewengan kekuasaan (abuse of power) seorang pemimpin terjadi ketika kekuasaan digunakan hanya untuk memenuhi kepentingan si pemimpin saja.
Ketika seorang pemimpin berdiri sekadar sebagai sebuah boneka tersebab tersandera oleh kekuasaan yang kapitalistik, maka pemimpin tersebut secara otomatis tidak mampu bereksistensi sebagai organum solutis populi (sarana keselamatan rakyat). Para kapitalis akan meminta balas jasa sebab mereka telah membantu dia dalam memperoleh kekuasaan sebagai seorang pemimpin.
Gerakan Aktivis Mahasiswa terhadap Pemimpin Boneka
Pemimpin yang baik adalah seseorang yang adil, jujur, dan membaktikan dirinya secara total demi kepentingan seluruh masyarakat.
Kalau realitas di lapangan tampak berbeda dengan yang diharapkan, dalam arti munculnya tipe pemimpin boneka yang tidak adil, tidak jujur, dan hanya membaktikan dirinya untuk kepentingan segelintir orang, aktivis mahasiswa tidak semestinya menunjukan sikap apatis dengan basis argumentasi bahwa mereka hanya boleh menyibukkan diri semata-mata untuk urusan akademik di kampus.
Kalau persepsi seperti ini yang dibangun, sudah sepantasnya aktivis mahasiswa dinilai mengkhianati efek sosial kapabilitas intelektual dan rasionalitasnya. Aktivis, pada hemat saya, mendobrak bukan hanya sebatas perkara cara mengetahui, melainkan juga membentuk jalan intelektualitas yang berbeda dan bernilai bagi banyak orang.
Pada umumnya, aktivis mahasiswa itu berpikir dan bertindak berdasarkan nuansa pragmatis. Namun, gerakan itu semestinya tidak dalam koridor pragmatisme, tetapi berdasarkan kebaikan dan kebernilaian untuk diri dan untuk kebaikan umum.
Aktivis mahasiswa yang tidak sanggup dan tidak menggubris situasi diabolis yang dialami manusia sekelilingnya telah kehilangan jati dirinya sebagai seorang cendekiawan. Dalam bahasa Kitab Suci, “Bagaikan garam yang menjadi tawar dan pelita bernyala yang ditempatkan di bawah gantang (bdk. Mat. 5:13-16).
Di tengah realitas destruktif dari kinerja pemimpin masa kini yang sibuk mengurus diri dan kroni-kroninya, aktivis mahasiswa mestinya menunjukkan suatu gerakan perlawanan. Patut diingat, gerakan perlawanan aktivis mahasiswa terhadap pemimpin yang bobrok bukanlah sesuatu hal yang tabu.
Namun, gerakan perlawanan itu mesti dilandasi kebijaksanaan, kebenaran, keadilan, dan keberpihakan kepada martabat luhur manusia. Merancang pergerakan perlawanan etis dan politis adalah salah satu jawaban yang diberikan oleh aktivis mahasiswa terhadap pertanyaan yang pernah dilontarkan Immanuel Kant, “Apa yang harus saya lakukan?”, sebagai reaksi terhadap realitas destruktif kinerja pemimpin boneka yang tidak memihak kepada nasib rakyat.
Aktivis mahasiswa selalu dipanggil dan diharapkan keterlibatannya dalam berbagai persoalan kehidupan politik karena kehidupan politik inilah yang menentukan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai pribadi keluarga umat manusia. Dalam hal ini, relevanlah identitas yang diberikan oleh filsuf Karl Raimund Poper, “Kalian adalah Mahasiswa-mahasiswa Persoalan?”
Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa harus dilandasi oleh sebuah kesadaran dan pengakuan bahwa mahasiswa aktivis tidak mempunyai kompetensi untuk menawarkan sistem politis.
Yang dapat dilakukan oleh aktivis mahasiswa adalah menyerukan berbagai praktik ketidakadilan yang menodai keluhuran martabat manusia, memosisikan mereka yang dipinggirkan ke pusat perhatian publik, memberikan penyadaran bagi masyarakat yang kurang sadar bahwa mereka sedang dijajah oleh pemimpin dan regulasi yang tidak pro-rakyat, mengikuti dan mengevaluasi kinerja pemimpin yang berkuasa, mengkritisi berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin, dan mengontrolnya sebuah jalan pemerintahan.
Hal ini penting, karena dalam konteks Negara demokrasi, kontrol masyarakat terhadap kekuasaan Negara itu sifatnya terbatas tetapi selalu bersifat nyata, terutama dalam hubungannya dengan unsur kedua yang khas bagi sistem demokrasi, yaitu keterbukaan pengambilan keputusan.
Keterbukaan tentu saja tidak tanpa batas, masyarakat umum memang sering tidak dapat mengetahui secara pasti motivasi seseorang pemimpin dalam menetapkan kebijakan tertentu. Keterbukaan yang dimaksud adalah bahwa betapa pun masyarakat umum tidak dapat menyelami motivasi seseorang pemimpin dalam menetapkan kebijakan tertentu, kegiatan pemimpin yang bersangkutan tetap terjadi di hadapan masyarakat.
Segala kebijakan yang diambil dan program yang dilakukan oleh pemimpin dapat langsung diamati oleh masyarakat melalui media massa. Masyarakat dapat mengetahui dengan mudah berdasarkan realitas yang terjadi di lapangan bahwa apakah seorang pemimpin menetapkan kebijakan pro-rakyat ataukah sebaliknya menetapkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Aktivis mahasiswa juga perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa dalam menghadapi pemimpin yang tidak memihak pada nasib rakyat banyak, mereka hanya boleh menggunakan sarana-sarana yang sesuai dengan nilai-nilai konstitutif intelektualitas dan rasionalitasnya, yakni tanpa kekerasan.
Gerakan perlawanan teoretis dan gerakan perlawanan praktis merupakan konkretisasi dari gerakan perlawanan aktivis mahasiswa tanpa laku kekerasan.
Gerakan Perlawanan Teoritis
Gerakan perlawanan teoritis perlu mengedepankan konsep rasionalitas kreatif yang merupakan kekhasan mahasiswa dan patut dikembangkan sebagai senjata ampuh mengusahakan perubahan sosial. Rasionalitas berkaitan dengan kemampuan setiap orang untuk bertanya dan mencari jawaban atas persoalan yang dihadapi.
Aktivis mahasiswa tentu saja memiliki banyak perbendaharaan informasi dan pengetahuan di otak. Namun, rasionalitas perlu terus menerus dikembangkan dengan mengolah secara kritis segenap kenyataan dan informasi yang berhubungan dengan nasib rakyat.
Dalam konteks gerakan perlawanan terhadap pemimpin boneka, rasionalitas kreatif berkaitan dengan pengolahan lebih lanjut segenap pengetahuan yang diperoleh secara efektif dan efisien di kampus maupun dari hasil belajar dari organisasi demi perubahan nasib rakyat.
Menurut penulis, ada beberapa syarat penting yang harus dipenuhi oleh aktivis mahasiswa sebagai cendekiawan sekaligus warga Negara untuk mengkritisi berbagai kebobrokan dalam kehidupan berpolitik (Pemimpin Boneka) yang memunculkan ketidakadilan dan penderitaan.
Pertama, kejahatan yang dilakukan oleh Pemimpin Boneka, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki posisi tinggi dan terhormat di dalam masyarakat selama mereka menduduki posisi tersebut. Akibatnya, segelintir orang hidup dalam kesengsaraan, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Salah satu hal penting bagi aktivis mahasiswa untuk terlibat dalam menanggapi masalah pemimpi boneka adalah keberanian. Keberanian merupakan perjuangan aktivis mahasiswa untuk terus melancarkan kritikan tanpa pernah putus asa. Mahasiswa aktivis harus berani menerima risiko apa pun sebagai akibat dari suara profetisnya yang kritis.
Kedua, independensi. Aktivis mahasiswa mesti tetap menjadi pribadi-pribadi yang independen secara total. Independen membuat aktivis mahasiswa bebas dari intervensi yang berlebihan dari pihak-pihak tertentu yang ingin membatasi kebebasan aktivis mahasiswa yang kritis dalam mengkritik fenomena-fenomena sosial secara transparan dan objektif.
Dengan adanya sikap independen, aktivis mahasiswa dimampukan untuk bebas mengkritik siapa saja yang tidak memihak kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam hal ini, penting juga bagi kampus tempat aktivis mahasiswa belajar untuk bersikap mawas diri dan kritis terhadap bantuan yang diberikan oleh pemimpin tertentu.
Kedua, independensi. Aktivis mahasiswa mesti tetap menjadi pribadi-pribadi yang independen secara total. Independen membuat aktivis mahasiswa bebas dari intervensi yang berlebihan dari pihak-pihak tertentu yang ingin membatasi kebebasan aktivis mahasiswa yang kritis dalam mengkritik fenomena-fenomena sosial secara transparan dan objektif.
Dengan adanya sikap independen, aktivis mahasiswa dimampukan untuk bebas mengkritik siapa saja yang tidak memihak kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam hal ini, penting juga bagi kampus tempat aktivis mahasiswa belajar untuk bersikap mawas diri dan kritis terhadap bantuan yang diberikan oleh pemimpin tertentu.
Gerakan Perlawanan Praktis
Gerakan perlawanan praktis yang dimaksud adalah gerakan yang ditempuh oleh aktivis mahasiswa setelah gerakan perlawanan teoretis tidak mengubah situasi yang bobrok. Gerakan perlawanan praktis digalakkan ketika pemimpin tetap saja menunjukkan sikap apatis terhadap berbagai suara kritis dan kritikan yang diberikan melalui penciptaaan opini di media massa.
Gerakan perlawanan praktis akan berdaya guna jika mengandalkan kekuatan kolektif, dan tidak cukup mengandalkan kekuatan individual semata. Artinya, aktivis mahasiswa perlu menggabungkan diri dalam suatu organisasi tertentu untuk mengadakan gerakan perlawanan praktis. Dalam hal ini, penting juga membangun kerja sama lintas kampus, lintas organisasi, dan lintas agama yang mempunyai satu tujuan yang sama, yaitu mengkritisi kebijakan pemimpin yang apopulis demi bertahtanya kesejahteraan rakyat.
Adapun gerakan perlawanan praktis yang ditawarkan sebagai berikut.
Pertama, advokasi kasus-kasus publik. Gerakan perlawanan dengan menempuh jalur advokasi tidak cukup hanya mengandalkan militansi atau spiritualitas atau seruan-seruan moral, tetapi juga harus dilengkapi dengan modal pengetahan dan kekritisan. Sebelum pada langkah advokasi, aktivis mahasiswa perlu mengumpulkan informasi dan data terkait masalah yang akan diadvokasi. Informasi dan data kemudian dikonfrontasikan dengan teori-teori tertentu sehingga mempunyai landasan teoritis untuk menunjukan vonis bersalah kepada tersangka.
Kedua, demonstrasi. Seturut nalar berpikir Driyarkara, demonstrasi adalah langkah akhir yang ditempuh setelah langkah-langkah dialog sama sekali tidak membawa perubahan yang berarti. Banyak orang acapkali salah memahami substansi demonstrasi. Banyak orang berpikir bahwa substansi demonstrasi hanya sebatas huru-hara di jalan sambil bakar ban, mogok makan, membuat macet lalu lintas umum, mengeluarkan kata makian, dan bahkan bukan hal yang baru lagi kalau aksi bentrok dengan petugas keamanan.
Aktivis mahasiswa tidak semestinya mengikuti pemikiran yang mainstream demikian. Aktivis mahasiswa perlu menanamkan kesadaran dalam diri bahwa kekuatan utama dalam demonstrasi adalah kata-kata (orasi ilmiah). Kata-kata yang diorasikan dalam sebuah aksi demonstasi mesti mempunyai daya gugat terhadap pemimpin boneka. Untuk itulah, gerakan demonstrasi, tidak cukup hanya mengandalkan militansi atau spiritualitas atau kotbah moral, tetapi juga kapabilitas intelektual dan rasionalitas.
Gerakan demonstrasi aktivis mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru mesti menjadi inspirasi sekaligus pembelajaran bagi aktivis mahasiswa saat zaman sekarang ini.
Signifikansi Gerakan Aktivis Mahasiswa
Pernyataan Popper yang terkutip pada bagian di atas mengidealkan seorang terdidik berkualifikasi kritis, peka, dan tanggap terhadap realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Idealisme Popper ini hendaknya menjadi penggugah kesadaran akademis kita sebagai masyarakat ilmiah yang tidak hanya ideal secara konseptual dan teoretis di atas kursi akademis, tetapi berani bersikap kritis, peka dan tanggap, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap realitas sosial.
Meskipun Popper berbicara dalam konteks filsafat, apa yang ditulisnya berlaku juga untuk para mahasiswa, apa pun latar belakang studinya. Yang ingin ditekankan adalah keterlibatan mahasiswa dalam memberikan solusi atau persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat dengan aneka problematikanya. Dengan demikian, seorang mahasiswa menjalankan fungsi sebagai jembatan penghubung antara lembaga pendidikan (kampus) dan dengan masyarakat.
Lebih jauh dapat disaksikan bahwa aktivis mahasiswa berada pada lingkungan organisasi yang notabene melakukan analisis-analisis terhadap perkembangan perpolitikan nasional.
Maka, lewat lingkungan organisasi ini dapat dipahami bahwa hal itulah yang memberikan pengalaman kepada aktivis mahasiswa untuk melakukan berbagai cara dalam memperjuangkan bermacam-macam perubahan mengenai persoalan kenegaraan.
Demonstrasi, unjuk rasa, dan sejenisnya merupakan respon dari keadaan yang terjadi dalam suatu lingkungan politik. Sebagaimana yang dikatakan Claasen dan Highton bahwa kemampuan merespons merupakan salah satu fungsi kesadaran politik (yang memudahkan penerimaan), di mana dengan kesadaran yang lebih secara politik dapat mengubah keadaan.
Menghadapi realitas destruktif persengkolan antara pemimpin dan pengusaha yang berujung pada kemelaratan rakyat, aktivis mahasiswa mesti terlibat. Keterlibatan aktivis mahasiswa direalisasikan melalui gerakan perlawanan teoretis yang dapat diwujudkan melalui berpikir rasional, kritis, sistematis, dan memihak nasib rakyat banyak.
Kalau gerakan teoretis tidak membawa perubahan, maka perlu digalakkan perlawanan praktis melalui advokasi-advokasi publik maupun aksi demonstrasi yang berkualitas. Gerakan perlawanan, baik teoretis maupun praktis tidak cukup mengandalkan semangat, tetapi juga harus didukung oleh kepemilikan pengetahuan yang luas dan mendalam. Selain itu, penting juga melakukan gerakan perlawanan secara kolektif.
Yohanes A. Loni adalah Mahasiswa Awam STFK Ledalero. Dia juga Aktivis PMKRI Cabang Maumere dan Mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Manggarai di Maumere