*Cerpen
Pastor Beny
Oleh: Riko Raden
Setelah ditabiskan menjadi seorang imam, pastor Beny ditempatkan di sebuah kampung. Kampung ini Cukup udik dan jauh dari kota.
Awalnya ia keberatan untuk pergi bertugas sebagai gembala di kampung ini. Tapi kemudian ia menerima dengan senang hati.
Ia menerima tugas mulia ini karena ia telah berjanji dengan Tuhan kala itu: “Tuhan, aku siap diutus. Ke mana saja Engkau kehendaki.” Itulah moto tabisan pastor Beny.
Ia yakin segala sesuatu yang terjadi pada dirinya, kehendak dan rencana Tuhan sendiri.
Di kampung ini, ia bertugas sebagai seorang pastor paroki. Katanya hampir belasan tahun telah mengabdi menjadi gembala untuk domba-dombanya.
Ada kisah manis pun pahit selama ia bertugas di kampung ini. Ia yakin bahwa hidup tak terlepas dari dua realitas ini. Segala yang menimpa dirinya, selalu ia syukuri kepada Tuhan.
Ia kelihatan bahagia bertugas di kampung ini. Lihat saja raut wajahnya; cerah seperti mentari di pagi hari. Ia tak pernah marah dengan umat apalagi dengan Tuhan.
Kadang ia marah dengan dirinya sendiri apabila seharian tak memberikan senyum kepada umatnya.
Sosok pastor yang baik ini seperti Kitab Suci, lahan tempat umat menimba iman dan sabda. Ia periang dan bergaul dengan semua umat dan rajin pula membantu orang-orang kecil sehingga warga kampung sesungguhnya sangat menyayanginya.
Warga kampung bahkan pernah membujuknya untuk tetap tinggal bersama mereka. Tapi ia selalu mengatakan bahwa dirinya selalu taat pada pimpinan.
Apabila dari atasan memindahkan dia ke tempat lain, mau tidak mau harus ikut. Itulah sumpah ketika ia ditabiskan menjadi gembala Tuhan untuk selama-lamanya. Apabila ia melanggar sumpah itu, maka ia menghianati Tuhan.
Di kampung ini, pastor Beny sosok pribadi yang baik dan dihargai oleh umat. Kehadiran pastor Beny seolah-olah membawa pelita penerang di tengah hati umat juga kampung ini.
Umat merasa senang karena kehadiran gembala yang baik ini membawa perubahan di tengah mereka. Umat merasa bahwa doa yang mereka lantungkan selama ini sudah terkabul. Buktinya kehadiran pastor Beny di tengah mereka.
Umat merasa sedih apabila mengingat kembali perjuangan pastor Beny kala itu. Pastor yang berparas ganteng dan kurus ini seolah-olah menjadi pahlawan bagi umatnya.
Ia seperti Musa dalam cerita Kitab Suci, yang membawa umat Israel keluar dari tanah Mesir. Ia memberikan seluruh hidupnya demi umat. Ia yakin bahwa Tuhan telah menitipkan umat-nya melalui dia. Oleh karena itu, dia harus bertanggung jawab untuk semuanya.
Kampung, tempat tugas pastor Beny ini, dulunya sangat kacau soal relasi antar suku dan umat beragama. Maklum, kampung ini salah satu tempat di Nusa Tenggara Timur yang dihuni oleh orang-orang yang mempunyai latar belakang suku dan agama berbeda.
Ada agama Katolik dan Islam. Kedua agama ini mempunyai jumlah umat yang sedikit hampir sama. Namun katolik masih mayoritas.
Mendengar cerita bahwa situasi saat itu menjadi kacau karena ada seorang pemuda katolik melempar masjid dengan batu. Batu itu ukuran seperti lengan pemuda yang kekar itu. Besar.
Pemuda itu melemparnya dengan kekuatan penuh seperti seorang pemburu memanah rusa di tengah hutan.
Sebagian kaca masjid pecah dan puing-puing kaca tersebut sebagian tercecer di lantai dan sebagiannya menampar muka orang yang sedang berdoa.
Atap seng masjid juga seperti bangunan kehabisan gempa. Runtuh tak beraturan. Ketika seorang pemuda ini melihat ada orang yang menangis dari dalam masjid, maka larilah ia meninggal daerah itu. Pergi tanpa kembali lagi.
Umat Islam sudah menduga bahwa perlakuan bejat itu pasti dari salah seorang katolik. Tak mungkin orang Islam yang melempar rumah ibadat mereka. Jika yang melempar batu itu seorang muslim, maka dia akan hukum mungkin juga dibunuh.
Tapi dugaan umat muslim bahwa tindakan itu dari agama katolik. Sejak kejadian ini, relasi di antara umat islam dan katolik di kampung ini pelan-pelan mulai renggang.
Tak ada senyum pun saling menyapa. Kehidupan di tengah kampung ini seperti orang asing yang barusan datang.
Berawal dari peristiwa ini yang membuat relasi di antara kedua agama ini tidak rukun dan damai. Setiap hari selalu ada bunyi senapan seperti serigala di malam purnama. Kaum perempun dan orang-orang kecil ribut berlarian dengan teriakan-teriakan.
Mereka menjinjing barang-barang yang dikemas dalam buntalan-buntalan kecil, dan keluar rumah dalam gerak-gerakan bergegas. Berebutan naik ke atas truk-truk yang seketika sudah dijejali oleh manusia juga takut dengan situasi di tengah kampung ini.
Situasi di tengah kampung cukup seram. Kebanyakan yang mengikuti adu senapa ini laki-laki semua. Mereka mempertahankan kebenaran agama masing-masing. Sedangkan perempuan dan orang-orang kecil lari tak beraturan seperti angin topan pada siang hari.
Di tengah kampung yang seram ini, tak ada lagi nyanyian burung-burung sebagaimana biasa, karena burung-burung pun pergi mengungsi, berimigrasi ke kantung-kantung yang lebih bersahabat.
Bahkan burung gereja yang hanya terbang sepuluh meter telah menghilang tanpa jejak. Dini hari yang beku, embun meneters-netes membasahi puing-puing kampung, membasuh bara api yang masih memerah di sana-sini. Bau korban terhirup di mana-mana.
Situasi demikian, juga membuat pastor Beny terkurung dalam rumah. Pintunya selalu tertutup ratap. Hampir dua sampai tiga Minggu ia terus terkurung dalam rumah. Umatnya tidak ada lagi datang ke Gereja untuk berdoa.
Sungguh situasi seperti zaman perang dunia kedua.
“Aku ingin menyelamatkan umatku. Aku harus berani pergi ke rumah pak Ustad untuk meminta maaf atas perbuatan umatku. Iya! Aku harus bertemunya. Pak Ustad sebagai orang yang disegani oleh umat Islam di kampung ini.” Kata pastor Beny dalam hatinya.
Pastor Beny awalnya takut berjalan di tengah kampung ini. Situasinya belum aman. Ia tetap nekat untuk bangun berjalan menuju ke rumah pak Ustad.
Ia yakin apabila kedua tokoh agama ini saling bertemu dan berdialog atas masalah ini, situasi menjadi aman dan tenang. Dengan perasaan dingin yang menggigilkan tubuhnya, ditambah rasa takut yang tak kunjung pergi.
Ia tetap berjalan di tengah situasi seram sambil terus melantungkan doa dalam hatinya. Matanya menoleh ke kiri-kanan. Sunyi, sedih dan menderita melihat situasi yang telah terjadi.
Pastor Beny tetap berjalan di tengah situasi yang seram ini. Dirinya hampir mendekati rumah pak Ustad.
Nan jauh di sana, di suatu tempat, bunyi mesin perang mulai terdengar lagi. Mulanya perlahan, lalu mulai bersahutan. Kaki pastor Beny perlahan-lahan mulai melangkah cepat menelusuri jalan lubang menuju rumah pak Ustad.
Ketika sampai di depan rumah yang disegani umat Islam ini, ia mengetuk pintu satu sampai tiga kali. Lama ia menunggu untuk membuka pintu. Pak Ustad berpikir bahwa ada musuh yang ingin membunuhnya.
Pastor Beny coba mengetuk lagi pintu. Kali ini ia mengetuk dengan agak keras.
“Hallo, pak Ustad! Ini dengan pastor Beny.” Katanya dari luar rumah sambil memanggil nama pak Ustad.
Mendengar suara itu, pak Ustad pun membuka pintu. Pak Ustad kaget melihat penampilan pastor Beny lengkap dengan pakaian kesucian.
Ia melihat pastor Beny memakai jubah putih dan di tangannya sambil memegang rosario dan Kitab Suci. Pak Ustad sungguh terharu melihat penampilan Pastor Beny.
Karena situasi di luar rumah pak ustad bunyi senapan semakin deras, akhirnya mereka masuk sama-sama ke dalam rumah. Di sinilah keduanya saling menukar pikiran.
“Maafkan atas kesalahan umatku. Situasi terjadi seperti ini karena tingkah perbuatan dari umatku.” Kata pastor Beny sambil menangis.
Pak Ustad memeluknya dan berkata: “Mari kita sama-sama menciptakan kembali situasi aman di kampung ini. Kami telah memaafkan atas perbuatan umatmu itu.”
Pak Ustad berdiri, kemudian berjalan ke kamar untuk memakai jubah seperti pastor Beny. Ia juga mengambil Alquran.
Saat itu pula, keduanya keluar dari dalam rumah dan pergi ke tengah kampung. Melihat situasi demikian, umat yang selama ini hidup saling berantakan dan adu senjata di sudut kampung, akhirnya berhenti dan keluar dari rumah menuju pak Ustad dan pastor Beny.
Di sini mereka sambil menangis dan memeluk satu sama lain. Ada seribu kata maaf yang keluar dari mulut mereka masing-masing. Sejak saat itu, situasi kampung mulai tenang dan damai.
*Riko Raden, tinggal di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.