Oleh: Fransiskus Sardi
Rongga?
Pada tanggal 26 Juni 2021 di Kampung Paundoa, Desa Komba, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, terjadi pesta kenduri (nggua).
Nggua ini dilaksanakan di rumah adat Liti Pumbu yang kental dengan budaya Rongga. Pesta kenduri ini untuk memperingati kematian Opa Tomas Ola pada tanggal 26 September 2020 lalu.
Saya yakin orang Manggarai dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, tahu dan paham yang dimaksud dengan pesta kenduri.
Dalam tulisan ini saya tidak membahas pesta kenduri, saya ingin fokus pada tarian vera dalam Budaya Rongga. Sejujurnya, tulisan ini juga saya buat untuk mengenang Opa Tomas Ola, yang menjadi penggerak dan pewaris budaya Rongga.
Selama 85 tahun berziarah di bumi, ia telah menjadi pelaku sejarah dan promotor aktif budaya Rongga. Opa Tomas telah mewariskan banyak hal.
Saya ingin melanjutkan cerita tentang budaya Rongga yang selalu ia gaungkan, barangkali kisah tentang tarian vera bisa mengenang kepergiannya. Semoga!
Sebelum membahas tentang tarian vera, ada baiknya saya perkenalkan dulu siapa dan bagaimana orang Rongga itu. Etnik Rongga adalah salah satu etnik minoritas yang terdapat di Indonesia.
Dalam catatan dan Kajian Ni Wayan Sumitri tahun 2016, orang Rongga berjumlah sekitar 8.000-an jiwa. Orang Rongga berada di provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Manggarai Timur, Kecamatan Kota Komba.
Etnik Rongga tidak berada dalam satu suku saja. Ada beberapa clan yang lazim diidentikan sebagai orang Rongga.
Suku-suku itu antara lain suku Liti, Raghi, Wio, Motu, Lowa, Nggana dan beberapa suku-suku lainnya yang masih bertalian dengan suku-suku ini.
Suku-suku ini selalu mengunakan Bahasa Rongga sebagai bahasa harian di samping Bahasa Manggarai dan Bahasa Kolor dan juga menghidupi warisan kebudayaan khas orang Rongga seperti tarian vera.
Dalam observasi umum, suku Liti menjadi suku yang hingga saat ini masih kental dengan budaya rongga dan menekankan bahasa Rongga sebagai bahasa interaksi harian dalam kehidupan sosial.
Perlu saya tekankan, bahwa ada juga suku-suku lain yang masih setia menghidupi tradisi budaya Rongga.
Mata pencaharian orang Rongga sebagain besar di bidang pertanain dengan sistem ladang yang berpindah-pindah.
Di samping pertanian ladang dan perkebunan sebagai sumber kehidupannya, masyarakat Rongga juga mengenal sistem peternakan dengan sistem yang penerapannya masih sangat sederhana.
Jenis ternak utama yang dipelihara adalah babi (wawi), ayam (manu), kerbau (kamba), sapi dan kuda (jara) tetapi dalam jumlah yang terbatas.
Usaha pertanian utama yang diwariskan secara turun temurun adalah menanam padi (pare) dan jagung (jawa) disamping usaha-usaha perkebunan lainnya.
Tarian Vera dalam Budaya Rongga
Sebagaimana telah saya uraikan di awal, saya ingin memperkaya catatan kebudayaan, khusunya tarian vera.
Secara umum tarian vera dikenal sebagai tradisi lisan khas orang Rongga, yang secara etimologi istilah vera berasal dari Bahasa Rongga yakni kata pera yang dapat diterjemahkan dengan kata kerja ‘memberitahukan, mempertunjukan atau mengajari, menasihati’.
Vera juga dapat dipahami sebagai petuah dan nasihat leluhur dalam memberikan, menunjukan jalan menuju kebaikan.
Secara leksikal istilah vera berarti mempertunjukan dengan cara menari sambil bernyanyi dalam irama dan gerakan yang bersahutan antara penari dan penyayi pria (woghu) dan wanita (daghe) yang dipimpin oleh seorang pemimpin tarian (noa lako).
Nyanyian-nyanyian itu berisi petuah dan wasiat yang merupakan warisan para leluhur yang berfungsi sebagai tuntunan moral dan pedomaan etika kehidupan harian.
Syair-syair yang dinyanyikan dalam tarian vera juga sangat menekankan relasi antara Yang Ilahi, roh leluhur, dan alam semesta. Dalam tarian vera, aspek kehidupan ‘manusia’ Rongga ditelanjangi dan diberi makna kebaikan.
Tarian vera dilaksanakan pada malam hari dalam posisi berdiri dengan membentuk dua barisan. Barisan depan para penari perempuan (daghe) yang saling berpegang tangan setinggi ulu hati.
Penari perempuan paling depan disebut ana ulu dan paling belakang, ana eko. Ana ulu dan ana eko membentuk barisan yang kuat agar tidak pisah dan putus.
Ana ulu berperan menarik dan mengarahkan penari yang lain pada saat gerakan tari berlari mengelilingi arena. Barisan belakang adalah penari laki-laki (woghu).
Woghu berperan melantunkan syair memberikan aba-aba kepada penari sambil berlari pelan. Gerakan kaki penari mulai pelan dan siap-siap lari dalam posisi baris berangkai dipandu oleh penari paling depan.
Gerakan kaki juga disesuaikan dengan irama syair berpantun yang dinyanyikan oleh penari pria, dibalas oleh seorang pemimpin vera (noa lako) yang berada di depan daghe.
Secara umum vera dapat diklasifikasi menjadi beberapa jenis, yakni 1) vera sarajawa (vera sedih) Vera sarajawa disebut vera sedih karena konteks peristiwa yang melatarinya adalah duka atau sedih yaitu peristiwa kematian.
Tujuan pelaksanaa vera sarajawa ini untuk menghormati orang yang meninggal. Penghormatan ini dilakukan dengan mengisahkan kebajikan dan kebaikan yang dilakukan semasa hidupnya.
2) Vera haimelo adalah vera syukuran/gembira. 3) vera saju (berkaitan dengan hal-hal ganjil dalam kehidupan manusia); 4) vera dheke ra’a (berkaitan dengan pemulihan nama baik seseorang),
5) vera dheke sa’o (berkaitan dengan upacara masuk rumah adat yang baru); 6) vera gha’u gha’a (dipertunjukkan sebagai sarana hiburan); dan 7) vera mbuku sa’o (berkaitan dengan kegiatan dalam bidang pertanian) yang di dalamnya terdapat beberapa jenis vera dan salah satu di antaranya adalah vera mbasa wini.
Dilihat dari urutan ritualnya, vera terdiri atas tiga bagian yang saling terkait. Ketiga bagian itu meliputi pembukaan (ti’i ka), acara inti (vera) dan penutup (tetendere).
Hal yang dilakukan pada tahap persiapan ini adalah acara pemotongan ayam (tunu manu, pau manu) dan persembahan untuk memberi makan leluhur (ti’i ka embu nusi).
Secara etimologis ti’i ka terbentuk dari kata verba ti’i yang berarti beri dan kata nomina ka yang biasa diartikan makanan.
Jenis hewan yang biasanya digunakan adalah ayam jantan merah (manu lalu). Tujuan dari acara ini adalah untuk memberitahukan embu nusi bahwa acara vera akan dilaksanakan dan memohon agar tidak diberi halangan selama diadakan tarian vera.
Bersamaan dengan acara ti’i ka embu nusi juga ada kegiatan membunyikan gong dan gendang (dende lamba nggo).
Ada dua sebutan khas untuk membunyikan gong dan gendang. Yang pertama disebut dengan ndera dan satunya mbata.
Perbedaan dari keduanya adalah, ndera dibunyikan dengan cara memukul gendang menggunakan dua stick, sedangkan mbata dipukul dengan tangan dan diiringi dengan nyanyian.
Bunyi yang dihasilkan dari pukulan gong dan gendang biasanya sangat harmonis dan memiliki irama dan ritme yang enak didengar.
Tujuannya ialah untuk mengundang kerabat dan tetangga yang ada di sekitar sa’o untuk datang bersama-sama mengikuti tarian vera. Ini adalah rangkaian tahap pembuka dalam acara vera.
Sesudah acara pembuka yang dilaksanakan dalam sa’o. Selanjutnya dilanjutkan dengan tarian vera bersama di halaman rumah.
Tarian ini biasa diawali dengan menyanyikan nggo lau tolo. Syair yang biasa dinyanyikan adalah sebagai berikut:
Nggo lau tolo e e, lau tolo wonga (gong sudah diletakan kembali di loteng)
Sese ana manu, ana manu kero (anak ayam berwarna kuning)
Syair lagu ini dinyayikan berulang oleh kaum pria dan wanita bersahut-sahutan menuju arena tarian (loka).
Makna dari nyanyian ialah, gong dan gendang sudah diletakan kembali di loteng. Acara mbata telah usai dan saatnya masuk pada tarian vera.
Sedangkan pada bait kedua berupa pujian dan sanjungan pada penari wanita. Ini adalah bahasa simbolis untuk menggambarakan penari wanita yang berkulit putih kekuning-kuningan (sese).
Setelah menyanyi bersama nggo lau tolo dilanjutkan dengan tora loka. Secara esensial tora loka adalah undagan untuk embu nusi datang membersihkan arena dari gangguan manusia jahat dan roh jahat agar rangkaian acara vera bisa berjalan lancar.
Tora loka ditandai dengan nyanyian syair oleh noa lako dan langsung disambut oleh woghu.
Tora loka bertujuan untuk mengundang kehadiran roh leluhur dan juga mengingatkan para peserta vera untuk saling berdampingan satu sama lain.
Tora loka juga diwarnai dengan nggae yang berarti pemaparan asal-usul dan sejarah suku. Biasanya nggae setiap suku berbeda walaupun pola dan irama dalam tarian vera pada umumnya sama.
Pada tahap inti adalah tarian vera itu sendiri. Vera dilaksanakan malam hingga dini hari sebelum matahari terbit.
Dalam gambaran suasana waktu demikian, sebenarnya ada tanda bahwa roh leluhur senantiasa hadir pada saat diadakan tarian vera.
Pada saat vera laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh seorang laki-laki (noa lako) bernyanyi bersahut-sahutan sambil diiringi gerakan yang seirama.
Syair-syair yang dinyayikan juga memiliki makna yang sangat mendalam dan berisi pesan dan nasihat-nasihat yang variatif dan kaya.
Dalam penelitian Ni Wayan Sumitri, tarian vera memiliki fungsi pranata religius, fungsi refleksi pengetahuan, sarana pemersatu, sarana kontrol sosial dan politik, fungsi sarana pendidikan, fungsi media hiburan, fungsi pengesahan kebudayaan.
Pada akhir dari rangkaian vera adalah tarian penutup yang disebut dengan tangi jo. Tangi jo biasanya menjadi upacara untuk menutup rangkaian vera.
Tangi jo memiliki pesan sukacita bahwa acara vera telah selesai dan mereka akan masuk kembali ke dalam rumah adat.
Syair tangi jo adalah sebagai berikut: jo na tangi jo e jona (pasanglah tangga kami mau masuk rumah). Ini adalah rangkaian terakhir dari ritual vera dalam budaya rongga.
Urutan upacara atau ritual vera ini menjadi bagian yang sudah mengakar dalam tradisi rongga.
Secara terstruktur urutan tarian vera dapat saya urutkan sebagai berikut: tetendere, ndera, mbata, nggo lau tolo, nggae, vera, tangi jo dan ditutup lagi dengan tetendere.
Ke Depannya?
Sebagai orang asli Rongga, saya menilai budaya rongga, khususnya tarian vera yang menjadi kekayaan budaya khas rongga haruslah terus dialirkan dalam darah setiap generasi muda.
Vera telah memberikan harmoni dalam hubungan tatanan makro dan mikro kosmos. Sebagaimana dalam konsep stoa, harmonisasi adalah tanda adanya keselarasan ritme setiap makhluk sebagai kesatuan dengan kosmos.
Vera, memberikan gambaran keselarasan dan harmonisasi demikian, ada kesatuan antara manusia dengan leluhur (embu nusi) dengan sesama, dan juga dengan alam semesta. Lebih dalam lagi keharmonisan dengan Yang Ilahi.
Keselarasan ini yang memberikan kekaguman dan kegentaran bagi orang Rongga juga menjadi penutun dalam kehidupan manusia.
Sejak berkembangnya pengaruh teknologi, memang vera seperti ‘dianaktirikan’. Para penggiat kebudayaan sudah mulai sepuh dan generasi penerus khususnya generasi muda sedang asyik dengan pengaruh barat.
Dikotomi budaya lokal dan budaya barat menjadi kecanggungan tersendiri bagi generasi muda untuk mempromosikan budaya rongga di mata nasional dan internasional.
Pengaruh perkembangan teknologi mengeser kebudayaan rongga ke tataran yang lebih kecil. Saya melihat situasi ini bukan semata karena kemajuan teknologi, tetapi karena ketidakmampuan kami generasi muda Rongga dalam mengelaborasikan kebudayaan ke dalam pola yang lebih modern.
Saya bersyukur karena penelitian secara mendalam untuk kebudayaan Rongga sudah mulai dikembangkan oleh beberapa peneliti, walaupun beberapanya bukan orang Rongga asli.
Kecemasan ini kiranya menjadi pemantik bagi saya dan remaja Rongga lainnya untuk mengandeng tangan para tua adat dalam memperbanyak literasi tentang kekayaan dalam budaya rongga serta aktif mempromosikan kebudayaan rongga, supaya vera dan kekayaan budaya Rongga tidak tenggelam dalam pengaruh modernisme.
Saya juga membaca informasi dari Prokopim Manggarai Timur di media sosial pada 15 Juni 2021 lalu yang mengumumkan bahwa tarian vera menjadi salah satu nominasi Anugerah Pesona Indonesia 2021 dalam kategori atraksi budaya.
Ini menjadi angin segar bahwa vera sudah mulai populer dan akan diharagai, tapi menjadi pertanyaanya, apakah demikian dimata pelaku budaya Rongga? Apakah demikain dengan orang Rongga Asli?
Jangan sampai setelah masuk nominasi, orang Rongga dan pegiat kebudayaan Rongga lupa menjaga warisan Rongga.
Okelah, kita boleh bangga bahwa budaya Rongga masuk nominasi API 2021, tapi perlu disadari bersama, nominasi mengandaikan ada kekuatan dalam mempromosikannya. Ke depannya, mae mea ngaja Rongga, jangan malu berbahasa Rongga!
Fransiskus Sardi, orang Rongga, kelahiran Manggarai Timur, sedang belajar di Yogyakarta.