Kupang, Vox NTT- Program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS) milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur terindikasi gagal.
Program TJPS menanam uang sebesar Rp25 miliar dari Biaya Tak Terduga (BTT) APBD NTT tahun anggaran 2019 hasil refocusing. Sayangnya, dari total investasi tersebut hanya menghasilkan/memanen sapi sebanyak 412 ekor. Bila saja sapi dibandrol dengan harga standar Rp5 juta, maka uangnya hanya sebesar Rp2.060.000.000
Anggota DPRD NTT Viktor Mado dan Yohanes Rumat pun menyoroti program TJPS ini.
Menurut Watun dan Rumat, Pemprov NTT harus berjiwa besar untuk mengakui pelaksanaan program TJPS gagal total.
“Kami menilai program TJPS itu gagal total. Kalau Pemprov NTT ‘tanam’ uang Rp25 M untuk TJPS tapi hasil panen jagungnya hanya bisa membeli 400-an ekor sapi. Kalau seperti ini yah jelas gagal total. Anak kecil pun akan menilai gagal total,” ujar Watun, beberapa waktu lalu.
Wakil Ketua Komisi III DPRD NTT itu menjelaskan, anggaran Rp25 miliar untuk program TJPS jika dipakai untuk membeli bibit sapi Bali seharga Rp5 juta/ekor, maka akan menghasilkan sebanyak 5.000 ekor sapi.
“Kenapa harus repot-repot tanam jagung untuk beli sapi? Kalau mau panen sapi dengan pola pemberdayaan masyarakat yah gunakan anggaran Rp25 M itu untuk beli 5.000 ekor sapi dan dibagikan kepada petani-peternak untuk dipelihara. Paling lama 2 tahun, pasti mereka sudah kembalikan modal dan bunganya untuk menambah PAD,” beber politisi PDIP itu.
Ketersediaan lahan dan air untuk menanam jagung di musim panas, demikian Watun, sangat terbatas. Sebab itu, tidak bisa dipaksakan hingga 40 ribu hektare setahun.
“Yang 10 ribu hektare tahun 2020 saja hanya sekitar 1.000 hektare atau hanya 10% saja yang ditanam. Kenapa uang sebanyak itu dipakai untuk tanam jagung di musim panas yang sudah pasti gagal karena kekeringan,” ungkap DPRD NTT dari Dapil Flotim, Lembata, Alor itu.
Watun juga mempertanyakan pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan uang negara yang terkesan dihambur-hamburkan untuk kegiatan TJPS itu, yang mana hasil menghasilkan sapi 412 ekor.
“Ingat, judulnya Tanam Jagung Panen Sapi, bos! Bukan Tanam Jagung Panen Babi, Kambing apalagi Ayam,” kritik Watun.
Mantan Wakil Bupati Lembata ini mengungkapkan, berdasarkan informasi yang ia peroleh, program tersebut gagal total karena mengalami gagal tanam, kekeringan, dan gagal panen.
Kata dia, dari target 10.000 hektare, hanya ditanam 1.000 hektare lebih pada periode April-September/Asep. Karena tidak dapat ditanam di musim kering, maka terpaksa ditanam di musim hujan.
TJPS lanjut Watun, adalah program pemerintah untuk menanam jagung di musim panas (periode Asep).
“TJPS itu kan untuk tanam jagung di musim kemarau supaya ada peningkatan produksi jagung. Juga untuk ketersediaan pakan dari daun dan batang jagung untuk ternak sapi di musim panas. Kenapa ditanam di musim hujan? Ini hanya tipu-tipu saja. Jangan ada dusta diantara kita?” tandasnya.
Seirama dengan Watun, Rumat mengatakan, TJPS di periode Asep hanya ditanam sekitar 1.300 hektare dari target 10.000 hektare.
“Bagi saya gagal total. Karena tanpa program TJPS pun areal irigasi sekitar 1.300 hektare di NTT tersebut tetap ditanami jagung untuk penyediaan benih yang dibiayai dari APBN oleh Kementan,” kata politisi PKB itu.
Menurut Rumat, Pemprov NTT harus secara jujur mengakui kegagalan program TJPS dan budi daya ikan Kerapu.
“Pemprov dalam hal ini Gubernur Laiskodat harus secara ‘jantan’ mengakui bahwa program TJPS dan Kerapu gagal total. Saat diusulkan, digembar-gemborkan sebagai program pemberdayaan masyarakat. Tapi yang kita temukan di lapangan, tidak ada pemberdayaan masyarakat,” ujar Anggota DPRD dari Dapil Manggarai Raya itu.
Pemberdayaan masyarakat, demikian Rumat, hanya kedok untuk menutupi keberadaan obsteker yang diduga adalah kroni-kroni pejabat penting di Pemprov NTT.
“Kalau bagi bibit dan pestisida untuk masyarakat tanam jagung di musim hujan, itu namanya kedok. Karena tanpa diproyekkan juga masyarakat tetap tanam jagung di musim hujan. Kenapa harus kasih keluar uang banyak-banyak untuk tanam jagung di lahan masyarakat. Kan tidak ada perluasan areal tanam dan peningkatan produksi,” kritik Anggota DPRD NTT asal Manggara Timur itu.
Dia juga mempertanyakan areal 1.000 hektare yang ditanami jagung, kemudian dipanen pada periode April-September 2019.
“TJPS itu kan untuk ditanam di musim panas, bukan di musim hujan. Jangan sampai terjadi tumpang tindih dengan kegiatan penyediaan benih dari Kementerian Pertanian?” ujarnya menduga.
Lagi pula, demikian Rumat, setiap tahun ada sekitar 1.300 hektare areal irigasi yang ditanami jagung oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas).
Kegiatan itu sudah berjalan setiap tahun dan dibiayai dari Kementerian Pertanian untuk penyediaan benih bagi petani di musim tanam periode Oktober-Maret (Okmar).
“Yang jadi pertanyaannya, TJPS ini tanam di lokasi yang mana? Coba tunjukan peta sebarannya kepada kami?” pinta Rumat.
Dia juga mewanti-wanti Dinas Pertanian agar tidak boleh memduplikasi lokasi untuk kegiatan yang dibiayai APBD dan APBN.
“Kita harap tidak terjadi duplikasi areal jagung yang dibiayai dari APBD dan APBN/Kementan. Coba kita diberikan data yang akurat dan detail, jangan hanya gelondongan. Kalau areal tanam TJPS tidak jelas, siapa saja bisa menduga terjadi tumpang tindih lokasi/areal kegiatan,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian NTT Lecky Kolly yang diwawancarai pada 3 Juni 2021 lalu, menjelaskan TJPS adalah kegiatan budi daya jagung di musim panas (periode Asep).
“Pak Gub kasih tugas kami untuk laksanakan TJPS seluas 10 ribu hektare pada tahun 2020. Pada periode Asep, kita tanam 1.372 hektare. Di periode Asep yang dipanen sekitar 1.000 hektare dengan jumlah produksi sekitar 2.000 ton,” jelasnya.
Sedangkan pada periode Okmar, demikian Lecky, ditanam sebanyak 8.268 hektare. Dari jumlah tersebut, telah dipanen sebanyak 4.988 hektare.
“Sebelum Seroja itu Pak Gub kan lagi keliling Timor. Panen mulai dari Kabupaten Kupang sampai Malaka, lalu kembali ke Bena. Nah dari luas 8.268 hektare yang sudah dipanen, catatan sampai hari ini sudah dipanen 4.988 hektare dengan jumlah produksi 13.257 ton,” katanya.
Dari jumlah produksi itu, lanjutnya, yang sudah dijual sebanyak 2.888 ton lebih. Jagung di jual di lokasi setempat. Ada pula yang dijual ke industri pakan ternak yang ada di Tablolong.
Lecky mengklaim dari penjualan 2.888 ton tersebut menghasilkan ribuan ternak, antara lain, ayam sebanyak 6.026 ekor, kambing 932 ekor, babi 1.397 ekor, dan sapi 412 ekor.
Jumlah ternak tersebut, menurutnya, merupakan jumlah sementara karena jagung TJPS periode Okmar belum selesai dipanen.
“Nah ini angka-angka sementara ini. Semua kabupaten belum menyampaikan hasil rekapitulasi datanya. Mungkin sampai bulan Juli 2021 baru kita dapatkan angka fiksnya seperti apa,” tutup Lecky.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba