Oleh: Atilio Cesar Dos Santos Neri
Diskursus tentang peristiwa evolusi manusia selalu memberi andil dalam konsep kosmologi mengenai saat awal dan akhir kosmos, ditinjau dari pendekatan dari berbagai disiplin ilmu.
Dalam kajian kali ini, saya mencoba untuk mengkaji peristiwa peradaban umat manusia sebagai bukti evolusi dan posibilitasnya dalam wacana futuristik.
Jika meneiliti kembali ke belakang, kita akan menemukan sejumlah hipotesis yang mengungkapkan tentang saat awal kosmos, baik dalam sudut pandang religius maupun sains.
Semisal dalam kekristenan, orang-orang percaya bahwa alam semesta dan segala isinya ini diciptakan oleh Tuhan. Creator ex nihilo disematkan kepada Tuhan yang mencipta segala sesuatu dari ketiadaan.
Tuhan adalah Causa Prima, penyebab pertama dan yang menggerakkan segala sesuatu.
Dalam kajian ilmiah, para ahli biologi mengemukakan konsep evolusi. Namun tentu saja, konsep yang dikemukakan kelompok ahli yang satu tidak selalu sejalan dengan konsep ahli yang lain.
Dalam teori evolusi sendiri, ada dua aliran yang saling bertolak belakang, yaitu aliran yang menganut konsep abiogenesis dan kelompok yang berpegang teguh pada paham biogenesis.
Teori abiogenesis adalah teori yang meyakini bahwa makhluk hidup berasal dari materi. Teori ini telah dirintis oleh Aristoteles dan dibuktikan lewat percobaan Harold-Urey yang dikenal sebagai percobaan Sup Primordial.
Dari percobaan ini ditarik kesimpulan bahwa makhluk hidup berasal dari lautan purba. Teori ini kemudian mendapat respon negatif dari para penganut paham biogenesis.
Dengan percoban-percobaan yang dilakukan, akhirnya Louis Pasteur berhasil mementahkan argumen generatio spontanea (Abiogenesis) dengan percobaan labu leher anggsa.
Ia menolak secara tegas generatio spontanea dengan postulat bahwa percobaan Sup Primordial tidak mempertimbangkan bakteri dan mikroorganisme di dalam lautan sebagai penyebab munculnya makhluk hidup.
Omne Vivum ex Vivo, makhluk hidup hanya dapat berasal dari makhluk hidup adalah adagium terkenal yang dilontarkan oleh Pasteur dan menjadi dasar bagi teori biogenesisnya.
Teori evolusi selanjutnya datang dari Charles Darwin. Teori ini menjelaskan asal-usul manusia dilihat dari kunci determinasi klasifikasi makhluk hidup, yang mana manusia berada dalam hubungan kekerabatan dengan Kera sebagai hewan primata.
Faktor kekerabatan dalam taksonomi ini menyiratkan bahwa manusia mungkin merupakan hasil evolusi sempurna dari Kera.
Teori Darwin adalah satu dari sekian banyak teori evolusi yang paling kontroversial yang menuai polemik dan mendapat penolakan oleh kaum Agamawan dan kelompok ilmiah.
Penelitian dan diskusi lebih lanjut tentang teori evolusi manusia pada akhirnya akan bermuara kepada alasan yang metafisik dan transendental sebagai jawaban terakhir.
Misalnya, jika ingin mengusut teori biogenesis, maka kita akan sampai pada satu pertanyaan terakhir, dari manakah makhluk hidup yang pertama berasal sebelum mengasalkan makhluk hidup lainnya?
Pertanyaan ini tentu saja akan menjadi pertanyaan terbesar dalam menelisik sejarah awal umat manusia dan akan selalu membangkitkan gairah ilmiah para saintis untuk menemukan jawabannya.
Terlepas dari kisah penciptaan yang ajaib, kita tidak dapat memungkiri adanya tahap-tahap evolutif dalam perkembangan peradaban umat manusia.
Evolusi dalam narasi ini harus diartikan secara luas sebagai proses evolusi subjektif-psikologis yang mencakup kebudayaan sebagai hasil dari pola pikir masyarakat yang berkembang, teknologi sebagai produk kecerdasan peradaban manusia dan kemajuan-kemajuan lain yang dialami umat manusia seiring dengan perubahan arus zaman.
Evolusi dalam tubuh peradaban umat manusia tak pernah lelang oleh waktu. Manusia sedang berevolusi dan masih akan terus berevolusi, hal ini ditandai dengan berkembangnya peradaban umat manusia di seluruh dunia.
Setiap saat muncul kebudayaan baru yang lebih relevan dengan kompleksitas dinamika spasial-temporal.
Kebudayaan-kebudayaan baru sebagai bentuk perkembangan peradaban memperlihatkan pada kita gejala intuisi manusia yang mempunyai tendensi untuk selalu tertuju pada kehidupan yang lebih maju dan sejahtera.
Hal ini dengan mempertahankan nilai-nilai progresif dan meninggalkan nilai-nilai regresif yang sudah tidak sesuai dengan konteks kehidupan saat ini.
Problem eksistensial terkait peradaban manusia yang evolutif ini tidak lagi berorientasi pada pertanyaan seputar dari manakah manusia berasal?
Tetapi berusaha mencari makna terdalam dari proses evolusi itu sendiri dengan mempertanyakan ke manakah tujuan manusia?
Lintasan sejarah secara terang-terangan menampakkan kepada kita bagaimana proses evolusi umat manusia itu berlangsung.
Kita bisa membandingkan kebudayaan pada satu ruang-waktu dengan kebudayaan lain di ruang-waktu yang lain pula.
Perbandingan ini menyimpulkan perbedaan yang menjadi konstanta evolusi. Umat manusia berkembang dari masyarakat primitif menuju kepada masyarakat modern, dari pola pikir sempit menuju kepada wawasan dunia yang luas, dari ketertinggalan menuju kepada suatu kemajuan yang kian hari semakin tak terbendung.
Evolusi yang terjadi dalam peradaban saat ini bukan merupakan persoalan biologis semata, tetapi telah sampai pada evolusi dalam ranah afektif dan psikologis dalam tataran kesadaran manusia demi mewujudkan kehidupan yang semakin beradab.
Evolusi ini tidak mengasalkan manusia pada sup primordial, teori biogenesis ataupun makhluk primata yang mirip dengan manusia, tetapi mengasalkannya pada intuisi, pengalaman indrawi dan rasionalitas manusia yang sesuai dengan dunia yang dihuninya.
Dalam realitas saat ini, indikator evolusi yang menandai perkembangan peradaban umat manusia adalah teknologi.
Perkembangan teknologi melejit lebih pesat dibandingkan apapun, terutama dalam dekade terakhir ini. Manusia berhasil menciptakan teknologi yang memudahkan manusia dalam keberlangsungan hidupnya.
Bahkan, saat ini, teknologi menjadi hal yang tidak mungkin dilepaspisahkan begitu saja dari kehidupan umat manusia modern.
Teknologi telah menyentuh setiap sektor kehidupan manusia, mulai dari hal yang paling konkret sampai pada hal yang paling kompleks.
Teknologi yang ada saat ini memungkinkan manusia untuk menuntaskan pekerjaannya lebih awal dibandingkan yang seharusnya terjadi.
Intuisi manusia selalu tertuju pada peradaban yang semakin baik. Manusia saat ini bukanlah manusia primitif yang hanya mengandalkan apa yang disediakan oleh alam, manusia saat ini adalah manusia yang sepenuhnya menguasai alam, bahkan memanipulasi alam demi perkembangan peradabannya.
Teknologi adalah masa depan umat manusia. Dalam wacana futuristik, ada banyak praduga yang meramalkan suatu dunia serba canggih sebagai peradaban baru umat manusia.
Dunia serba canggih ini adalah tujuan manusia guna menjawabi pertanyaan eksistensialis. Peradaban umat manusia terarah kepada dunia melek teknologi.
Dugaan demikian bukanlah ramalan tanpa sebab dan alasan. Wacana futuristik tentang evolusi peradaban manusia bertolak dari data dan fakta saat ini yang mempertontonkan betapa pesatnya teknologi itu berkembang, menyentuh segala lini kehidupan, dimanfaatkan oleh semua orang tanpa batasan usia dan perbedaan golongan serta tak dapat dibendung.
Yang menjadi ketakutan terbesar adalah bahwa teknologi akan menduduki tingkat taksonominya sendiri, menggantikan peran manusia dan menguasai dunia. Manusia hanya akan menjadi penonton atas dunia yang sedang digerakkan oleh teknologi.
Dengan kata lain, perkembangan peradaban manusia pada akhirnya menuju kepada kehancuran peradaban itu sendiri.
Terlambat bagi manusia modern untuk melepaskan diri belenggu teknologi, tetapi manusia tidak pernah terlambat untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan.
Manusia memerlukan suatu proses evolusi yang mengintegrasikan intuisi, pengalaman, rasionalitas dan relasionalitas manusia demi mempertahankan peradabannya. Lantas, bagaimana evolusi itu dapat terwujud?
Manusia perlu kembali kepada kesadaran dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, bahwasanya manusia adalah makhluk yang berakal budi dan berkehendak bebas.
Dengan nalar dan kehendak ini, manusia menjadi tuan atas apa yang ia ciptakan. Kesadaran ini menjadikan manusia tidak hanya sebagai makhluk yang sekedar beradab, tetapi juga mampu bertanggung jawab kepada Pencipta dari mana ia berasal dan kepada peradaban yang ia bangun.
Dari mana manusia berasal dan ke manakah manusia akan pergi?
Atilio Cesar Dos Santos Neri, Mahasiswa semester IV Fakultas Filsafat UNWIRA, Kupang. Tulisan ini adalah refleksi pribadi penulis bertolak dari pembacaan atas Novel Origin, karya Dan Brown.