Oleh: Yohanes A. Loni
Anak merupakan investasi paling berharga bagi keberlangsungan negara kita tercinta ini di masa mendatang. Namun sayangnya, di negeri ini masih subur praktik eksploitasi terhadap anak.
Pekan lalu, Kabid Humas Polda NTT Kombes Rishnan Krisna mengatakan, pihaknya razia pada sejumlah tempat hiburan di wilayah Kabupaten Sikka.
BACA JUGA: Anak Pekerja Pub Titipan Polda NTT Kabur dari Shelter Truk F Maumere
Polda NTT mengungkap tabir jaringan kejahatan seksual dan perbudakan seks di NTT. Polisi menemukan terdapat 17 orang anak yang diduga dipekerjakan di Tempat Hiburan Malam (THM).
Ke-17 anak di bawah umur menjadi pekerja di tempat kaleb, yakni Libra, Sasarai, Bintang, dan T. 999 (Media Indonesia, 18/6/2021).
Hal ini menggugah kesadaran kita bahwa perang terhadap eksploitasi anak harus terus dilakukan. Memutus rantai eksploitasi anak sesungguhnya merupakan PR bagi kita semua.
Eksploitasi terhadap anak atau mempekerjakan anak dengan tujuan ingin meraih keuntungan merupakan tindakan tidak terpuji dan melanggar Undang-undang.
Sebab, hal itu telah merampas hak-hak anak, seperti mendapatkan kasih sayang dari orangtua, pendidikan yang layak, dan sarana bermain yang sesuai dengan usianya.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 18 dijelaskan bahwa anak seharusnya memperoleh hak hidup, tumbuh dan berkembang, serta wajib mendapat perlindungan dari eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual).
Terungkapnya kasus tersebut seharusnya menjadi momentum untuk menuntaskan persoalan eksploitasi anak. Sebab jumlah anak yang menjadi pekerja di negeri ini masih banyak.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga 2021 masih ada lebih dari 1,7 juta anak Indonesia yang menjadi pekerja.
Bahkan, 400 ribu di antaranya terpaksa bekerja untuk pekerjaan yang buruk dan berbahaya, seperti perbudakan, pelacuran, pornografi, perjudian, pelibatan pada narkoba, dan lainnya.
Hal ini membuktikan keberpihakan atau penghargaan terhadap hak asasi pada anak masih minim, bahkan belum diakui masyarakat kita. Permasalahannya sekarang, bagaimana memutus rantai eksploitasi anak tersebut?
Masih terjadinya eksploitasi anak pangkal utamanya berawal dari faktor ekonomi, terutama ekonomi keluarga yang menengah ke bawah.
Tingkat kebutuhan yang tinggi, sementara pemasukan yang tidak sepadan menuntut/memaksa seorang anak membantu orangtuanya mencukupi kebutuhan keluarga.
Orangtua yang dilatarbelakangi motif ekonomi tersebut akhirnya memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
Pada titik inilah munculnya kecenderungan anak-anak berubah peran dari ‘sekadar membantu’ menjadi ‘pencari nafkah utama’.
Selain itu, kemiskinan yang lekat dengan golongan lapisan bawah oleh sebagian besar masyarakat kita dijadikan sebagai sebuah alasan pembenaran terhadap praktik-praktik mempekerjakan anak dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.
Di samping itu pula masih ada semacam pola asuh dalam keluarga bahwa anak harus menuruti kemauan orangtua.
Hal ini membuat anak dalam posisi tidak berdaya dan menjadikan anak menuruti kemauan orangtua untuk dipekerjakan pada orang lain.
Anak memang berkewajiban patuh pada orangtua, tetapi ia sebagai manusia juga memiliki hak.
Anak tidak berkewajiban bekerja dalam ranah mencari nafkah bagi keluarga. Justru orangtualah yang berkewajiban untuk menafkahi dan memastikan anak memperoleh hak-haknya, bertumbuh, dan berkembang sesuai usianya.
Anak-anak yang dipaksa dipekerjakan akan mengalami gangguan pada tugas perkembangannya.
Anak akan kekurangan kasih sayang orangtuanya karena lebih disibukkan pada aktivitas bekerja. Anak juga terampas hak-haknya.
Yang paling terasa oleh anak ialah kehilangan pendidikan atau haknya untuk belajar memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya. Anak menjadi putus sekolah.
Hal tersebut mengakibatkan mudah terjadinya penyimpangan perilaku pada anak yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat.
Anak kesulitan membedakan antara yang benar dan yang salah, serta sulit membaur dengan masyarakat. Pada akhirnya, negara kita akan mengalami krisis generasi unggul.
Permasalahan eksploitasi anak tak boleh kita biarkan terus-menerus terjadi.
Peran serta semua pihak sangat dibutuhkan untuk memutus rantai praktik eksploitasi anak, baik secara kelembagaan maupun perseorangan, dari mulai keluarga sendiri, sekolah, masyarakat, sampai pemerintah sehingga terbentuk sinergi untuk menghentikan praktik eksploitasi anak.
Pertama, pemerintah perlu lebih gencar melakukan sosialisasi perlindungan anak, terutama masyarakat berpendidikan dan bertaraf ekonomi rendah agar tidak terbujuk iming-iming yang justru akan menjerumuskan anak.
Penegak hukum perlu lebih memperketat daerah-daerah yang mempekerjakan anak dan memutus gerak pelaku eksploitasi anak.
Tidak hanya itu, aparat penegak hukum perlu menindak secara tegas para pengeksploitasi anak meski itu orangtuanya sendiri.
Hal ini untuk memberi pembelajaran dan pemahaman pada orangtua akan bahaya eksploitasi anak, di samping memberi efek jera.
Kedua, mewujudkan gerakan Kampung Ramah Anak (KRA). Sudah waktunya model KRA ini senantiasa dibudayakan, dipupuk, dan terus dikembangkan.
Eksistensinya pun harus bersinergi dengan pendidikan formal di sekolah dan peran serta masyarakat setempat.
Kita tentu menyadari, sebagus apa pun konsep apabila tidak didukung komitmen para pelaku, akan terkendala pada implementasinya.
Dengan KRA ini, bakal mengedukasi orangtua sebagai lingkungan masyarakat terkecil untuk bisa memahami hakikat pendidikan ramah anak melalui pola pengasuhan di dalam keluarga.
Budaya memperhatikan anak yang kini semakin tergerus zaman perlu dibangun kembali.
Orangtua perlu memastikan anaknya secara inklusif dalam lingkungan yang aman secara fisik, melindungi secara emosional, dan menjaga psikologisnya.
Hal ini tentu akan berkorelasi positif dalam menghilangkan berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran hak anak serta sebagai upaya solutif problem dekadensi moral anak.
Ketiga, peran lembaga pendidikan, seperti sekolah lebih sensitif terhadap perkembangan anak didiknya dan peduli pada anak yang seharusnya bersekolah, tetapi justru dipaksa untuk bekerja.
Sekolah bisa mendesain kurikulum kewirausahaan untuk anak-anak yang terindikasi jadi korban eksploitasi.
Dengan program kewirausahaan, akan mendidik kreativitas dan inovatif anak sehingga menemukan peluang dan perbaikan hidup.
Akhir kata, sangat tidak tepat bila usia anak yang sewajarnya mengalami pertumbuhan dan perkembangan mengenal sesuatu yang baru malah dipekerjakan layaknya seperti orang dewasa.
Anak seyogianya mendapatkan kebebasan menjalani dunia anak serta dilindungi hak-haknya. Sudah saatnya negeri ini bebas dari eksploitasi anak.
*******
Yohanes A. Loni adalah Mahasiswa Awam STFK Ledalero. Dia Tinggal di Maumere, Kabupaten Sikka