Oleh: Yohanes Mau
Fratertelli tutti– Kita semua bersaudara. Wabah Covid-19 sedang melanda dunia.
Datang dan hadir dalam diam. Datang dalam waktu yang tak menentu. Hadirnya membuka mata manusia untuk melihat dengan kaca mata baru.
Kaca mata yang bisa membantu mata untuk melihat yang tak terlihat selama ini. Juga membuka hati manusia untuk merasa dengan hati yang penuh belaskasih.
Hati yang mengalirkan cinta tanpa hitung dan harap pulang. Hati yang mengalirkan cinta agape hingga relung-relung terdalam.
Dunia kini resah dan gelisah. Manusia sedang berada di tengah derasnya terpaan badai ombak yang tak menentu.
Badai itu bernama pandemi Covid-19. Kita sedang bergulat di atas perahu menuju pelabuhan.
Namun sayangnya badai menerpa kapal hidup di tengah lautan lepas. Kita bosan dan lelah menghadapinya.
Entahlah sampai kapan perahu hidup kita bisa bersandar di pelabuhan merdeka. Pelabuhan merdeka adalah dambaan hati semua manusia yang kini sudah jenuh dengan pandemi Covid-19.
Pelabuhan merdeka adalah rindu yang mengalir dalam sunyi hidup dunia menuju bebas yang membebaskan.
Manusia ingin bebas dan kembali kepada kesadaran semula. Manusia ingin menjalankan realitas hidup sebagaimana ada sebelumnya.
Manusia ingin bebas dan tak mau dibatasi oleh ruang dan waktu. Bebas artinya berlayar menembusi sekat-sekat kepalsuan yang memenjarahkan.
Berlayar menggapai yang tak terjangkau oleh sentuhan kasih sepanjang musim pandemi selama ini.
Ternyata Covid-19 ini lebih deras gaungnya karena bisa menembusi sekat-sekat tembok rumah ibadat.
Bahkan hati pemimpin agama-agama, dan pemimpin negara-negara pun takluk tak berkutik. Ilmuwan tenar sejagat pun tak ada gemanya.
Virus corona memang jenis wabah terganas di abad ini yang telah menggoreskan sejarah dan kenangan tak terlupakan hingga abadi.
Tiada lagi hangat cinta yang membias antara para sahabat. Tiada lagi suka- ria dan pesta pora merayakan bahagia secara bersama di publik.
Covid-19 telah memblokir semuanya tanpa kompromi. Tiada lagi saat indah untuk berkumpul secara bersama di pelataran Tuhan untuk mengemis cintaNya.
Pemimpin-pemimpin agama takluk dan tak berdaya. Sembari masuk dalam zona nyaman agar luput dari virus ganas ini.
Masuk dalam hening agar selamat dari virus. Masuk dalam hening agar hidup ini tetap ada hingga keabadian. Mungkin saja.
Kini kita semua sedang berlayar di atas samudra nan luas bernama bumi. Kita bersama mendayung biduk yang sama menuju pelabuhan merdeka.
Kita semua sama di hadapan badai pandemi ini. Di hadapan virus covid-19 tiada tua dan muda. Tiada kaya dan miskin.
Tiada hitam dan putih. Tiada rambut kriting dan air. Kita semua sama. Kita semua barsaudara di atas perahu bumi dan sedang menuju pelabuhan yang satu dan sama yakni pelabuhan merdeka.
Oleh ganasnya badai pandemic Covid-19 anak-anak negeri mati bagai binatang jalanan. Hati manusia pilu akan tragedi gelap ini.
Manusia pun tampil dengan multi kreatip hadapi badai pandemi. Aneka tawaran produk medis diciptakan untuk menolong korban virus dan mencegah virus.
Banyak produk yang disalurkan dari ujung bumi hingga ke ujung-ujungnya. Dari Negara paling maju kepada negara paling miskin seperti Zimbabwe dan beberapa negara lainnya.
Tujuannya hanya satu untuk menolong manusia. Produk-produk yang kini sedang gencar bredar di tengah panggung dunia diantaranya, thermometer digunakan untuk ukur suhu badan memastikan normal tidaknya suhu badan, sanitazer untuk cuci tangan agar tidak muda terjangkit dari virus corona, masker untuk menangkis masuknya virus melalui (MEN) mouth, eyes, and nouse.
Ada vaksin dengan berbagai jenis untuk melindungi diri dari serangan virus corona dalam tempo yang tak menentu.
Pokoknya segalanya ada untuk memblokir Covid-19. Inilah upaya manusia hingga saat ini. Apa hasil dari hadirnya produk-produk ini selanjutnya akan melenyapkan Covid-19? Kita lihat saja karena hingga kini virus enggan pergi. Apakah ini hanyalah sandiwara propaganda ekonomi bisnis politik? Mungkin saja.
Dalam situasi dunia yang tak menentu ini pemimpin umum Gereja Katolik di Vatikan-Roma Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik “Fratertelli tutti” (Persaudaraan dan persahabatan bersama)- yang dipublikasikan di Vatikan 4 Oktober 2020) bertepatan dengan peringatan Santo Fransiskus Asisi.
Dunia dipanggil secara mendesak dalam waktu tak menentu untuk menjamah bumi dan menyelamatkannya agar tetap menjadi rumah yang layak dihuni oleh segala makhluk.
Mari kita dayung perahu hidup dari samudra bumi ini menuju pelabuhan merdeka. Kita buka hati dan melihat wajah dunia sembari Mohon Tuhan, “Ya Sang Khalik, teduhkanlah getaran perahu hati manusia dengan hembusan putih sabdaMu agar tetap setia berlayar hingga samudra kehidupan di tengah derasnya terpaan ombak hidup ini.
Kami yakin dan percaya Engkau peduli dan mengerti dalamnya resah hati ini. Covid-19 hanyalah getaran badai musim yang menerpa kapal hidup dan meneguhkan iman kami untuk setia berkanjang mengabdiMu hingga abadi. Engkau tak pernah tidur melihat segalanya. HatiMu penuh belaskasih mengalirkan cinta tiada henti.”
Penulis:
Warga Belu Utara NTT Indonesia
Penulis buku Ibu, Aku Rindu
Kini tinggal di Zimbabwe-Afrika