Oleh: Reinaldus K. Mogu
Siswa Kelas XII IPA SMA St. Klaus Kuwu
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan disrupsi dalam berbagai sendi kehidupan dunia, umumnya dan Indonesia, khususnya. Hadirnya Covid-19 dirasakan sebagai horor yang membawa ketakutan yang mengebu-gebu.
Pandemi membawa perubahan dalam tatanan kehidupan sosial yaitu, perubahan cara-cara kehidupan lama dan diganti dengan cara-cara kehidupan yang baru.
Misalnya, sebelum pandemi kita belajar di gedung sekolah, namun di masa pandemi ini kita harus melaksanakannya dari rumah, bahkan kerja pun dari rumah, dan berbagai contoh lainnya.
Ironisnya perubahan yang begitu cepat dan meluas, telah banyak mempengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat terhadap nilai, norma, dan perilaku.
Sehingga tak heran masyarakat merasa perubahan tersebut sebagai sebuah ‘pertentangan’, ‘aneh’ dan ‘berlawanan’ dengan kebiasaan sebelumnya.
Misalnya hadirnya kebijakaan baru seperti, memakai masker, menjaga jarak dan stay at home membuat segenap masyarakat merasa bahwa hal tersebut sebagai sesuatu hal yang ‘aneh’ dari kebiasaan sebelumnya.
Akibatnya banyak masyarakat yang melanggar peraturan protokol kesehatan selama pandemi. Dapat disimpulkan, bahwa ada hubungan yang sangat jelas antara kebijakan di masa pandemi dan reaksi yang diberikan oleh masyarakat, hal ini terbukti dari peningkatan kasus positif yang kian melonjak dari waktu ke waktu.
Reaksi yang diberikan tersebut dapat juga disimpulkan bahwa, setiap masyarakat tidak lagi mempunyai rasa persaudaraan atau kesatuan dalam mengatasi pandemi, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2020, ketika menghadiri secara virtual peringatan HUT Ke-70 Ikatan Dokter Indonesia.
Ia mengatakan demikian.” Keteladanan yang ditunjukan para dokter di masa pandemi ini, telah menginspirasi jutaan anak bangsa untuk saling menolong, saling peduli, bersatu padu meringankan beban sesama, bersinergi mengatasi pandemi dan berjuang bersama untuk pulih dan bangkit.” Pasalnya, apa yang disampaikan ini tidak berjalan seindah idealnya.
Untuk itu, perlu adanya suntikan nilai-nilai fundamental dalam mewujudkan persatuan atau persaudaraan antara masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
Soejono Sukanto mengatakan bahwa salah satu hal yang dapat memperkuat atau mewujudkan persatuan itu ialah dengan berkomunikasi.
Komunikasi memiliki peranan yang sangat penting. Semakin efektif komunikasi yang berlangsung, maka semakin cepat persatuan dibentuk, namun sebaliknya semakin tidak efektif komunikasi yang berlangsung maka pembentukan persatuan akan terhambat.
Salah satu tradisi yang memiliki fungsi membentuk komunikasi dan persatuan di masyarakat Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah lewat kebiasaan lejong.
Kebiasaan lejong merupakan ruang bertemunya masyarakat Manggari. Lewat kebiasaan ini mereka dapat saling bercerita, bertukar pikiran atau pun berdiskusi perihal hal-hal yang baik untuk kehidupan sosial atau pun mengenai hal-hal lain yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Misalnya, di tengah pandemi ini, mereka dapat bertukar pikiran bahwa mematuhi pertokol kesehatan adalah sebuah tindakan yang baik dan benar.
Ironisnya, di tengah pandemi, kebiasaan ini mesti dipikirkan lagi bahkan ditangguhkan, lantaran munculnya nilai-nilai baru, seperti menjaga jarak, memakai masker dan stay at home.
Tetapi, tidak menutup kemungkinan untuk tidak menjalankannya secara total. Karena manusia Manggarai juga merupakan mahkluk sosial (homo socius), yang harus berinteraksi tanpa sekat.
Untuk itu, Masyarakat harus menjalankan kebiasaan lejong secara efektif. Artinya, lejong harus dijalankan sebagai sarana pembentuk persatuan.
Bukan sebaliknya, yaitu menjadi pemecah persatuan dalam masyarakat. Karena praktisnya, berhadapan dengan kecendrungan umat manusia, kebiasaan ini tidak lagi dimaknai dengan baik. Lantas kita bertanya, apakah kebiasaan lejong dapat membentuk persatuan di masa pandemi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis akan memulainya dengan membedah term ‘budaya lejong’ dan kemudian mengaitkannya dengan kecendrungan umat manusia yang kerap memwarnai kehidupan sosial, yaitu gosip.
Penulis akan mengkritisi sejauh mana budaya lejong yang sejatinya pembentuk persatuan, kini hanyalah menjadi wadah bagi masyarakat untuk saling bergosip.
Budaya Lejong: Definisi
Manusia adalah mahkluk sosial yang secara kodrati tidak bisa hidup tanpa ada orang lain. Dalam artian manusia harus hidup bersama dengan yang lain, guna mempertahankan kehidupanya (survive) dalam lingkungan sosial.
Dalam mencapai kodrat kemanusiannya itu, masyarakat Manggarai membentuk dan mengembangkan sebuah hubungan sosial dengan manusia yang lain. Salah satu sarananya adalah melalui kebiasaan lejong.
Dalam Kamus Bahasa Manggari-Indonesia kata lejong berarti saling berkunjung atau bertamu. Dengan demikian budaya lejong merupakan kebiasaan saling berkunjung atau ruang bertemunya masyarakat Manggarai sebagai wadah untuk bercerita, berbagai pengalaman, dan bertukar pikiran atau berdiskusi.
Kebiasan ini dijalankan secara otomatis, dan tidak mengenal waktu. Lantaran dalam menjalankannya, antara tamu dan pihak penerima tamu tidak diawali oleh sebuah perjanjian atau pun kesepakatan.
Jika hanya dilihat sekilas budaya lejong hanya merupakan sebuah aktivitas berkumpul biasa seperti, tempat nongkrong, lantaran bahasa yang digunakannya pun tidak begitu formal. Akan tetapi, budaya ini mengandung berbagai keutamaan dan kebaikan, terutama jika melihat isi atau pokok pembicaraan.
Karena itu, dalam kebiasaan lejong, menyampaikan atau membicarakan kebenaraan, bukan kebohongan adalah hal yang utama dan pertama. Sehingga, hemat penulis masyarakat Manggarai harus memahami unsur-unsur pokok dalam menyampaikan pokok pembicaraan.
Karena peraktisnya penyebaran kebohongan ini dikarenakan kurangnya pemahaman unsur-unsur ini. Terdapat kurang lebih dua unsur pokok yang perlu diperhatikan.
Pertama, topik atau bahan pembicaraan. Topik tidak akan pernah terlepas dari komunikasi antara komunikator dan komunikan. Hal ini sangat sesuai dengan dengan arti kata komunikasi itu sendiri, communicatio yang berarti ‘ pemberitahuan’ atau ‘ pertukaran pikiran’.
Topik atau bahan pembicaran merupakan suatu hal yang menjadi pusat atau pokok pembicaraan. Dalam menjalankan kebiasaan lejong topik pembicaraannya selalu lahir seputar kehidupan sosial, baik kehidupan anak-anak, keluarga, kampung, atau hal-hal lainnya.
Dalam menyampaikan bahan pembicaran, terdapat tiga sifat yang harus diperhatikan yaitu, aktual, faktual, dan praktis.
Aktual, berarti membicarakan hal-hal yang baru atau yang sifatnya terbaru sedangkan faktual, berarti harus mengandung kebenaran umum atau sesuai kenyataan, dan praktis dalam tataran ini berarti berdasarskan apa yang telah terjadi.
Kedua, saling mengingatkan. Komunikasi antara dua orang atau lebih, sangatlah mempengaruhi sikap dan tingkah laku pihak yang menjadi sasarannya (komunikan). Hal ini sesuai dengan fungsi komunkiasi yaitu, untuk menginformasikan (to inform), menghibur (to entertain ), mendidik (to educate) dan mempengaruhi (to ifluence).
Dengan demikian dalam mencegah terjadinya penyebaran informasi yang tidak benar di tengah masyarakat, maka pihak komunikator dan komunikan mesti saling mengingatkan tat kala pihak yang memberi informasi itu memberikan informasi yang salah.
Misalnya, ada seseorang warga yang menyampaikan suatu hal yang kebenarannya belum jelas (dia menyampaikannya seolah-olah kenyataannya sudah demikian) maka pihak yang juga mengetahui hal tersebut harus segera mengklarifikasi hal itu, sehingga tidak terjadi kesalah- pahaman dalam masyarakat.
Gosip: Sebuah Kecendrungan
Menurut Sao Paulo gosip merupakan sebuah kebiasan buruk yang selalu dimulai dari hal-hal kecil. Gosip biasanya diawali isu, rumor atau desas- desus yang dasarnya mengandung hal yang sama yaitu seletingan kabar angin yang belum jelas kebenaranya.
Ia mengatakan gosip sebagai sebuah kecendrungan karena praktisnya manusia kerap menyebarkan suatu hal atau membicarakan suatu hal dengan tidak memperhatikan kebenarannya,‘sok tahu’ padahal yang mereka bicarakan itu ialah hanya berdasarkan apa yang mereka lihat tanpa mengkritisinya terlebih dahulu.
Dalam Kamus Sosiologi gosip merupakan berbagai obrolan tentang prilaku negatif yang dilakukan oleh seseorang tanpa didukung oleh fakta yang jelas. Obrolan itu dalam waktu yang sangat singkat dapat disebar luaskan dari mulut ke mulut.
Pada sisi yang lain gosip merupakan sebuah fenomena dan dinamika sosial yang perannya tidak selalu negatif tapi juga dapat mendorong masyarakat pada hal-hal yang positif dan menyadarkan seseorang bahwa sesuatu yang dilakukannya itu tidak disukai oleh sekelompok warga, sehinga gosip dapat dijadikan sebagai alat pengendalian sosial.
Dikatakan demikan karena gosip biasanya berfokus pada kesalahan.
Kendati demikian masyarakat yang tahu dan merasa dirinya sudah menjadi sasaran gosip, biasanya berubah supaya tidak menjadi sasaran untuk kedua kalinya.
Penulis menilai gosip sebagai sebuah kecendrungan alamiah karena, pertama, dalam menjalankan interaksi sosial, topik atau bahan pembicaran selalu seputar kehidupan sosial.
Dalam interaksi tersebut masyarakat akan berdiskusi perihal hal-hal yang baik dalam kehidupan sosialnya, yaitu dengan membandingkan kejadian yang kebenaranya belum jelas tapi mereka menilainya sebagai suatu hal yang buruk. Dalam membandingkan hal tersebut, mereka mulai bergosip.
Kedua, kehidupan manusia selalu diwarnai oleh gosip. Hal ini nampak dari teori gosip yang dikemukakan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens.
Ia menulis demikian: Teori gosip memang terdengar seperti lawakan, namun banyak penelitian yang mendukungnya.
Bahkan sekarang pun mayoritas sangat besar komunikasi manusia – baik dalam surat elektronik, panggilan telepon, ataupun kolom surat kabar – adalah gosip.
Gosip sedemikian wajar bagi kita sehingga bahasa kita berevolusi untuk alasan ini.
Teori ini mau menunjukan bahwa kehidupan manusia rentan diwarnai gosip. Gosip sudah menjadi sebuah kecendrungan yang kerap memwarnai setiap komunikasi antara umat manusia.
Lantas Harari mengatakn bahwa bahasa kita berevolusi hanya untuk alasan bergosip.
Gosip akan berdampak buruk, tatkala seseorang yang menjadi sasaran gosip membantah desas-desus yang tak benar tersebut.
Dan hal itu akan menimbulkan sebuah konflik dalam masyarakat yang akan mengarah pada pecahnya kesatuan dalam masyarakat. Lantas bagaimana pengaruh gosip terhadap kesatuan yang dibentuk lewat kebiasaan lejong?
Sisi Problematis
Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus pernah memprediksi bahwa epidemi besar akan terus melanda manusia pada genersi demi generasi. Prediksi ini kemudian terbukti tepat pada Rabu, 11 Maret 2020 World Health Organization (WHO), resmi mengumumkan covid-19 (coronavirus disease) sebagai pandemi global (global pandemic) lantaran penyebaran virus yang begitu cepat dan masif.
Penyebaran virus yang begitu cepat dan masif, membuat seluruh tatanan kehidupan sosial dirombak untuk menyusaikan dengan segala situasi dan kondisi yang ada. Lantas berbagai cara dilakukan guna mengatasi dan memwaspadai diri dari global pandemic. Misalnya, kebijakan untuk memakai masker, menjaga jarak dan stay at home. Sejatinya kebijakan ini akan efektif dalam memutus rantai penyebaran tat kala masing-masing orang bersatu untuk memutuskan rantai penebaran Covid-19.
Praktisnya, masih begitu banyak masyarakat yang tidak mengindahkan kebijakan ini, sehingga tak heran ketika kita melihat terdapat ratusan juta nyawa yang menjadi korban akibat Covid-19.
Dalam masyarakat Manggarai hadirnya kebijakan ini cendrung mendapat tanggapan negatif ketimbang mematuhinya. Menurut tim Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19, daerah Manggarai, hanya terdapat 13% masyarakat Manggarai yang benar-benar mematuhi pertokol kesehatan selama pandemi.
Artinya masih terdapat begitu banyak masyarakat yang tidak peduli terhadap pertokol kesehatan. Salah satu buktinya adalah masyarakat Manggarai masih menjalankan kebiasaan lejong di tengah Covid-19 yang merebak.
Pada tataran ini penulis tidak mempersoalkan dan mempersalahkan masyarakat Manggari yang tetap menjalankan kebiasaan ini di masa pandemi, karena hemat penulis masyarakat Manggarai juga merupakan mahkluk sosial yang secara kodrati tidak bisa hidup tanpa ada orang lain. Dalam artian mereka harus tetap berinteraksi, tanpa sekat. Karena dengan kebiasaan itu juga mereka dapat membentuk dan memperkuat persaudaraan.
Yang menjadi permasalahannya di sini ialah, tat kala masyarakat Manggarai menjalankan kebiasaan lejong hanya sebagai sebuah media atau tempat bertemunya umat manusia untuk saling bergosip. Karena bergosip antara sesama masyarakat, akan menimbulkan rasa benci yang pada akhirnya akan mengalami konflik.
Memang ada nilai positif dari adanya gosip dalam masyarakat. Tetapi peraktisnya gosip selalu berdampak pada konflik, yang berakibat fatal pada pecahnya nilai persatuan.
Dalam kurung waktu selama pandemi, tercatat terdapat 259 kasus di daerah Manggarai yang mengatas namakan gosip, lebih khusus pencemaran nama baik.
Dengan pecahnya rasa persatuan atau persaudaraan dalam masyarakat maka masyarakat akan dilanda oleh globalisasi ketakpedulian (globalization of indifference), yang terungkap lewat ketidakmampuan untuk berempati dalam penderitaan sesama.
Akibatnya pecahnya persatuan itu membuat masyarakat tak lagi peduli dengan penderitaan sesamanya, terutama di masa- masa pandemi ini.
Langkah Solutif
Gosip yang semakin berdampak buruk pada tatanan kehidupan sosial, menghadirkan sebuah kecemasan akan hancurnya sebuah kesatuan antara masyarakat.
Untuk itu, mengatasi hal demikian, penulis merasa pentingnya untuk mengelola rasa kemanusian dalam relasi dengan sesama umat manusia. Dengan mengelolah kemanusian seseorang dapat menerobosi kecendrungan negatifnya yang meluluh-lantahkan.
Dalam menggelola kemanusian, Martha Nussbaun, seorang psikolog terkemuka, menawarkan tiga kecakapan dasar yang dapat diambil. Namun pada tataran ini penulis hanya mengambil dua dari tiga kecakapan dasar tersebut.
Pertama, “kecakapan untuk melakukan ujian kritis terhadap diri sendiri berserta tradisiku”. Kecakapn ini berhubungan dengan sikap autokritik.
Artinya setiap tindakan kita semestinya dikeritisi atau diuji, mana yang layak dijalankan dan mana yang tidak. Karena itu, tindakan yang kita jalankan semestinya adalah tindakan yang sudah diuji atau dikritisi.
Pada titik ini Nussabaum menunjukan bahwa dengan mengkritisi diri sendiri seseorang dapat mengenali dirinya sendiri dan hal yang harus dibuat di tengah linkungannya. Sehingga dengan mengenal hal tersebut kita dapat bertingkah sesuai yang dikritisi.
Dalam kaitannya dengan gosip lewat kebiasaan lejong, ujian kritis terhadap diri sendiri mampu membuat kita untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan kita masing-masing, sehingga dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa ‘saya’ dan ‘mereka’ adalah sama.
Oleh karena itu, jika kita masih menjalankan kebiasaan lejong di masa pndemi ini, maka jalanilah dengan benar, bukan malah bergosip tentang masyarakat lain.
Kedua, “kecakapan untuk melihat dirinya bukan melulu sebagai warga negara dari wilayah atau kelompok lokal tertentu”.
Dalam hal ini kita sadar bahwa kita adalah makhluk insani yang terikat dengan mahkluk insani yang lain melalui jaringan pengakuan dan keprihatinan sebagai sesama manusia. Hal ini tentu amat didukung oleh pengetahuan luas tentang kebudayaan sendiri dan orang lain. Ada pemahaman yang seimbang tentang perbedaan ras, gender dan seksualitas.
Pada titik ini pula kita menyadari bahwa realitas dunia kita dirajut dalam jaringan mahaluas yang kait-mengait. Dalam jaringan seperti ini, kita perlu dituntun ke suatu pemahaman realitas yang lebih baik dengan keterbukaan diri yang ikhlas dan jujur untuk belajar dari yang lan.
Pada tataran ini Nussabaum mengajak kita bahwa sebagai mahkluk sosial yang berkodrati, kita tak mampu hidup sendiri-sendiri. Dalam artian hidup kita bergantung pada keberadaan orang lain.
Dalam konteks gosip lewat kebiasaan lejong, kesadaran sebagai mahkluk sosial yang berkodrati, mampu menyadarkan kita bahwa gosip adalah suatu hal yang dapat memecahkan kesatuan umat manusia.
Sehingga supaya kita dapat hidup menjadi satu kesatuan dalam lingkungan sosial maka kita perlu menghilangkan kecendrungan kita untuk bergosip yang destruktif.
Sehingga di tengah pandemi ini, kita dapat menyadari bahwa kita tidak bisa mengatasi pandemi hanya dengan seorang diri saja, melainkan butuh kerja sama anarmasyarakat kolektif. Untuk itu sangatlah penting dalam membangun persatuan, mengatasi pandemi yang merebak.
Penutup
Kecendrungan umat manusia dalam relasinya dengan yang lain kerap kali merusak persatuan dan kesatuan masyarakat.
Untuk itu, hemat penulis dalam menghadapi kecendrungan yang medestruktifkan tersebut, umat manusia harus dapat mengegelolah rasa kemanusiaanya, supaya dengan demikian seseorang mampu menciptakan rasa persaudaraan dan persatuan sebagai mahkluk sosial, yang membutuhkan orang banyak untuk bertahan hidup (survive).
Nussabaum telah memberikan kecakapan dasar untuk dapat menggelolah rasa kemanusiaan itu, tinggal bagaimana kita mengimplementasikannya dalam kehidupan sosial.
Semakin efektif kita menjalaninya, maka semakin cepat kita menerobosi kecendrungan tersebut, namun semakin buruk kita melakukannya, hasilnya pun tetap sama, yaitu tetap mencintai gosip. Sehingga, jangan heran jika pandemi terus mengancam keberadaan kita.