Oleh: Yohanes A. Loni
Situasi politik di Manggarai Timur ahkir-ahkir ini mulai ramai diperbincangkan untuk menduduki kursi Nomor 1 pada tahun 2024.
Para kader dari berbagai partai pelan-pelan mengusung para calon kandidat yang akan mencalonkan sebagai pemimpin/Bupati di Matim.
Situasi politik 2024 mendatang marak dan ramai dengan berlangsungnya perhelatan politik yakni pemilihan bupati dan wakil bupati sebagai perwujudan cita-cita kemajuan Kabupaten Manggarai Timur.
Peristiwa politik Pilkada Matim 2024 ini membangkitkan perasaan-perasaan tertentu di dalam diri kita: antara gembira dan gelisah, cemas dan penuh harapan.
Jika ditanya, apa yang merindukan Pilkada Matim 2024, jawaban mungkin akan berbeda-beda. Namun di balik semua jawaban itu tersirat sebuah hasrat yang sama, yakni terselenggaranya tata kelola pemerintah yang baik (good goverance).
Pada hemat penulis, tulisan ini ingin menyoroti sisi-sisi gelap yang melahirkan perasaan cemas dan gelisah, menyongsong Pilkada Matim di tahun 2024.
Penulis melihat sisi gelap, dan akhirnya dengan beberapa catatan tentang tata kelola pemerintahan yang baik untuk Matim.
Merindukan Kemajuan Matim 2024
Melihat sisi gelap situasi Manggarai Timur menyongsong pilkada 2024. Yang ingin penulis soroti, yakni masalah infrastruktur yang belum diperbaiki di berbagai wilayah Kabupaten Manggarai Timur terutama di Elar, Elar Selatan, Kota Komba dan masih banyak beberapa kecamatan dan desa yang mengalami infrastruktur jalan masih rusak parah dan belum diperbaiki.
Infrastruktur Manggarai Timur
Infrastruktur telah lama merusak di berbagai daerah Manggarai Timur.
Infrastruktur di Matim bahkan sudah lama rasuk selama masa jabatan mantan Bupati Yoseph Tote dan Wakil Bupati Agas Andreas yang sekarang ini menjabat sebaggai Bupati Matim.
Mungkin infrastruktur bagi Agas Andreas bukan fokus utama selama masa jabatan menjadi Bupati. Inilah yang terjadi saat ini?
Realitas yang terjadi di Matim hari-hari ini tentunya membuat masyarakat kecewa. Mereka kecewa akibat infrastruktur yang belum diperbaiki selama masa jabatan Bupati Agas Andreas sebelum pergantian di tahun 2024.
Modus masa jabatan Agas Andreas saat ini operandinya variatif, seperti memanfaatkan proyek-proyek tertentu di daerah Matim untuk mendapat legitimasi DPRD, berkolusi dengan Gubernur serta pengusaha, dan lain-lain.
Hati-hati Politisi “Kutu Loncat”: Yang Mengkhianati Rakyat Matim
Suatu fenomena yang dapat diamati menyangkut perilaku para politikus menjelang Pilkada adalah politisi “kutu loncat”.
Kita lihat, tak sedikit politikus hengkang dari partainya karena merasa tak puas dengan keputusan partai yang menempatkan dia pada posisi bawah dalam nomor urut daftar Caleg; suatu hal yang bertentangan dengan hasratnya untuk menjadi calon nomor urut satu yang dinggap “nomor jadi”.
Siapakah yang beruntung dan siapa pula yang malang dalam situasi semacam ini? Penulis kira, tidak satupun kader yang berintegritas untuk mencalonkan Bupati Matim.
Hati-hati seorang politikus di Matim seperti “kutu loncat” bukan terutama karena kehendak partai melainkan karena adanya negosiasi dengan sejumlah pengurus partai atau calo internal partai yang ingin mendapatkan “imbalan” dari si politisi “kutu loncat”.
Yang patut dipertanyakan dari para politisi “kutu loncat” adalah soal arah kesetiaan atau komitmen mereka ketika menjadi bupati di Matim. Namun, kenyataannya, yang menduduki kursi bupati Matim adalah kader-kader parpol.
Para politisi memiliki ketertarikan kontraktual yang lebih kuat dengan partainya daripada dengan rakyat pemilih.
Akibatnya, seorang kader yang bakal calon bupati bisa menjadi jauh lebih loyal kepada partainya daripada rakyat yang telah memilihnya.
Partai Politik di Matim
Kecemasan dan kegelisahan juga muncul dari gejalah di sejumlah tubuh parpol yang dapat mengancam eksistensi Matim sebagai sebuah Kabupaten yang ingin berkembang.
Kecemasan kita terutama berkaitan dengan beberapa kader parpol yang memiliki kesiapan bakal calon bupati demi kepentingan pribadi dan keluarga. Sebetulnya, ini bukan hal baru.
Kontrol Pilkada Politik dalam Media Massa
Meningkatnya peran media dalam memberikan pendidikan politik sekaligus melakukan kontrol terhadap pemerintah dan DPRD merupakan salah satu perubahan menonjol pada era reformasi saat ini.
Jauh berbeda era Orde Baru di bawah rezim Soeharto, di mana kontrol pemerintah amat ketat terhadap media, yang terjadi justru sekarang sebaliknya.
Di samping memberikan pendidikan kritis kepada masyarakat, media massa dan elektronik telah menampilkan diri sebagai instrumen yang relatif independen dan otonom.
Pemerintah tidak lagi menyensor media dengan cata-cara represif dan intimidatif seperti pada masa Orde Baru.
Media telah menjadi alat dan sarana belajar politik bagi masyarakat. Bahkan, dengan menampilkan segi-segi kekurangan dan kecurangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara- legislatif, eksekutif dan judifikatif- mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan para pelaku pasar yang hendak berkoalisi dengan aparat negara.
Media lebih membantu masyarakat untuk bisa menilai secara kritis kinerja lembaga-lembaga tersebut dan dengan demikian dapat mengambil sikap politik tertentu menjelang pilkada 2024.
Pilkada yang Demokratis
Salah satu keutamaan demokrasi adalah bahwa sistem mempenyelenggaraan kekuasaan yang menempatkan semua rakyat pada posisi yang sama. (Bdk. Paul Budi Kleden, “Kenaapa Demokrasi? Mencari Kekuatan dan Kelemahan Demokrasi,” dalam jurnal Ledalero, II, 2003, hlm.5-18.
Sejauh mungkin semua warga yang telah mencapai usia tertentu berhak memiliki dan mengungkapkan pendapatnya secara bebas.
Demokrasi tidak memperkenankan adanya diskriminasi dalam distribusi kesempatan berpendapat dan menyatakan pendapat.
Pembatasan kesempatan untuk mengambil bagian dalam proses peralihan kekuasaan mesti dikurangi sejauh mungkin.
Maksudnya, syarat untuk membatasi penggunaan hak seseorang sebagai warga sebuah negara demokratis diusahakan seminimal mungkin.
Tidak ada masyarakat yang dilarang berpartisipasi dalam kehidupan bersama karena alasan-alasan yang bersifat primordial seperti suku, ras, agama, dan gender.
Demokrasi didasarkan pandangan bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dan bahwa kedaulatan rakyat itu mengungkapkan dirinya dalam pengaturan penyelenggara kekuasaan.
Masyarakat berdaulat apabila dia mengetahui apa yang menjadi hak yang dapat dituntutnya dari kesatuan politis yang ada, dan apabila dia mempunyai hak untuk menentukan orang yang melaksanakan apa yang dikehendakinya itu.
Misalnya, seorang warga yang berdaulat tahu bahwa negara berkewajiban menjamin kesejahteraan warganya dan bahwa dia memiliki hak untuk memberikan kepercayaan kepada politisi tertentu guna memimpin Kabupaten.
Pilkada 2024 dan Dambaan akan Good Goverence
Dari sorotan catatan kritis tentang pilkada 2024 terpancar suatu kerinduan dalam benak kita akan sebuah tata kelola pemerintah yang baik (Good Goverence) sebagai buah dari proses politik lewat Pilkada Matim 2024.
Tata kelola pemerintah yang baik mengandaikan partisipasi banyak pihak; pemerintah, serikat buruh, petani, pemimpin agama, kaum intelektual, media masa dan pelaku pasar, yang kalau dikelompokan, menjadi tiga dominan utama, yaitu negara, pasar dan masyarakat sipil.
Kita berharap, lewat Pilkada Matim 2024 yang demokratis, tidak terjadi dominasi salah satu pihak. Karena, jika salah satu atau dua dari ketiganya mendominasi, mimpi tentang sebuah tata kelola pemerintah yang baik bakal gagal. Yang terjadi sebaliknya: muncul pengambil keputusan yang buruk (bad goverance), atau lebih buruk lagi pengambil keputusan serta berbagai implementasinya yang mengarah pada kejahatan, termasuk KKN (evil goverance)
Kita berharap, Pilkada Matim 2024 mendapatkan pemimpin yang benar-benar siap dan pro terhadap masyarakat demi kemajuan Matim.
Ahkirnya, kerinduan lain dari pilkada 2024 adalah dicegahnya praktek KKN antra pemerintah dan pelaku pasar (pemodal).
Kalau pelaku pasar menguasai birokrasi, maka segala kebijakan amat mungkin mengarah kepada perlindungan kepentingan pelaku pasar; bukan kepentingan rakyat. Segala regulasi-administratif yang dihasilkan adalah produk kolektif-kolutif antara keduanya sebagai upaya mendapatkan legalitas bagi kepentingan pasar.
Hal ini tampak misalnya, ketika sejumlah tanah milik masyarakat adat atau kawasan-kawasan usaha ekonomis tradisional rakyat (nelayan dan petani) begitu saja diambil pemerintah untuk diserahkan mengelolahnya kepada pengusaha yang datang berinvestasi di daerah.
Maka, kita harus lebih banyak memikirkan strategi jangka panjang, agar demokrasi dapat terwujud secara lebih baik dari pilkada ke pilkada berikutnya.
Kita perlu merancang capaian tahap demi tahap hingga perwujudan yang paling ideal. Tentu ini utopi, jika utopi diartikan sebagai suatu kerinduan akan suatu keadaan yang lebih baik, maka entah Pilkada 2024 ataupun pilkada-pilkada lain yang menyusulkan tak pernah akan menghasilan tata kelola pemerintah yang baik.
Dengan kata lain, kita akan tetap terbelenggu dalam berbagai keterpurukan sebagai suatu kabupaten yang bakal sirna.
Kalau Pilkada hanya menghasilan bad goverence atau malah evil goverence, sebuah tata kelola pemerintah yang diwarnai oleh mobokrasi dan kakostokrasi.
Penulis adalah Mahasiswa Awam Sekolah Tinggi Filsafat katolik Ledalero (Semester VIII). Dia Anggota PMKRI Cabang Maumere dan Mantan Ketua Ikatan Mahasiswa/i Manggarai di Maumere (IMAMM) periode 2020/21. Dia juga Mantan Wakil Peguyuban Mahasiswa Awam STFK Ledalero Periode 2019/2020, Asal Manggarai Timur-Kecamatan Kota Komba