Oleh: Ardy Abba
Di awal kepemimpinannya, pasangan Edistasius Endi dan Yulianus Weng (Edi-Weng) langsung membuat gaduh di publik, bahkan terjadi kepanikan yang luar biasa.
Bagaimana tidak, Bupati dan Wakil Bupati Mabar itu berencana akan mengistirahatkan ribuan tenaga kontrak (teko) daerah dalam waktu dekat.
Kepanikan yang luar biasa sebagaimana diakui Ketua Fraksi Amanat Indonesia Raya (AIR) DPRD Mabar, Ino Peni, bukan tanpa sebab.
Di tengah Covid-19 terus menjamur yang mengantar masyarakat berada dalam situasi serba sulit, Pemkab Mabar malah menghembuskan informasi soal pemecatan ribuan teko daerah.
Bukankah itu menebarkan ketakutan baru? Takut akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Kalau tidak ada pendapatan saat musim pandemi ini, lantas bagaimana bisa survive?
Penyebaran Covid-19 tentu saja membuat orang panik. Banyak orang memilih diam di rumah. Mereka takut keluar rumah. Akibatnya, pendapatan untuk kebutuhan keluarga pun tentu saja merosot lantaran tidak bekerja.
Di tengah situasi demikianlah informasi soal pemecatan ribuan teko daerah dihembuskan oleh Wabup Mabar Yulianus Weng.
Mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai itu beralasan pemecatan terpaksa dilakukan dengan dalil efisiensi anggaran.
Wabup Weng bahkan menyebut, tenaga kontrak yang akan ‘dirumahkan’ tidak mungkin akan langsung mati.
Menurut dia, keputusan yang diambil Pemkab Mabar untuk memberhentikan ribuan teko tidak semena-mena dan tidak suka-suka. Semuanya memiliki banyak pertimbangan.
Edi-Weng boleh saja berdalil demikian, namun jejak janji mereka saat kampanye Pilkada Mabar tahun 2020 lalu masih tersimpan rapi dalam ingatan publik.
Salah satu janji yang masih terukir ialah menaikkan gaji guru komite dan menurunkan angka pengangguran semaksimal mungkin.
Salah satu yang mengungkapkan itu ialah Ketua Fraksi AIR DPRD Mabar, Ino Peni. Lantas mengapa janji kampanye itu akan gugur di awal kepemimpinan Edi-Weng?
Padahal janji kampanye saat Pilkada kali lalu, disusun secara sadar dan terencana. Artinya, dampak baik dan buruk selama 5 tahun kepemimpinan Edi-Weng di balik janji kampanye sudah diketahui.
Upaya penurunan angka pengangguran merupakan salah satu sasaran misi ke-3 Edi-Weng, yakni ‘Menjadikan Daya Saing Ekonomi Daerah Melalui Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas dan Berkelanjutan Berbasis Potensi Sumber Daya Alam dan Kearifan Lokal’.
Jika benar keputusan pemberhentian ribuan teko itu, maka tentu saja menambah deretan angka pengangguran di Mabar. Sekretaris Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Mabar Marsel S. Ngarung juga berpandangan demikian.
Marsel mengatakan, jika rencana itu dijalankan, maka dapat dipastikan angka pengangguran di Mabar akan meningkat.
Padahal setiap tahun angka pengangguran di kabupaten ujung barat Pulau Flores itu mengalami peningkatan.
Pada tahun 2020, misalnya, persentase tingkat pengangguran di Kabupaten Mabar berkisar 3,72 persen atau dalam hitungan angka berjumlah 5.506 orang. Angka ini merupakan data BPS tahun 2020 yang diperoleh Disnakertrans Mabar.
Pemkab Mabar seharusnya tahu bahwa pandemi Covid-19 bukan hanya menyerang sektor kesehatan, tetapi juga mengganggu aktivitas masyarakat, hingga roda ekonomi menjadi berjalan lamban.
Berbagai kebijakan pembatasan dilakukan pemerintah dalam menekan angka penularan, namun berbuntut pahit bagi para pekerja. Wabah ini menciptakan badai pengangguran yang dahsyat.
Apalagi program kerja ke-8 kepemimpinan Edi-Weng adalah ‘pencegahan serta perlindungan masyarakat dari segala dampak Covid-19’. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah kebijakan pemecatan ribuan teko daerah ini merupakan bagian dari upaya Pemkab Mabar dalam melindungi masyarakat dari dampak Covid-19?
Seharusnya Pemkab Mabar saat musim pandemi ini bisa melakukan upaya-upaya perbaikan kongkret dan fundamental, jika memang Covid-19 telah berdampak pada resesi ekonomi masyarakat.
Berbagai risiko akibat resesi harus benar-benar diantisipasi sehingga tekanan pada sektor ekonomi tidak merembet pada sektor-sektor lain.
Harus ada upaya sungguh-sungguh dari Pemkab Mabar untuk melakukan perbaikan-perbaikan di semua sektor ekonomi.
Indikator negatif yang menjadi penyebab resesi harus dimitigasi, sehingga durasi resesi ekonomi tidak panjang dan cepat berlalu.
Sebab itu, kebijakan pemecatan ribuan teko di tengah Covid-19 yang kian ganas bukan solusi jitu. Kalau alasan efisiensi di balik pemecatan tersebut untuk kemudian dialokasikan ke penanganan Covid-19, maka cukup mandul. Sebab masih banyak anggaran Covid-19 hasil rasionalisasi. Nah, tinggal dimaksimalkan saja untuk kepentingan masyarakat.