Oleh: Friolin B. Darmiyanto
“Guru sebagai pendidik sekaligus sumber belajar siswa telah banyak dijangkiti benih radikalisme dan pandangan intoleransi, dibutuhkan langkah solutif dalam menangani sinyalelemen buruk tersebut”
Ungkapan ‘guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa’ merupakan suatu hal yang mulia dalam dunia pendidikan.
Sebagai pendidik sekaligus sumber belajar bagi para siswa, guru memegang peranan kunci dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Agar hal tersebut berjalan, maka terdapat sepuluh kompetensi yang perlu dimiliki oleh para guru berdasarkan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 (dalam Galus dkk., 2019:300).
Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi guru (PPG).
Namun, data menunjukkan, mean nasional uji kompetensi guru (UKG) hanya sebesar 53,02. Hasil tersebut jauh dari target nilai minimal yaitu 55,0 (Kompas, 13/09/2018, hlm. 9).
Dalam paradigma pendidikan humanis, guru memegang peran sebagai pengajar dan pendidik.
Sebagai pengajar, guru menjadi sumber belajar yang melakukan transfer pengetahuan (transfer of knowledge) dan transfer keterampilan (transfer of skills) kepada para siswanya.
Sementara itu, sebagai pendidik, guru berperan sebagai sumber belajar yang memberikan nilai-nilai kehidupan (transfer of values) kepada para peserta didiknya.
Hal tersebut sesuai yang termuat dalam Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru, yang berbunyi: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.
Dari penjelasan tersebut, presensi seorang guru menjadi hal mutlak yang amat dibutuhkan peserta didik sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran.
Dalam realita kontemporer, terdapat sejumlah potret buram dari kehidupan sejumlah guru di Indonesia.
Beberapa potret buram tersebut di antaranya yaitu tumbuhnya benih radikalisme dan pandangan intoleransi yang kian mengakar dalam diri sejumlah guru di tanah air.
Sebagai bukti, berdasarkan survei nasional yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah 2018 menunjukkan, sebanyak 63,07 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain.
Sedangkan, guru yang mempunyai opini toleransi terhadap pemeluk agama lain mencapai 36,92 persen (https://www.voaindonesia.com/a/tingkat-opini-intoleransi-dan-radikalisme-guru-muslim-di-indonesia-sangat-tinggi/4615693.html).
Hal tersebut tak dapat disangkal, pasalnya Indonesia memiliki tingkat kemajemukan yang tinggi.
Kemajemukan inilah yang di satu sisi turut membawa suatu keuntungan, namun serentak ancaman bagi kita bersama.
Data di atas setidaknya mewakili suatu gambaran tentang radikalisme dan pandangan intoleransi yang mulai menjangkiti guru di tanah air yang cukup tinggi.
Persoalan semacam ini memiliki dampak buruk bagi kehidupan peserta didik, sebab guru menjadi salah satu sumber belajar dari para peserta didik.
Melalui tulisan ini, penulis hendak menawarkan sejumlah langkah solutif dalam menjawab persoalan di atas.
Hemat penulis, para guru perlu membangun wawasan multikultural dalam diri mereka.
Wawasan multikultural diartikan sebagai suatu pengetahuan dan kecakapan dalam menghargai kemajemukan yang mencakup pelbagai aspek kehidupan seperti suku, agama, ras, golongan, dan aspek lainnya.
Berbagai langkah yang ditawarkan dalam membangun wawasan multikultural dijelaskan sebagai berikut.
Budaya Literasi Kritis
Literasi kritis adalah perpaduan antara keterampilan berpikir kritis dan perhatian kepada keadilan sosial, politik, bahasa, dan kekuasaan dalam teks (Johnson dan Freedman, 2005).
Selain itu, literasi kritis juga diartikan sebagai integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis.
Dari sejumlah pengertian tersebut, maka literasi kritis turut melibatkan penalaran tingkat tinggi dalam menilai atau mempertimbangkan suatu hal yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Hemat penulis, literasi kritis sejatinya tidak hanya ditekankan kepada para peserta didik sebagai objek utama yang dibentuk dalam proses pembelajaran, tetapi juga kepada para guru sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran itu sendiri.
Literasi kritis mampu memberikan sejumlah manfaat, antara lain menambah wawasan, mempertajam diri dalam menangkap suatu informasi, dan melatih kemampuan diri untuk menganalisis dan berpikir kritis terhadap suatu hal.
Dalam konteks persoalan yang terjadi di kalangan sejumlah guru di tanah air saat ini, literasi kritis dapat menangkal benih radikalisme dan pandangan intoleransi yang mulai menjangkiti diri para guru.
Literasi kritis dapat membentuk paradigma sekaligus mempertajam diri para guru dalam menangkap suatu informasi yang diterima dari berbagai sumber.
Dengan demikian, para guru dapat mengkritisi secara cermat berbagai macam informasi yang tergolong baik dan buruk bagi kehidupannya maupun bagi kehidupan bersama.
Bagaimanakah mewujudnyatakan literasi kritis dalam diri para guru?
Dalam mengembangkan keterampilan literasi kritis, setiap guru harus dapat mengaktualkan sikap belajar sepanjang hayat (long life education) dalam dirinya.
Belajar sepanjang hayat merupakan suatu sikap belajar yang konsisten sepanjang waktu dan bukan hanya bersifat momental.
Dalam semangat belajar sepanjang hayat tersebut guru pun harus mampu menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai suatu budaya yang tak terpisahkan dari dirinya.
Melalui sikap belajar tersebut, potensi akal budi mereka pun akan semakin dilatih dan dikerahkan dari level yang rendah hingga mencapai level yang tertinggi.
Hal inilah yang diharapkan dari para guru sebagai salah satu bagian dari animale rasionale (baca: binatang/makhluk yang berakal budi).
Dengan mencapai titik tersebut, setidaknya para guru mampu mengintegrasi keterampilan literasi kritis dalam hidupnya, yang mencakup keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, berpikir kritis, dan berperilaku sosial yang baik.
Apabila guru sebagai pendidik memiliki integrasi keterampilan literasi kritis yang baik maka benih radikalisme dan pandangan intoleransi dapat diminimalisasi dan dibongkar sampai ke akar-akarnya.
Oleh karena itu, setiap guru perlu memiliki sikap long life education dan budaya literasi kritis dalam hidupnya, agar peserta didiknya pun mampu belajar dari sikap hidup para gurunya.
Dengan begitu, benih radikalisme dan pandangan intoleransi dapat diberantas dalam stakeholders utama pendidikan yang mencakup para guru, peserta didik, dan materi pembelajaran.
Budaya Toleransi
Dalam Kamus Sosiologi (Haryanta, 2012:120 dalam Pratiwi, 2014:161), toleransi diartikan sebagai sikap menghargai, membiarkan, memperbolehkan pendirian, pendapat, kepercayaan yang berbeda atau yang bertentangan dengan diri sendiri.
Selain itu, menurut Nisvilyah (2013:386 dalam Pratiwi, 2014:161), bentuk toleransi dalam masyarakat ada dua bentuk yaitu toleransi agama dan toleransi sosial.
Dari sejumlah pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa toleransi merupakan suatu sikap menghargai berbagai perbedaan dalam kehidupan sosial.
Sikap toleransi perlu menjadi budaya dalam kehidupan para guru sebagai pendidik yang senantiasa memberikan nilai-nilai kehidupan bagi para siswanya.
Hal tersebut dinilai penting karena budaya toleransi dapat mengikis berbagai prasangka dan kebencian di tengah perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan khususnya dalam ranah pendidikan.
Salah satu cara dalam menumbuhkembangkan budaya toleransi di kalangan para guru yaitu melalui dialog antarkelompok.
Wujud konkret dari dialog tersebut yaitu melalui kegiatan live- in ke kelompok atau sekolah lain selama beberapa hari.
Tempat live-in yang dituju merupakan tempat yang notabene latar belakang kehidupan di dalamnya agak berbeda dari yang dirasakan para guru lazimnya.
Hal tersebut bertujuan agar para guru mampu mendapatkan keberlainan antara kehidupannya dan kehidupan kelompok lain.
Di sinilah mereka akan mendapatkan nilai kehidupan (baca: empati) dengan sesama.
Namun, implementasi langkah tersebut di tengah pandemi saat ini hendaknya tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Hal tersebut berguna agar kegiatan yang diprogramkan dapat berjalan dengan baik.
Melalui dialog antarkelompok, cakrawala pengetahuan para guru dapat terbuka sehingga mereka dapat menerima nilai-nilai kelompok lain yang berbeda dari kehidupan mereka lazimnya.
Selain itu, dialog antarkelompok dapat membongkar pola hidup para guru yang cenderung selalu bergaul dengan sesamanya dalam lingkungan yang homogen.
Dengan begitu, para guru dapat mengintrospeksi diri dan mampu menimbah pengalaman berharga dari setiap keberlainan yang dijumpai dalam hidupnya.
Oleh karena itu, setiap keberlainan dalam kehidupan perlu ditanggapi dengan cita rasa persaudaraan yang tinggi demi terwujudnya kehidupan yang aman dan damai khusunya dalam ranah pendidikan.
Sebagai seorang pendidik, sudah saatnya bagi para guru untuk berjuang memerangi berbagai hal buruk yang mulai menjangkiti dirinya, seperti benih radiklisme dan pandangan intoleransi.
Persoalan tersebut hemat penulis dapat ditangkal dengan menanamkan budaya literasi kritis dan budaya toleransi dalam diri setiap guru di tanah air.
Hal tersebut dapat diwujudkan apabila para guru memiliki sikap belajar sepanjang hayat (long life education) dan mampu membangun komunikasi yang baik dengan berbagai komponen di lingkungan lainnya.
Dengan begitu, para peserta didik pun dapat belajar dari gurunya sebagai sumber belajar utama agar dapat menjadi pahlawan yang dapat memerangi berbagai persoalan konkret khusunya dalam dunia pendidikan dan sekitarnya.
Penulis masih menjalani novisiat di Kupang. Tamatan SMA Seminari Kisol