*Oleh: Fersi Darson
Bumi baru permulaan dicumbui musim kemarau. Daun-daun pohon masih tampak segar dan hijau. Mentari menampakkan sinar dari arah barat dan sebentar lagi tertelan bukit.
Cahayanya agak memerah dan makin meredup. Sore itulah tamu asing itu tiba di pelosok Barat Kabupaten Manggarai. Untungnya, ia melewati sebuah kios.
Di situlah ia bertemu orang-orang kampung yang asik nongkrong, kepada mereka ia bertanya rumah Ibu maria. Lebih untung lagi, seorang anak kecil disuruh ayahnya untuk mengantar ia ke rumah Ibu Maria.
Ia berwajah tampan dan berbadan tinggi. Penampilannya santai tapi cocok sekali dengan posturnya. Ia sekitar 27 tahun pas. Orang sering menyapanya Ronal. Ia datang dari kota menuju kampung itu dengan sepeda motor trail.
Sampai di depan rumah Pak Markus anak kecil itu memberi isarat untuk berhenti. Anak kecil itu dengan sigap turun. Dengan cepat Ronal merogohkan saku celana dan memberi anak itu selembar uang sepulu ribu. Anak kecil itu pun lari ke arah pulang setelah memgucapkan “terima kasih”.
Di depan rumah itu tampak seorang anak kecil perempuan asik bermain, lalu berlari ke arah dapur ketika melihat pengendara motor itu berjalan menuju beranda rumah.
“Ayah…ayah” teriak si kecil.
“Iya, Nak?” Jawab sang ayah dengan suara agak kencang.
“Ada tamu.” Tukasnya.
Tak menunggu lama seorang lelaki tua muncul di pintu depan. Ketika melihatnya berjalan menuju beranda rumah, lelaki tua itu dengan ramah mempersilakannya masuk.
“Mari, mari Pak. Silakan masuk”
Pemuda itu santun mengucapkan selamat sore dan berterima kasih. Setelah sampai di ruang tamu rumah itu, lelaki tua bernama Markus itu mempersilakannya duduk. Disodorkannya tangan kanan, disusul dengan reis.
Tampak dua orang wanita tua berjalan dari arah dapur menuju ruang tamu. Dengan santun kedua wanita tua itu menjabat tangannya disusul dengan reis. Dari dua wanita itu tak bisa ia tebak, kira-kira mana Ibu Maria, janda yang ingin ia temui itu.
***
Dulu, sebelum menikah dengan Bernabas, lelaki bekas suaminya, Maria menjadi wanita yang tak luput dari perbincangan para pemuda di desanya, tak lain karena kecantikannya yang tak tertandingi.
Banyak lelaki datang melamarnya, namun tak satu pun yang berkenan di hatinya dan berhasil mendapatkannya. Ia hanyalah seorang gadis anak petani biasa di desa itu. Pendidikannya hanya tamat Sekolah Dasar.
Meskipun begitu, ada beberapa guru yang pernah datang melamar, namun ia menolak.
Ia bertemu pertama kali dengan Bernabas waktu proyek jalan aspal di desa itu. Waktu itu Bernabas bekerja sebagai supir truk pengangkut material. Jodoh memang tak bisa ditebak.
Pada pertemuan pertama itu, mereka saling jatuh cinta satu sama lain. Meskipun hanyalah seorang supir truk, Bernabas punya tampang cakep, dan karena itulah Maria jatuh hati.
Lagian, pekerjaan supir pada waktu itu sedikit gengsi sebelum termakan zaman seperti sekarang ini. Mungkin itu alasan lain Maria menerimanya.
Mereka berpacaran agak lama dan ketika proyek aspal di desa itu rampung, Bernabas kembali ke kota Ruteng membawa serta Maria.
Beberapa minggu kemudian mereka datang lagi ke kampung itu bersama keluarganya untuk melangsungkan pernikahan. Mereka menikah saat Maria berusia 20 tahun dan Bernabas 22 tahun.
Betapa senangnya keluarga Bernabas, dengan usia muda itu ia menikah. Sebagai anak satu-satunya di dalam keluarga, ia menanggung segala harapan dan mimpi besar keluarga. Terutama untuk segera mempunyai buah hati.
“Syukurlah, biarkan dia sendiri yang mencari saudaranya, pikir mereka”. Orang tuanya tak sabar untuk menggendong, mendengar tangisan manja, dan tingkah nakal sang cucu.
Keluarga kecil mereka tampak bahagia. Tapi rasa bahagia itu belum sempurna dan utuh menaungi keluarga kecil mereka, sebab belum merasakan tangisan lucu dan tingkah nakal bocah-bocah kecil. Alangkah bahagianya keluarga kecil itu jika dilengkapi anak kecil yang menghibur.
Dalam setiap waktu, mereka selalu menantikan kebahagiaan besar itu, kebahagiaan yang menjadi pewarna kehidupan rumah tangga.
Tak hanya mereka. Keluarga selalu mendoakan mereka supaya segera dikaruniai buah hati. Tapi kenyataan rupanya berkata lain. Yang terjadi tak seindah yang mereka harapkan. Bulan. Tahun bereganti. Pernikahan mereka bukan hitungan usia muda lagi.
“Tuhan mungkin belum menghendaki mimpi itu terwujud. Pada waktunya, Ia pasti mengabulkannya,” pikir mereka.
Mereka menanti dengan penuh sabar. Namun, tak terasa perjalanan waktu begitu sangat cepat. Penantian itu benar-benar tak menyadarkan mereka akan waktu.
Sampai-sampai mereka tak sadar pernikahan mereka genap delapan tahun. Raut cemas tampak pada wajah mereka, meskipun sepandai-pandainya mereka sembunyi dalam galak tawa setiap hari. Tapi mereka tak saling mengungkapkan kecemasan itu kepada satu sama lain.
Suatu hari, Bernabas membujuk isterinya pergi ke dokter kandungan. Awalnya Maria menolak itu dengan halus. Setelah Bernabas membujuknya berkali-kali, akhirnya niat pergi ke dokter pun terlaksana. Dua-duanya diperiksa.
Sesuatu yang tak mereka sangka terjadi pada Maria, hasil pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Marialah yang mengalami penyakit pada kandungannya yang menimbulkan kemandulan.
Pernikahan dengan Maria ternyata bukan menjadi jalan untuk melahirkan generasi penerus keluarga. Maria bukan menjadi tempat Tuhan menitipkan malaikat-malaikat kecil yang membahagiakan.
Tuhan tak menghendakinya untuk menjadi jalan yang mendatangkan karunia besar ke tengah keluarga yang miskin manusia itu.
Kekecewaan yang akut menggunung dalam hati. Maria tak henti-hentinya menangis dan mengutuk dirinya sendiri. Sosok yang selalu mengutamakan kebahagian dalam rumah tangga itu pun merasa gagal memberikan kebahagian yang utuh.
Ia juga kasihan terhadap sang suami yang tak pernah berhenti berharap meskipun sudah jelas ia dinyatakan tidak bisa mengandung.
Berkali-kali Maria berkata kepada suaminya untuk berhenti berharap. Namun, sang suami selalu berharap, ia percaya Tuhan akan memberikan mereka buah hati yang lucu. Ia seolah tak percaya hasil pemeriksaan itu.
Hal itu benar-benar membuat Maria merasa terpukul. Ia merasa sang suami tak mengikhlaskan kenyataan. Maria pun terus-terus tak henti menangis dan mengutuk dirinya sendiri.
“Aku benar-benar benci kepada diriku sendiri,” kata-kata itu yang sering keluar dari mulutnya.
Sekali waktu ia berpikir untuk tegar dan tak mau menjadi wanita cengeng. Di saat-saat itulah ia mulai berpikir mencari jalan lain. Ia berubah pikiran. Ia tak mau terlena mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terwujud.
Meninggalkan sang suami adalah satu-satunya jalan agar bisa keluar dan bebas dari kesengsaraan batin itu. Meninggalkan sang suami, berarti memberi kebebasan kepadanya untuk mencari perempuan lain yang bisa memberinya keturunan. Biarkan dia menemukan kebahagian bersama orang lain, pikirnya.
Awalnya, keputusan itu sulit baginya. Sebab terlampau berat. Selain rela berpisah dengan orang yang ia cintai, juga memaksa dirinya untuk mengingkari janji suci di hadapan Tuhan. Keputusan itu benar-benar membuatnya berdosa.
Tapi, di lain sisi ia berpikir, itu ia lakukan untuk menyelamatkan harapan orang yang dicintainya, menyelamtkan keluarganya. Ia benar-benar berkorban demi kebahagian lelaki itu.
Awalnya sang suami tak terima dengan keputusan itu. Ia sangat mencintai Maria. Tak mungkin merelakannya pergi. Namun, mau bilang apa.
Maria bersihkukuh, mau tak mau, suka tak suka, ia tetap pergi alih-alih tak cinta lagi kepada sang suami, meskipun sebenarnya batin didera nestapa.
***
Itulah sebabnya, sekarang Ibu Maria berstatus janda sejak 37 tahun yang lalu. Ia memutuskan untuk meninggalkan sang suami bukan tanpa sebab. Bukan pula karena percecokan atau perkelahian yang hebat, melainkan karena ingin bebas dari harapan yang tak mungkin terwujud itu, ia ingin membebaskan diri dari beban batin.
Saat itu ia kembali ke kampung halaman dan tinggal bersama saudaranya yang sudi memperlakukannya dengan baik. Ia hidup menjanda sambil menunggu sang waktu merenggut hidup.
Di usia senja inilah, Ronal, tamu asing itu datang mencarinya. Awalnya itu adalah suatu keanehan bagi mereka. Tamu itu datang jauh-jauh dari kota khusus untuk menemui seorang janda tua yang bernama Maria Anur itu, janda yang menggantungkan hidup pada saudaranya.
Mereka bahkan sejenak gugup. Ada urusan sepenting apa sampai-sampai seorang pria ganteng berbadan khas polisi ini mengunjungi janda tua? Pikir mereka.
Dan, betapa terkejutnya mereka ketika mendengar lelaki muda itu berkata prihal tujuannnya menemui Ibu Maria. Mereka lebih terkejut lagi ketika Ronal mengatakan bahwa ia adalah anak dari Pak Bernabas, lelaki masa lalu Ibu Maria.
Sempat tak begitu yakin dengan perkataan lelaki muda itu. Ketika lelaki muda itu berkali-kali meyakinkan mereka. Akhirnya Maria menjatuhkan bulir-bulir bening dari matanya, dan begitu yakin bahwa lelaki itu betul-betul darah daging sang masa lalunya.
“Saya ada di dunia ini, berkat keputusanmu itu dulu, Ibu,” kata lelaki muda itu sambil memeluk Si Janda.
Ibu Maria menangis sendu. Orang-orang yang menyaksikannya turut memasang mata yang basah. Tangisan kesedihan dahulu kini berubah menjadi haru. Ia bahagia akhirnya keputusan berat itu dahulu tidak sia-sia.
Ronal pulang dari tempat itu dan meninggalkan banyak cerita kepada keluarga Maria. Kebahagian tergambar pada wajah mereka.
Hari-hari berlalu. Ia datang lagi ke kampung itu yang kedua kalinya.
Ronal tidak sendiri, seorang gadis cantik yang bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Daerah mendapinginya.
Itu adalah perempuan yang ia sebut isteri. Ronal masih mengenakan seragam polisi dan hanya dilapisi jaket hitam. Ia tak sempat mengganti pakaian sepulang berkantor karena takut terlambat.
Kali ini ia datang membawa mobil avanza plat hitam. Kedatangan mereka kali ini lebih dari sekadar kunjungan biasa. Mereka berencana mengajak Ibu Maria tinggal bersama mereka.
“Kali ini kami datang selain menjenguk Bapa Mama semua, kami juga ingin meminta Ibu tinggal bersama kami”
Semua orang terdiam. Banyak wajah menujukan keberatan. Maria hanya diam entah bagaimana suara hatinya.
“Jangan dulu, Nak. Apalagi kita kan baru bertemu. Kalau sudah lama nanti kalian bisa datang bawa Maria”, kata Pak Markus.
“Pak… Bapak jangan takut, kami akan menjaga ibu dengan baik. Meskipun baru dua kali bertemu, Ibu kami anggap sebagai Ibu sendiri. Apalagi…..” ia terhenti, bulir-bulir bening dari bola matanya jatuh “Apalagi, ibu saya telah meninggal dunia, biarkan Ibu Maria yang menggantikannya”.
Pak Markus terdiam. Wajahnya masih menggambarkan keberatan. Tapi ia yakin, Maria akan diperlakukan seperti ibu sendiri oleh lelaki muda itu. Ia juga yakin bahwa Maria pasti akan bahagia bersama mereka. Bujukan demi bujukan, akhirnya mampu meluluhkan hati.
“Yah, semuanya terserah Maria, Nak.”
“Bagaimana, Bu” kata Ronal “Ibu mau kan, tinggal sama kami?”.
Setelah agak berpikir agak lama, Ibu Maria akhirnya mengangguk. Ronal dan isterinya pun memeluknya.
Tak berselang lama, mereka berpamitan. Mereka bergegas meninggalkan kampung itu sebelum cahaya si tuan siang meninggalkan bumi. Beberapa jam kemudian sampailah mereka di kota.
Ketika mobil berhenti di depan rumah, lelaki tua bersama dua cucunya yang sedari tadi menunggu di teras, akhirnya tersenyum sumringah seolah memamerkan gigi ompong. Dialah ayah Ronal, lelaki masa lalu Ibu Maria.
Penulis tinggal di Rejeng, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai