Ruteng, Vox NTT- Herdin Badrudin, seorang warga di Kelurahan Reo, Kecamatan Reok, mengklaim sepihak lahan milik pemerintah daerah (Pemda) Manggarai yang terletak di Nanga Banda.
Lahan gersang seluas puluhan hektare yang kini diklaim sepihak itu telah lama dijadikan tempat penghasil garam oleh beberapa warga sekitar. Sebagiannya dijadikan tempat pacuan kuda.
Pada tahun 2021 ini, Nanga Banda juga merupakan salah satu tempat yang dicalonkan untuk dibangun rumah sakit pratama.
Namun, status kepemilikan Nanga Banda perlahan mulai diperdebatkan Herdin. Ia terkesan menepis sejarah bahwa pemerintah ikut memiliki lebih dari separuh lokasi tersebut.
BACA JUGA: Kemolekan Alam Nanga Banda Bikin Candu
Menurut Herdin, lahan pemerintah yang dijadikan tempat pacuan kuda itu merupakan lahan milik kakeknya, Andi Supandri Daeng Malara.
Laki-Laki 45 tahun itu bahkan lantang menyebut tidak mengakui adanya sejarah penyerahan tanah Nanga Banda saat masa kepemimpinan Raja Ngambut tahun 1942 silam.
Tidak hanya mengganggu lahan pemerintah, Herdin juga memasang pilar di sepanjang lingkar barat pacuan kuda.
Padahal, lokasi yang dipasang pilar beton itu merupakan lahan milik beberapa warga seperti H. Arifin Manasa, Hamid Usman, Kader Usman, serta Mansur Anwar.
Herdin mengaku langkah pemasangan pilar di tanah pemerintah dan tanah garapan warga dilakukan sejak salah seorang warga bernama H. Arifin Manasa memasang pilar dan kawat duri di lokasi tersebut.
“Berangkat dari situ saya melakukan pemagaran di seluruh tempat saya di Nanga Banda,” tutur Herdin kepada wartawan sebelumnya.
Sejumlah wartawan berupaya menemui Herdin di rumahnya pada Selasa (24/08/2021), untuk mendapatkan komentarnya seputar kasus tersebut. Namun sayangnya, ia tidak ada di rumah. Menurut keluarganya, Herdin sedang berada di luar rumah.
Sementara itu, salah satu warga pemilik lahan di Nanga Banda H. Arifin Manasa ketika diwawancara media mengaku sejak lama ia memilliki lahan seluas hampir tiga hektare di Nanga Banda, letaknya di pinggir bagian timur atau mepet dengan lokasi pacuan kuda memanjang hingga ke bagian barat tambak garam.
Tanah seluas tiga hektare lebih di Nanga Banda itu adalah warisan dari kakeknya Abdurrahman yang pada masa kolonial Belanda dipercayakan sebagai Rato atau kepala kampung.
“Kalau dia (Herdin) pakai alasan saya bangun kawat duri di situ sangat keliru dan mengada-ada. Itu tanah milik saya sendiri warisan dari kakek. Lokasi tersebut saya garap sejak tahun 1960-an. Dulunya itu sawah dan kemudian dijadikan tambak garam,” ujarnya saat diwawancarai VoxNtt.com, Selasa siang.
Ia mengaku selama belasan tahun dirinya memagari lahan tersebut dengan menggunakan pagar kayu. Namun, pagar itu tidak bertahan lama karena selalu dirusaki ternak sapi.
Sebab itu, pada bulan Juli tahun 2021, ia mengganti pagar kayu dengan memasang pilar beton dan kawat.
“Bukti pajak ada. Yang di Kelurahan Baru tersimpan dari tahun 1991 sementara aslinya kita bayar dari tahun 1983 sejak dari kelurahan lama sebelum ada Kelurahan Baru Reo,” imbuh tokoh 65 tahun itu.
Selain H. Arifin Manasa, salah seorang tokoh Rudi Mantara, anak dari Abdul Madjid Daeng Mantara Jengkala yang dikenal dengan Sultan Ibrahim mengaku prihatin dengan ulah pihak-pihak yang mengklaim tanah di Nanga Banda.
Pria 65 tahun itu mengaku dirinya tidak pernah mendengar cerita bahwa keluarga Herdin memiliki lahan di Nanga Banda.
Namun, Mantara juga menjelaskan bahwa Herdin sempat menemuinya dan menceritakan tentang keluarganya, yang pernah mendapat hibah tanah dari mendiang Muhamad Yusuf Daeng Marola kepada Abdul Hamid keturunan Subandri pada tahun 1998.
“Sejak dari kakeknya Herdin memang tidak ada jejak memiliki tanah di Nanga Banda. Hanya Herdin pernah bilang begitu kepada saya, kalau dia bilang pernah dapat tanah dari Almarhum Muhamad Yusuf Daeng Marola,” ujar Mantara.
Terpisah, seorang petani garam, Abdul Hamid Usman (56) di lokasi tambak garam Nanga Banda mengatakan, sejak tahun 1997 silam sebagai petani garam tidak pernah melihat Herdin ataupun keluarganya beraktivitas di wilayah itu.
“Kalau tidak pernah ke sana artinya memang tidak ada lahan di sana to. Begitu saja. Baru sekarang dia klaim ada apa itu,” ungkap Hamid.
Terpisah, Lurah Baru Yosep Sudarso menolak diwawancarai mengenai sejarah penyerahan tanah di Nanga Banda kepada pemerintah. Sebab hal itu telah diputuskan dalam rapat baru-baru ini bahwa informasi terkait lahan Nanga Banda hanya bisa disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai.
Penulis: Igen Padur
Editor: Ardy Abba