Oleh: Ester Fulgentia Abatan
Mahasiswi STIE IEU Surabaya/ PKL di Badan Pusat Statistik Kota Kupang
Pandemi Covid-19 memunculkan berbagai keprihatinan bagi masyarakat Indonesia.
Melihat angka kasus positif Covid-19 yang semakin tidak terkendali, pemerintah mengambil langkah untuk mengurangi penularan virus mematikan tersebut dengan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Pelaksanaan PPKM tentu mengundang pro dan kontra. Dilema melanda masyarakat menengah ke bawah. Terlebih bagi mereka yang mengandalkan penghasilan harian semata-mata untuk “bertahan” di tengah pandemi seperti ini.
Menurut data yang dirilis oleh Kemnaker, sejak April 2020 sampai dengan Juli 2020 tercatat sekitar 2.175.928 pekerja yang terdampak Covid-19.
Mereka di antaranya adalah kelompok yang “dirumahkan” perusahaan, kelompok yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan kelompok pekerja informal bangkrut atau kehilangan usaha.
Mereka yang di rantai kemiskinan struktural harus menghadapi tantangan melawan Covid-19 sekaligus memenuhi kebutuhan ekonomi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur mengalami peningkatan.
BPS mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 sebesar 1.169,31 ribu orang. Meningkat sebanyak 15,55 ribu orang dibandingkan dengan kondisi periode Maret 2020.
Di hadapan Covid-19 nasib yang kaya dan yang miskin jelas tidak sama. Yang miskin harus menghadapi situasi “mati karena terpapar Covid” sekaligus juga “mati karena lapar”.
Oleh karena itu, tidak bijak bila terus membatasi gerak (PPKM) tanpa memberi makan mereka yang “lapar” (penduduk miskin).
Belum lagi bantuan-bantuan dari pemerintah dalam bentuk bantuan sosial (bansos) penyalurannya masih belum merata dan tidak tepat sasaran.
Konsep kemiskinan
Menurut para ahli, kemiskinan adalah ketidakmampuan seorang atau individu dalam memenuhi kebutuhan pokok.
Utamanya yaitu makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan.
Lembaga yang memiliki tanggung jawab menghitung penduduk miskin adalah Badan Pusat Statistik (BPS).
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic needs approach).
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita/hari.
Ditambah lagi dengan pengeluaran kebutuhan minimum perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan BPS ukuran Garis Kemiskinan diprovinsi NTT adalah sekitar Rp415.116,-/kapita/bulan (Kondisi Maret 2021).
Hasil kajian dari bank dunia, batas garis kemiskinan itu ditentukan berdasarkan pendapatan 2 dollar AS perorang.
Sedangkan, pendapatan penduduk Indonesia diperkirakan hanya sekitar 1 dollar AS.
Hal ini mengimplikasikan bahwa di Indonesia terutama dibeberapa daerah yang tertinggal, kemiskinan masih menjadi beban berat yang harus segera ditanggulangi.
Selama lima tahun terakhir Indonesia mampu menekan angka kemiskinan secara stabil.
Tetapi hal ini tidak berlangsung lama sejak Covid-19 menyerang yaitu pada Maret 2020.
Berdasarkan jenisnya, kemiskinan dibagi menjadi empat. Pertama, kemiskinan absolut yaitu pendapatan seseorang berada di bawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan utamanya.
Kedua, kemiskinan relatif yaitu kemiskinan akibat kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga terjadi ketimpangan distribusi pendapatan.
Ketiga, kemiskinan kultural. Kemiskinan yang terjadi akibat gaya hidup malas, boros, dan tidak kreatif meski ada bantuan dari pihak lain.
Keempat, kemiskinan struktural. Kemiskinan jenis ini terjadi karena rendahnya akses terhadap sumber daya akibat sistem sosial, budaya, dan politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan.
Ketimpangan Ekonomi
Jumlah pasien Covid-19 yang semakin meningkat dan varian baru (Delta) yang lebih berbahaya, membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan dalam upaya untuk memutus rantai penyebarannya.
Akan tetapi, hal ini malah menimbulkan problematika baru yaitu terjadi ketimpangan antar golongan kaya dan golongan miskin.
Golongan kaya mendukung adanya pembatasan wilayah dan sosial.
Namun, golongan miskin banyak yang merasa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru “mencekik” mereka.
Menurut lembaga riset Oxfem, ketimpangan di dunia semakin meningkat pesat selama masa pandemi.
Orang yang kaya tidak terlalu merasakan dampak sedangkan orang miskin semakin miskin.
Dilansir dari Forbes, kekayaan milyuner tetap meningkat per Desember 2020 dibanding Desember 2019.
Sedangkan di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah buruh/karyawan di Indonesia per agustus 2020 turun 5,2 persen dari Rp2,91 juta ke Rp2,76 juta.
Kemiskinan dapat pula dicermati dari angka gini ratio. Semakin tinggi angka gini ratio, berarti ketimpangan semakin melebar.
Sebaliknya, jika gini ratio mengecil, maka ketimpangannya semakin kecil.
Ketimpangan yang melebar menandakan bahwa ketidakmerataan pengeluaran masyarakat.
Data dari BPS, angka gini ratio Indonesia adalah sebesar 0,384 (Maret 2021).
Angka ini menurun 0,001 poin jika dibandingkan dengan gini ratio September 2020 yang sebesar 0,385 dan meningkat 0,003 poin dibandingkan dengan gini ratio maret 2020 yang sebesar 0,381.
Untuk Provinsi NTT, gini ratio pada kondisi Maret 2021 adalah sebesar 0,346.
Angka ini menurun 0,010 poin dibandingkan dengan gini ratio September 2020 yang sebesar 0,356.
Hal ini menunjukan tingkat kemiskinan relatif atau angka ketimpangan pengeluaran turun.
Hal ini diklaim sebagai keberhasilan program penanggulangan kemiskinan seperti bantuan sosial (bansos), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dll.
Namun hal ini masih belum maksimal karena turunnya angka ketimpangan masih belum signifikan.
Adanya PPKM semasa pandemi membuat masyarakat tidak mendapat keleluasan mencari nafkah.
Terutama bagi mereka yang merupakan pekerja lepas harian di sektor informal.
Mereka hanya bisa berdiam diri menunggu bantuan yang datang.
Yang kaya meneriaki yang miskin adalah dampak dari kemalasan dan kebodohan.
Pada kenyataannya ini adalah kondisi kemiskinan jenis struktural.
Mereka yang tidak pernah mengalaminya tidak akan mengerti betapa sulit keluar dari lingkaran kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural menurut Edi Suharto, Direktur Kesejahteraan Anak Kemensos, terjadi bukan karena si orang miskin itu malas.
Tidak mau bekerja dan sebagainya. Tetapi lebih karena ketidakmampuan sistem berikut juga struktur sosial dalam memberikan keadilan.
Kondisi yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan kesempatan pekerjaan-pekerjaan yang layak atau setidaknya mengeluarkan mereka dari ambang kemiskinan.
Akibatnya, yang kaya akan tetap di atas. Mereka yang miskin tetap terbelenggu di dalam kejamnya sistem yang memperbudak mereka.
Masyarakat miskin bisa dibilang paling merasakan adanya dampak dari pandemi terkhususnya lagi pada pelaksanaan PPKM.
Kebutuhan akan makanan saja sudah susah payah dipenuhi. Apalagi ditambah kebutuhan pemenuhan kesehatan seperti alat pelindung diri (masker), suplemen/vitamin, dan obat-obatan untuk melawan Covid-19.
Lebih memprihatinkan lagi apabila Covid-19 menyerang tulang punggung keluarga.
Tidak bisa bekerja, tidak mendapat penghasilan karena sakit. Apalagi sampai merenggut nyawa.
Dengan demikian, pemerintah harus lebih tanggap dan tegas. Terutama dalam pemberlakuan protokol kesehatan (prokes) agar penyebaran Covid-19 dapat segera ditanggulangi dan perekonomian masyarakat kembali berjalan normal.
Pemerintah pusat dan daerah juga diharapkan bersinergi terus menerus. Melancarkan realisasi program-program bantuan terutama untuk masyarakat miskin.
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara berkala sehingga bantuan dapat didistribusikan merata dan tidak salah sasaran.
Tentunya kita semua berharap agar pandemi Covid- 19 ini bisa segera diatasi.
Angka kemiskinan di negeri ini pun ini dapat ditekan kembali secara signifikan.