Ruteng, Vox NTT- Menjadi seorang guru adalah cita-cita masa kecil Lazarus Agun.
Angan-angan itulah yang mengantar pria asal Kampung Mampau, Desa Satar Luju, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), tersebut untuk berjuang menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.
Cita-cita itu seperti mendapatkan posisi strategis setelah pada tahun 2018 yang lalu ia diwisuda. Sejak saat itu, Lazarus resmi menyandang gelar sarjana pendidikan. Ia tercatat sebagai salah satu lulusan sarjana Fisika di Universitas Kanjuruan Malang.
Berbekal ijazah sarjana, pria berusia 27 tahun itu kemudian mengunjungi beberapa sekolah untuk mengantar surat lamaran.
Ia berharap agar salah satu dari beberapa surat lamaran yang diantarnya bisa diterima. Dengan demikian, kerinduan menjadi seorang guru yang dipupuk sejak lama bisa terwujud.
Hari berlalu, lamaran yang diantar pun tak kunjung mendapat tanggapan. Kerinduan Lazarus menjadi seorang guru tidak terwujud. Lazarus tidak diterima di sekolah yang sudah dilamarnya.
Namun demikian, semangat Lazarus tidak pernah lesu. Ia mulai berpikir untuk merantau ke Kalimantan Selatan.
Di sana, ia dipercayakan untuk menjadi salah satu karyawan perusahaan kelapa sawit. Ia mengemban tugas sebagai security.
Usia pengabdian Lazarus pun hanya seumur jagung. Ia hanya bertahan selama empat bulan. Setelahnya, ia harus pulang ke kampung halaman yang lokasinya di ujung selatan Manggarai itu.
Sesampai di kampung, Lazarus berjualan keliling untuk mendapatkan rupiah. Ia menjual tempe, tahu, tomat, bawang, dan obat tradisional berupa minyak kelapa murni dan raja gunung.
Usaha itu ditekuni Lazarus sembari menunggu informasi lowongan pekerjaan dari sekolah.
Setelah bertahun-tahun, kerinduan Lazarus menjadi guru pun akhirnya terwujud. Ia diterima di salah satu sekolah di ujung selatan Manggarai tepatnya di SMKN 1 Satarmese Barat. Di sana, ia mengajar mata pelajaran IPA Terapan.
Profesi tersebut mengantar Lazarus untuk memulai berpikir agar meninggalkan usaha jualan keliling yang telah ditekuninya. Ia bertekad untuk mendedikasikan seluruh waktunya sebagai guru.
Namun, fakta berkata lain. Gaji guru honorer ternyata hanya diberi upah Rp700.000 per bulannya. Jumlah itu tidak mampu membiayai seluruh kehidupan rumah tangga Lazarus.
Apalagi, ia telah mengarungi bahtera rumah tangga dan telah dikarunia seorang anak perempuan. Biaya kebutuhan keluarga pun lumayan banyak.
Ia akhirnya memutuskan untuk kembali menekuni usaha berdagang demi menopang kebutuhan ekonomi keluarga.
Setiap subuh, ia harus pergi ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai untuk membeli tahu dan tempe, serta tomat untuk kemudian dijual di kampung halamannya.
“Saya berangkat dari kampung sekitar jam 6 pagi sehingga sampai di Kota Ruteng jam 8 pagi. Pulang sekitar jam 10, langsung jual ke pasar dan setiap kampung yang ada di sekitar wilayah Satarmese Barat,” aku Lazarus, Minggu (30/08/2021).
Usaha berdagang itu dilakukan Lazarus sebelum ia pergi ke sekolah untuk mengajar.
Jadwal masuk sekolah yakni pada siang hari tepatnya pada pukul 12.00 Wita. Kendati demikian, Lazarus tidak pernah menomorduakan tugas sebagai pendidik. Ia menjalani keduanya dengan rasa tanggung jawab.
Selama masa pandemi berlangsung, Lazarus masih berjualan keliling. Walau kondisi barang jualannya tidak banyak yang laku.
Namun, demi membiarkan asap dapur mengepul, Lazarus tetap setia menekuni usahanya.
Tidak hanya berjualan keliling, ia juga mendirikan sebuah usaha kios yang lokasinya tepat di bibir pantai.
Kios tersebut menjual barang kebutuhan pokok. Karena sang istri belum memiliki pekerjaan tetap. Kios tersebut dijaga khusus oleh istrinya, Yohana Osi (25).
“Usaha (kios) itu dibangun di atas lahan milik orang, tetapi sudah atas persetujan dan izin dari desa setempat. Istri saya dipercaya juga untuk bantu menjaga warung kopi yang berada di sekitar lokasi,” tambah Lazarus.
Berkat usaha tersebut, Lazarus berhasil mengumpulkan uang sampai berjumlah Rp500.000 setiap bulan. Uang tersebut hanya diperoleh melalui usaha jualan keliling dan juga usaha kios miliknya.
Lazarus mengharapkan agar melalui usaha yang ditekuninya, para generasi muda di Manggarai mulai berpikir untuk meninggalkan gengsi dengan bekerja sebagai apa saja.
Intinya, kerja tersebut bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ia juga mengharapkan agar pemerintah bisa lebih fokus memperhatikan dunia pendidikan khususnya aspek kesejahteraan guru honorer yang masih jauh dari harapan.
“Saya juga punya harapan besar bagi kaum muda, jangan pernah gengsi untuk mulai berwirausaha, meskipun seperti saya yang jualan ke pasar ataupun ke kampung. Semoga pemerintah juga bisa melihat kami dan perhatikan khususnya dalam persoalan gaji tenaga guru honorer,” tutupnya.
Penulis: Igen Padur
Editor: Ardy Abba