*Cerpen
Oleh: Yohanes Mau
Untuk ayahku di negeri seberang. Negeri baru yang tak terseberang. Negeri itu bernama Surga yang datang sebelum rindu kami bersua.
Ayah sudah lama rindu ini tak terkuak. Rindu membara tak tertahankan. Aku terjepit diantara semak belukar negeri ini. Negeri rumah batu.
Mungkin ayah tahu angin musim negeri ini berhembus belum henti-henti juga. Dedaunan kering dari pohon marula jatuh tertiup angin dan berhamburan di halaman rumah.
Terlihat kotor dan rerumputan hijau tertutupi sehingga mata tak bisa menikmati cantiknya negeri sekitarku seperti musim kemarin yang baru saja pamit.
Perginya musim dingin itu seolah menyerahkan tubuh mungil ini ke dalam rangkulan musim kemarau panjang dengan hembusan angin tanpa henti.
Kucoba merenung sejenak di teduhpohon jambu sembari tunduk dan menerawang jauh tinggalkan raga melalangbuana melewati awan gemawan. Kurasa betapa hampanya hidup di tengah semesta ini.
Aku bertahan karena masih ada teduhan sejuk dari ruang hampa. Aku berjuang karena masih ada langit yang memayungi kepalaku dari terik panas matahari dan dingin suhu negeri.
Darah muda mengalir ke seluruh sudut tubuhku bersama rindu. Rindu akan ayah dan segala sejuk cintanya yang masih hangat di ziarah hidup ini. Seolah mengabarkan kepada saya bahwa ayah juga sedang merindu anak kesayanganya.
Ayah, kemarin kita masih bincang soal liburanku nanti. Kita akan pergi ke bukit padang sabana Fulan Fehan untuk bernostalgia.
Ayah bilang, “masihkah kau ingat saat kakimu tak bisa lagi mendaki menuju bukit itu dan ayah menggendongmu hingga puncak? ” “anak, tempat itu makin sekarang semakin indah dan sejuk, kalau liburan nanti mari kita ke sana lagi dan petiklah aneka inspirasi!”
Hijau padang rumput membentang jauh dan langit biru nampak indah bagai gadis desa murni yang sedang jatuh cinta dengan pujangga bumi.
Kalau libur, cepatlah pulang nak, jangan tunda-tunda!” Jawabku, “Ayah, aku datang dan kelak kita petik bahagia di bukit itu, bukit indah surga kecil turun di bumi Fulan Fehan.”
Kabar angin hari ini datang dari negeri seberang. Kabar itu menggores lukakan hatiku. Bahagia kami kemarin sirna sekejab.
Bahagia bersama ayah via telepon itu terbenam bersama senja. Sial apakah ini? Ayahku menghembuskan napas hingga selesai. Mengakhiri hidup di dunia fana ini. Engkau pergi tinggalkan aku sendiri.
Di sini, di negeri Zimbabwe aku rindu peluk hangatmu. Aku masih pegang janjimu kemarin sore sebelum senja datang. Namun mengapa engkau pergi terlalu cepat? Ayah akan jadi apakah rindu ini nanti?
Ayah, aku masih butuh peluk hangatmu. Namun kini engkau pergi tanpa kasihan sedikit pun dengan aku yang kini sedang merindumu hingga tak tertahankan ini.
Ayah, saat hendak tulis surat ini tanganku gemetar tak bisa ayunkan pena. Dari mana hendak kumulai dan apa yang harus kutulis? Ah, ayahku, surat kecil ini kutulis dengan derai air mata.
Pena tinta mengalir bersama tetes air mata mengabadikan kisah bersejarah ini. Kisah cinta abadi abadi tersurat. Kisah haru abadi tergores di dalam buku hidupku. Surat cinta untuk ayah beralamat di surga.
Kisah pilu ini tak kan pernah usang bersama hari dan waktu. Ia akan abadi karena setiap tetesan tinta yang mengalir abadi terkenang di dalam seluruh ziarah hidup ini.
Kekuatan rindu menembusi benua dan samudra namun tidak boleh hilang. Ia mengalir dari hati terdalam sumber tempat energi cinta keluar tiada henti.
Kini sumber energi itu seolah terputus tak ada koneksi lagi seperti sebelumnya. Hampa gulana di tengah semak belukar bersama tawaran angin musim dan panasnya terik matahari.
Ayah, pergimu gores luka terdalam di ziarah hidup panjang ini. Pesan dan janji kemarin masih basah di memori dan lubuk hatiku yang terdalam.
Pesan itu membuat rindu hati ini makin meluap dan menghitung hari-hari hidupku agar cepat berlalu. Rinduku agar segera pulang dan menjumpaimu.
Angka di kalender kuhitung setiap matahari terbit dan kucoret setelah senja pamit. Namun kini janji itu hanya tinggal janji. Janji itu berbalut air mata menyimpan seribu duka di seluruh ziarah hidup ini.
Haruskah kupergi tinggalkan jalan ini dan memilih jalan lain? Masihkah ada jalan lain yang bisa membalut luka terdalamku ini? Ayah, kalau masih izin, biarlah aku cari jalan lain untuk baluti luka hati ini.
Ayah, mulai hari ini aku tertinggal dengan gelar baru yang ayah berikan secara otomatis. Gelar sebagai anak yatim. Hidup tanpa ayah. Lantas kepada siapakah aku akan menyapa ayah? Aku cemburu kepada para sahabat yang selalu menyapa ayah.
Aku cemburu kepada mereka yang memeluk dan hapus air mata ayah di dalam seluruh hidupnya. Kini aku tertinggal dan sendiri. Ayah, pintaku hanya satu, “doakan agar aku tak sendirian hadapi derasnya badai hidup ini!”
Laju hidup ini tak bisa dihentikan namun izinkan aku juga untuk setia berlaju bersamanya agar tidak menyesal bila esok datang lagi.
Ayah, badai angin zaman tak tertahankan. Sampaikan salam hangatku untuk Tuhan agar Ia selalu menjaga dan merangkulku erat dari segala tawaran nikmat dunia.
Kini Ayah telah pergi dari ziarah hidupku namun Tuhan tak akan pernah meninggalkan aku sendirian berjalan di tengah semak belukar negeri ini.
Ayah, untuk segala jerih lelah, tetes keringat yang mengalir bersama darah di dalam daging lemah ini tak bisa kubalas. Cintamu besar dan abadi. Sampai kapan pun aku tak bisa membalasnya.
Terima kasih banyak ayah untuk semuanya yang tak terhitung itu. Maafkanlah anakmu atas segala salah dan khilaf selama ini.
Ayah, sekian saja surat cinta dariku untukmu di surga. Semoga suatu saat nanti rindu kita bersua di taman surga tempat segala rasa berpulang dan bersemi.
Gamtree-Zimbabwe, 26/08/2021.
Sedikit tentang Penulis:
Yohanes Mau warga Belu Utara-NTT-Indonesia, Religius Misionaris dalam Kongregasi Societas Verbi Divini (SVD). Kini sedang berdomisili di Gumtree-Zimbabwe-Afrika