(Komparasi Perspektif Injil Lukas terhadap Kaum Marginal dan Kisah Odysseus)
Oleh: Fransiskus Aryanto Narang
Kaum marginal adalah kaum pinggiran atau yang terpinggirkan. Kaum marginal adalah representasi masyarakat yang kurang mampu dari berbagai aspek kehidupan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kaum ini sulit mendapat pasokan bagi kehidupan mereka, dalam hal sandang, pangan maupun papan.
Berhadapan dengan eksistensi masyarakat yang disebut kaum marginal ini, akan muncul ragam pertanyaan yang menciptakan ironi.
Apakah label kaum marginal sudah digariskan sejak lahir? Apakah eksistensi mereka terjadi karena kurangnya usaha dalam diri?
Apakah keegoisan oknum-oknum tertentu memainkan peran dalam ketimpangan sosial ini? Apakah hal tersebut adalah kutukan?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya akan menelusuri kaum marginal dalam perspektif injil Lukas dan komparasinya dengan kisah Oddysseus.
Injil Lukas identik dengan kaum marginal bahkan sering disebut sebagai injil kaum marginal.
Kaum marginal konteks Yahudi dahulu kala adalah orang-orang yang miskin secara ekonomi dan mendapat penindasan oleh kekuatan politik yang berkuasa atau yang disepelehkan.
Hal yang menarik adalah bahwa Magnificat (nyanyian pujian Maria) hanya ada dalam injil Lukas ini. Jika menelusuri ayat demi ayat dalam magnificat tersebut, akan ditemukan perhatian yang besar terhadap kaum marginal.
Magnificat Maria menunjukkan bahwa kaum marginal tidak akan ditinggalkan Tuhan. “Ia melimpahkan semua yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa.” (Luk. 1:53).
Hal ini bukan berarti kaya itu salah, sebab bukan hanya harta, hati yang kaya adalah yang terutama.
Dalam konteks Yahudi, laki-laki menjadi pemimpin dalam keluarga (patriarkat), sehingga ada perbedaan tugas yang signifikan antara laki-laki dan perempuan.
Kebanyakan peran dalam masyarakat ditangani oleh laki-laki dan perempuan lebih banyak mengurus keluarga.
Lukas membuka injilnya dengan kisah tiga perempuan ikonik dalam Gereja, yaitu Elizabet (Luk. 1:5-45), Maria (Luk. 2: 1-20) dan Hana (Luk. 2:36-38).
Sedangkan di akhir injilnya terdapat kisah pemberitaan mengenai kebangkitan Yesus oleh Malaikat kepada Maria Magdala, Yohana dan Maria ibu Yakobus (Luk.241-12).
Hal ini secara implisit menekankan bahwa perempuan pun memiliki kualitas untuk melakukan hal-hal besar (sebagai salah satu golongan kaum marginal).
Mereka dipinggirkan tapi mampu membuat hal-hal besar dengan pertolongan Tuhan. Pada konteks ini, Lukas menunjukkan bahwa eksistensi perempuan pun berarti, bukan hanya kaum yang selalu dipandang sebelah mata.
Selain kaum perempuan, kaum miskin pun mendapat perhatian khusus dalam pewartaan injil Lukas ini.
Jika melihat historisitas pendudukan Romawi atas Palestina, akan ditemukan bahwa banyak orang Yahudi yang ditindas karena kebijakan-kebijakan pihak kekaisaran Romawi.
Pajak yang besar membuat banyak kaum marginal menderita. Kondisi tersebut diperparah dengan kenaikkan pajak ilegal yang dibuat oleh para pemungut cukai.
Kondisi-kondisi seperti ini menunjukkan hilangnya solidaritas di kalangan masyarakat, keadilan pun hanya menjadi sebuah angan.
Namun dalam sabda bahagia dikatakan: “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya kerajaan Allah” (Luk. 6:20). Bahkan yang menyaksikan kelahiran Yesus untuk pertama kali pun adalah para gembala, yang terhitung sebagai orang-orang miskin (Luk. 2:8-20).
Konsep kesetaraan termaktub pada perikob ini, martabat tetap sama meski status berbeda. Sehingga bukan mengadakan pemisahan, tetapi merangkul dan memberi bantuan.
Beberapa waktu lalu saya membaca kisah Odysseus, epos karya Homeros seorang penyair Yunani Kuno.
Kisah ini diangkat oleh Horkheimer dan Adorno dalam tafsiran mengenai “pencerahan” atau antitesis segala dominasi (Setyo Wibowo, 2009: 56).
Manusia bereksistensi dan menentukan jalan hidupnya, sehingga takdir ditentukan oleh diri sendiri.
Saya memakai tafsiran yang sedikit berbeda dengan konsep pencerahan. Tekad baja Odysseus untuk pulang ke Ithaca (kerajaannya) adalah yang terutama.
Kaum marginal seringkali tak diperhatikan oleh khalayak secara riil.
Sebab dalam kehidupan, bentuk perhatian lebih banyak bersifat simpati semata dan tak ada wujud nyata.
Lukas membuka pikiran setiap umat manusia agar memiliki semangat solidaritas terhadap sesama.
Sedangkan kisah Odysseus menjadi motivasi bagi kaum marginal agar tidak terkungkung terus dalam penderitaan, melainkan bangkit dan memulai suatu hidup yang penuh pengharapan.
Manusia tak boleh bersikap pasif terhadap kehidupannya, melainkan proaktif demi terwujudnya kesejahteraan dalam diri.
Ketika perang Troya selesai dan berhasil dimenangkan oleh Odysseus beserta pasukannya, mereka pun berjalan pulang.
Dalam perjalanan itu, ia mendapat rintangan yang sangat berat bahkan butuh waktu sepuluh tahun untuk sampai ke Ithaca, kampung halamannya.
Hal ini terjadi karena kemarahan Poseidon (dewa laut) yang tak dianggap oleh Odysseus jasanya dalam peperangan.
Sehingga ia dikutuk agar tak pernah sampai ke kerajaannya. Karena niatnya ingin pulang, kutukan itu tak dihiraukannya, baginya rumah adalah tujuan utama. Tujuan ini membantunya melewati berbagai banyak hal.
Kaum marginal pun demikian, harus mempunyai harapan. Sehingga harapan itu menjadi tujuan utama, yang tak tergantikan.
Seperti Odyssus melihat rumah sebagai tujuan demikian pun kaum marginal harus punya tujuan yang hendak dikejar. Jika memakai konteks pemahaman waktu kristiani, maka waktu dilihat dalam bentuk spiral.
Meskipun terus berputar dalam rutinitas yang sama, tujuan menjadi pembeda. Tujuan memacu persona terus berlangkah tanpa berpikir untuk menyerah.
Penginjil Lukas pun menekankan hal ini, bahwa tujuan yang mulia memiliki akhir yang mulia pula, yakni kerajaan Surga.
Ibarat sebuah jalan, tak selamanya mulus dan lurus ada kalanya berlika-liku dan tak rata begitulah perjalanan menuju tujuan hidup.
Odysseus dalam perjalanannya untuk kembali, menemui banyak hal. Ada hal-hal berbahaya yang mengancam nyawa dan ada hal-hal yang membuatnya untuk melupakan tujuan utama.
Misalnya ketika melewati pulau para Siren, (makhluk mitologi Yunani yang memiliki suara merdu dan nyanyiannya menghipnotis orang untuk singgah ke pulau kemudian dibunuh) ia menyumbat telinga awak kapalnya dan mengikatkan diri ke tiang layar.
Kemudia dia menyuruh awak kapalnya untuk terus mendayung ketika ia mulai meronta-ronta saat mendengar nyayian para Siren.
Mereka pun berhasil melewatinya. Kemudian ia bertemu Polyphemus raksasa bermata satu anak Poseidon yang dibutakannya dengan pedang dan diberi identitas palsu dengan nama nobody, sehingga identitasnya tak terbongkar.
Ia juga bertemu Circe (Dewi cantik dalam mitologi Yunani) yang menyihir anak buahnya menjadi binatang, dan untuk mengembalikan mereka ke wujud semula Odysseus harus mau tinggal dengannya.
Pada tahap ini intensionalitas sebagai manusia mulai terganggu, sebab dalam perjalanan menuju tujuan ada hal lain yang mengganjal.
Namun Odysseus terus berpegang pada prinsip dan tekadnya, sehingga pada akhirnya ia berhasil sampai ke Itacha dan merebut kembali kerajaan yang sempat dirampas beberapa saingannya.
Kenyataan bahwa adanya klasifikasi yang dinamakan kaum marginal dalam masyarakat, mengoyak rasa solidaritas umat manusia.
Sebab ketimpangan sosial benar-benar terasa dan begitu dekat dengan kita. Injil Lukas tidak hanya menyediakan suatu perhatian kepada kaum marginal, tetapi cara hidup orang-orang yang ada di sekitar mereka pun turut diperhatikan.
Banyak aspek saling bertautan dalam kehidupan, yang satu membutuhkan yang lain, begitu pun sebaliknya.
Tekad Odysseus yang membara pun menjadi analogi perjuangan yang tak kenal lelah, dalam perjalanan menuju tujuan.
Sehingga sebagai orang yang berakal budi dan juga beriman, orang harus mampu menyadari keutamaan-keutamaan dalam hidup, sekalipun banyak rintangan yang menghadang.
Akhirnya sebuah ayat dalam magnificat Maria kembali saya cantumkan: “Karena yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan yang besar kepadaku dan namaNya adalah Kudus.” (Luk.1:49).
Lukas menunjukkan status manusiawi tak masalah di hadapan Tuhan, yang penting ada gerakan aktif dalam diri untuk memahami skala prioritas kehidupan.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang