Oleh: Aprianus Defal Deriano Bagung
Kondisi geografis wilayah negara Indonesia yang berbentuk kepulauan membuat Indonesia kaya akan potensi alam dan budaya.
Artinya, tiap-tiap pulau yang membentuk negara Indonesia menyimpan begitu banyak potensi sumber daya alam dan budaya yang unik dan khas.
Selain itu, negara Indonesia juga memiliki keberagaman suku, agama, dan ras. Dengan demikian masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berbhineka.
Kebhinekaan masyarakat Indonesia ada sejak bangsa Indonesia belum resmi diproklamasikan sebagai sebuah negara yang bebas merdeka.
Berkaca pada realitas kehidupan masyarakat Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan, khususnya beberapa tahun belakangan, kerja keras para pendiri bangsa dalam mendirikan bangsa Indonesia seolah tak sepenuhnya dihargai.
Sungguh menjadi kondisi yang memprihatinkan, masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun belakangan justru menjadi dalang dari berbagai kerusuhan serta memberi diri untuk melakoni berbagai kerusuhan tersebut.
Mereka melabeli diri dengan identitas tertentu, semisal agama, kemudian melakoni peran sebagai perusuh dengan amat brutal dan tidak berperikemanusiaan.
Hemat penulis, hal ini terjadi karena sikap hidup masyarakat yang berada pada jalur lain dengan nilai-nilai Pancasila, serta pesan toleransi semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Untuk konteks Indonesia saat ini, fanatisme menjadi salah satu sikap yang berkonotasi negatif.
Dengan alasan itu, dalam tulisan ini penulis bermaksud untuk mengulas masalah yang disebabkan oleh sikap fanatisme serta menawarkan beberapa solusi yang dianggap tepat untuk mengatasinya.
Ulasan dalam tulisan ini mengerucut pada fanatisme agama, dengan alasan bahwa isu agama menjadi isu yang amat sensitif untuk konteks Indonesia saat ini.
Memahami Fanatisme Agama
Fanatisme dalam bahasa Inggris disebut fanaticism. Kata fanatisme (fanaticism) sebenarnya berasal dari dua suku kata yaitu fanatic dan isme.
Fanatic adalah kata bahasa Latin (fanaticus, frantic, frenzied) yang dalam bahasa Indonesia berarti gila-gilaan, kalut, mabuk atau ingar-bingar.
Isme dapat diartikan sebagai suatu bentuk keyakinan atau kepercayaan.
Secara leksikal, fanatisme berarti kepercayaan (keyakinan) yang teramat kuat terhadap suatu ajaran (agama, politik, dan sebagainya).
Secara sederhana fanatisme dapat diartikan sebagai suatu rasa cinta yang berlebihan dan keyakinan yang sangat kuat terhadap suatu pandangan tertentu.
Pandangan yang dimaksudkan dapat berupa pandangan terhadap agama, ideologi, suku, ras, dan pandangan terhadap suatu kebudayaan tertentu.
Agama menjadi salah satu fakta sosial yang hampir pasti ditemukan disetiap kelompok masyarakat. Bahkan agama menjadi identitas kolektif sekelompok orang.
Bernard Raho memberi penjelasan yang cukup komperhensif berkaitan dengan defenisi agama dalam bukunya yang berjudul Sosiologi.
Tak dapat dimungkiri bahwa defenisi terhadap agama bukanlah suatu hal yang mudah.
Dadang Kahmad mendefenisikan agama secara substantif. Menurut Kahmad (2000:13) sebagaimana dikutip Bernard Raho dalam Sosiologi, agama dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Sanksekerta, ‘a’ berarti ‘tidak’ dan ‘gama’ berarti ‘kacau.’
Secara harafiah agama berarti ‘tidak kacau.’ Dalam arti luas, agama adalah salah satu insitusi sosial yang memuat peraturan-peraturan tertentu yang pada dasarnya bertujuan untuk mengatur pola tingkah dan tata laku para pemeluknya agar tidak kacau.
Dengan demikian, fanatisme agama dapat diartikan sebagai suatu bentuk kecintaan yang berlebihan dan keyakinan yang kuat terhadap pandangan agama.
Fanatisme agama diekspresikan oleh orang-orang fanatik dalam kehidupan nyata dengan cara yang beragam.
Oleh karena itu, fanatisme agama dalam tataran praksis membawa dampak positif dan dampak negatif sekaligus.
Orang-orang tertentu yang notabene termasuk orang-orang fanatik akan menunjukkan rasa cinta dan keyakinan yang kuat tersebut dengan hidup menurut peraturan yang berlaku dalam ajaran agama serta mengamalkan nilai-nilai positif kehidupan beragama.
Buah-buah positif seperti inilah yang menjadi idealisme kolektif masyarakat.
Ironisnya, dalam mengekspresikan rasa cintanya yang berlebihan dan keyakinannya yang kuat, orang-orang fanatik cenderung meresahkan dan bahkan menakutkan orang lain.
Hal ini lebih karena aksi yang telah mereka lakukan telah merenggut puluhan hingga ratusan nyawa.
Idealisme kolektif masyarakat seolah kandas ketika orang-orang fanatik menunjukkan praktik hidup yang sangat tidak diharapkan.
Orang-orang seperti ini memiliki anggapan bahwa agama atau pandangan orang lain tidak lebih benar dari agama atau pandangan yang mereka anut.
Selain itu, orang-orang fanatik yang demikian juga mudah tersobek perasaan religiusnya.
Mereka akan merasa direndahkan apabila orang lain yang tidak sealiran menyebut ayat-ayat suci dalam ajaran mereka meskipun tujuan orang tersebut sebenarnya tidaklah demikian.
Pemahaman semacam ini kemudian menjadi semacam stimulus yang menggerakkan hati orang-orang fanatik untuk membawa pandangan dan keyakinannya dalam realitas hidup bersama.
Lebih parah lagi, mereka akan melakukan tindakan apa saja sebagai bentuk pemaksaan terhadap orang lain agar menganut pandangan yang mereka anut.
Mereka akan melakukan tindakan apa saja yang memang dirasa mampu menyembuhkan perasaan religius yang telah tersobek.
Akibatnya, timbul kejadian-kejadian yang tidak berperikemanusiaan seperti aksi bom bunuh diri dan aksi saling teror.
Hal inilah yang kemudian membuat segelintir orang sampai pada generalisasi bahwa agama tertentu tidak lebih dari kelompok eksklusif-destruktif belaka.
Fanatisme Agama dalam Realitas Kebhinnekaan Manusia Indonesia
Diskursus tentang fanatisme sungguh nihil apabila dilepaspisahkan dari realitas masyarakat yang beragam.
Logisnya, orang-orang fanatik tidak mungkin berjuang agar keyakinan dan pandangannya dianut oleh orang lain apabila orang lain tidak menganut pandangan berbeda.
Dalam realitas kebhinekaan manusia Indonesia sikap fanatisme cenderung membawa dampak negatif.
Atmosfer kehidupan masyarakat yang semulanya aman-aman saja menjadi terganggu oleh kehadiran oknum-oknum dan intrik-intrik tertentu yang bertindak senonoh.
Mereka menunjukkan tindakkan anarkis-radikal yang sungguh meresahkan masyarakat.
Tindakan anarkis-radikal yang dimaksudkan contohnya adalah aksi bom bunuh diri dan aksi saling terror lainnya.
Selama satu decade terakhir (2010-2020), kasus bom bunuh diri terjadi sebanyak 4 kali.
Ledakan bom di Gereja Katolik Kristus Raja wilayah Gawok pada 7 Desember 2010 menjadi kasus pertama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Belum sampai satu tahun setelahnya, yakni pada 29 April 2011 kasus serupa kembali terjadi. Gereja Pentekosta Indonesia, El Shaddai, Sleman, dilempari bom Molotov oleh oknum tak dikenal.
Kasus serupa terjadi pada pertengahan Desember 2016. Bom kembali meledak di halaman Gereja Oikumene, Samarinda.
Sungguh miris, kejadian tersebut melukai empat balita sekaligus.
Padahal, para balita yang menjadi korban sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun.
Selanjutnya pada 13 Mei 2018, aksi bom bunuh diri kembali terjadi.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada 2018 aksi bom bunuh diri seolah mencapai kulminasi kebrutalannya.
Betapa tidak, pada 2018 bom bunuh diri hampir terjadi secara serentak di tiga lokasi berbeda di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Lokasi sasaran aksi brutal tersebut di antaranya Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pentekosta Pusat Surabaya.
Dalam kasus tersebut, sebanyak tiga belas orang meninggal dunia dan empat puluh tiga orang lainnya mengalami luka-luka.
Tak hanya itu, pada awal dekade yang baru, yakni pada 28 Maret 2021, aksi bom bunuh diri kembali terulang.
Bom meledak di gerbang Gereja Katedral Makassar tepat ketika umat Katolik setempat sedang melangsungkan perayaan ekaristi ‘Minggu Daun-daun’.
Aksi ini memang tidak menelan korban jiwa yang banyak namun tetap mengganggu kesakralan perayaan ekaristi.
Kasus-kasus tersebut menjadi bukti kuat yang mendasari pernyataan bahwa praktik keagamaan dewasa ini cenderung tunduk pada sisi animale (kebinatangan).
Sisi rationale (nalar) kurang mendapat tempat dalam pertimbangan perilaku manusia.
Padahal, sisi rationale adalah pembeda antara manusia dan binatang. Manusia akan sulit dibedakan dengan binatang apabila manusia tidak melibatkan nalar dalam mempertimbangkan suatu tindakan.
Konsekuensi logis yang pasti terjadi ialah timbulnya berbagai macam tindakkan anarkis-radikal yang sungguh tidak etis apabila dilakukan oleh manusia.
Persisnya, representasi nafsu rimba yang lazim dijumpai pada binatang tampak dalam anarkisme, radikalisme, dan terror atas nama agama seperti yang telah terjadi.
Identitas manusia sebagai homo sapiens justru dicederai oleh manusia itu sendiri. Manusia sepenuhnya bukan lagi homo sapiens melainkan homo brutalis.
Sosialisasi Pedagogis sebagai Jalan Keluar
Realitas kebhinekaan masyarakat Indonesia tentu tidak mengharapkan aksi saling teror terus terjadi.
Hal ini lebih karena aksi tersebut sangat mengganggu kenyamanan hidup bersama serta mengancam keutuhan negara.
Selain itu, aksi saling teror yang sering terjadi juga menjadi ancaman tersendiri bagi Pancasila sebagai ideologi negara.
Ada gejolak dari intrik-intrik tertentu untuk untuk mengubah ideologi negara menjadi ideologi agama. Dengan demikian, tindakan preventif sangat diperlukan.
Seperti yang telah diuraikan, akar permasalahan yang menjadi fokus ulasan dalam tulisan ini ialah minimnya keterlibatan sisi rationale dalam pertimbangan logis manusia sebelum bertindak.
Lantas apa yang harus dilakukan agar masalah serupa tidak terulang kembali?
Hemat penulis, meningkatkan keterlibatan nalar publik (masyarakat) menjadi solusi utama yang selaras dengan akar permasalahan.
Peningkatan keterlibatan nalar publik dapat dilakukan dengan menyosialisasikan keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia.
Sosialisasi tersebut mesti bersifat mendidik (sosialisasi pedagogis).
Sosialisasi pedagogis memerlukan sinergisitas antara pihak pemerintah dan pihak swasta.
Sosialisasi pedagogis yang gencar dilakukan, baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta, barang tentu mampu mencegah terulangnya kasus serupa (aksi bom bunuh diri).
Konkretisasi sosialsisasi pedagogis dapat dilakukan dengan menggalakkan atau mempromosikan pendidikan multikultural di level pendidikan menengah dan tingggi.
Dr. A. Bagus Laksana dalam Basis menjelaskan bahwa beberapa mahasiswa perguruan tinggi telah terpapar radikalisme.
Bahkan lebih parah lagi, beberapa dosen juga ikut terpapar.
Karena itu, pendidikan miltikultural, yaitu pendidikan yang memberikan pemahaman tentang realitas kebhinnekaan Indonesia adalah hal mendesak untuk dilakukan.
Implementasi pendidikan multikultural sebagai aksi konkret dari sosialisasi pedagogis menuntut implikasi penuh dari pihak pemerintah sebagai pengatur kurikulum pendidikan.
Pada gilirannya sosialisasi pedagogis akan mampu mewujudkan masyarakat yang kritis.
Dengan kata lain, ikhtiar untuk mewujudkan masyarakat yang kritis dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi pedagogis.
Masyarakat kritis berarti masyarakat yang selalu melibatkan sisi rationale dalam mempertimbangkan suatu tindakan tertentu.
Masyarakat kritis pasti akan selalu menciptakan iklim hidup yang nyaman dalam artian terbebas dari aksi saling teror.
Sosialisasi pedagogis pada dasarnya bermaksud untuk memberikan pemahaman komperhensif kepada masyarakat dan mendidik masyarakat sehingga masyarakat semakin memahami realitas kebhinekaan yang ada.
Dengan memberikan sosialisasi pedagogis, wawasan masyarakat mengenai realitas keberagaman Indonesia semakin diperdalam.
Akhirnya masyarakat akan lebih mampu menciptakan iklim hidup yang nyaman dan tentunya terbebas dari aksi saling teror.
Lebih jauh, sosialisasi pedagogis juga bermaksud untuk memulihkan citra manusia sehingga tetap layak disebut sebagai homo sapiens.
Biodata Penulis
Penulis bernama lengkap Aprianus Defal Deriano Bagung ini adalah seorang pelajar yang sangat menggemari dunia sastra.
Apri Bagung, demikian sapaan akrabnya, lahir pada 03 April 2004. Beliau aktif menulis di berbagai media online lokal.
Essainya yang berjudul Bunuh Diri dan Solusi Permasalahan dan Tantangan Persatuan Indonesia di Era Millenial telah dimuat di media Ngkiong.com.
Sementara beberapa puisinya (antologi Kemeja Kenangan) dimuat di media Nataslabar.com.
Cerpennya yang berjudul “Senandung Pemakaman” juga telah dimuat di media Nataslabar.com. Selain menulis, beliau juga gemar membaca.
Pendidikan menengah pertamanya diselesaikan di lembaga pendidikan calon imam SMP Seminari Pius XII Kisol.
Pada Mei lalu, beliau mengajukan surat pengunduran diri secara resmi ke lembaga pendidikan calon imam SMAS Seminari Pius XII Kisol.
Sekarang beliau melanjutkan pendidikannya di SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng.