(Bahasa-Tutur Lamaholot)
Oleh: Veran Making
Bahwa Perselisihan itu harus diselesaikan
Lera wula tana Eka
Ili woka hari lewa
Wutung pito keleteng lema
Ih Oyo Nura Wolo
Keju Nitu watu Nata
Lewutanah Ria weta reti tanah
Bele Raya
Lewu tuka tana lolo
Mo ribu ratu kaya none
Suku pulu pito luwe pulu lema
Belake, berwae, ue bele wekoi
Temi nama wata ahi kene
Mo ribu ratu, ue bele, belake,
berwae
Kame gepa mari ne mio moi
Nenge kame ate A po pori mio
Ne kame mula ada’ helu gawu
Keyu watu nemi, mere isi ago
Nama wata ahi kene
Lewu tan aria weta ko ake beke,
ake hara
Ne tawa geri puke ne hebe,
bangehe ne aya, lolo ne peleba
Ake no koro kuma, ake ne mata
hobi.
Uka penaki, data kewai noke
nemi
Goke guti kai loke lou sina puke
jawa nimu
Naike pana ake tue gawi ake bali
mu.
Goke kere KERU-BAKI no nemi
Kere wera weto moke mi, ti ne
ake pati giki di hala muri.
Kere lete, kere lurak mi ti ake mo
turu rehi
Lede hara kame mu
“Senare Mela Keru Baki”.
Goke mola pati dae beda
Goke mete kai tula tue, luga bali
Po pori ti pati di hala, giki di hala,
bute hala biha dihala
Kame gepa mari mio ti moinge
denger
“Makna syair”
Tuhan langit dan bumi
Gunung bukit, laut dan samudra
Tanjung dan teluk
Makhluk yang mendiami alam ini
Raja memerintah dan
Mengguasai tanah ini
Dengan seluruh masyarakatmu
Dengan seluruh suku bangsa
yang mendiami tanahmu
Laki-laki, perempuan dan kecil
dan besar semuanya.
Ulayat pesisir pantai dan pantai ini
Dengan semua masyarakat-Mu
Kecil besar, laki-laki dan
perempuan semuanya
Kami beritahu untuk kamu tau
Supaya kami meredahkan perang dan perdamaian.
Supaya kami menanam dan memelihara
Kayu dan batu ini menjadi hiasan
dan harta terindah
di pesisir pantai tempat ini.
Jangan marah, jangan tersinggung
Biarkan pohon tumbuh dengan
batang yang kokoh, ranting yang banyak,
dan daun yang lebat
Supaya batang pohon tidak kerdil dan mati.
Sakit penyakit, yang rusak dan kotoran ini
Saya ambil dan kembalikan ke
asalnya
Pergi tak akan kembali dan
tak akan pulang lagi ke sini
Saya gunakan keru-baki (air berkat) ini
Saya perciki tempat ini, supaya
tidak panas dan tidak terluka lagi.
Ku jadikan sejuk, tenang, dan damai supaya
tidak ada malah petaka yang dapat menimpah kami lagi.
Semua akan baik-baik saja.
Goke mola pati dae beda
Yang dapat memperbaiki dan
mendamaikan, meredam perang,
supaya tidak ada perang dan perselisihan lagi
Kami beritau untuk didengar dan diketahui.
Bahasa-Tutur
Nara Sumber: Vinsensius Kou Halimaking
Ama Koda-Ama Maring
Saya membuka tulisan refleksi ini, dengan sebuah pertanyaan sederhana, untuk menyadari pentingnya kebersamaan dengan orang lain.
Menurutmu siapakah sesama saya? Apakah saya menjadi homo homini lupus (serigala bagi sesama)? Ataukah saya menjadi homo homini socius (manusia yang menjadi sahabat bagi sesama)?
Bagi saya, sesama, menjadi bagian penting, yang mengajarkan arti dari kehidupan, bagaimana saya menjalin relasi, interaksi, komunikasi, dalam membangun persaudaraan yang berlandas pada persatuan tanpa adanya pertikaian dan perselisihan.
“Hidup yang bergandeng tangan dalam persaudaraan perlu terealisasikan tanpa harus memasang sekat dan tembok pembantas, atau hidup tanpa perlu menciptakan pergaulan hanya pada kelompok, ataupun suku tertentu melainkan hidup bagi semua orang dalam pergaulan untuk mencapai keharmonisan”.
Pemaknaan “kebersamaan”, mengarah pada pola hidup yang mesti dibangun dalam pemahaman akan perbedaan dari berbagai latar belakang, suku, bahasa dan budaya yang dihimpun dalam nilai penghargaan dan penghormatan bahwa sesama saya semartabat di hadapan-Nya, yang menguasai semua jagad ini.
Lera wula tana Eka/ Ili woka hari lewa/ Wutung pito keleteng lema/ Ih Oyo Nura Wolo/ Keju Nitu watu Nata (Tuhan langit dan bumi gunung bukit, laut dan samudra, tanjung dan teluk
makhluk yang mendiami alam ini).
Lewutanah Ria weta reti tanah/ Bele Raya/ Lewu tuka tana lolo/ Mo ribu ratu kaya none/ Suku pulu pito luwe pulu lema/ Belake, berwae, ue bele wekoi (Raja memerintah dan mengguasai tanah ini dengan seluruh masyarakatmu, dengan seluruh suku bangsa yang mendiami tanahmu
laki-laki, perempuan dan kecil dan besar semuanya).
Memaknai bahasa-tutur di atas, Dia yang menguasai jagad ini, menghimpun semua makhluk untuk bersatu dalam kasih persaudaraan.
Hidup dalam damai yang menjauhkan diri dari permusuhan, tidak terjadi pertumpahan darah, tidak adanya dendam dan kebencian, tidak ada kebohongan, tidak mengandalkan ego demi keuntungan pribadi, hingga hindarilah kejahatan yang dapat merugikan kebersamaan dengan sesama.
Sebaliknya, Dia yang menciptakan, menghimpun semua makhluk yang mendiami muka bumi ini, untuk mempunyai kesadaran dan pemaknaan saling adanya pengertian, untuk menghargai segala yang mendiami tanah ini, segala makhluknya, “manusia melestarikan segala alam dan lingkungannya, manusia dan sesamanya saling berkisah tentang aksi nyata kebaikan yang saling berbagai hidup demi mencapai bonum commune (kesejahteraan bersama), dan sagala jagad terawat-asri lestari alamnya tanpa ada yang merusaknya.
Karena itu, Kitab Amsal. 9:10 “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian”, mengajarkan serta mau mengarahkan kehidupan manusia yang mestinya berpedoman pada perintah Tuhan, dengan mentaati dan memahami serta mengerti akan apa yang dikehendaki-Nya, tentunya kasih-Nya akan selalu menyertai manusia untuk menjadikan kehidupan ini bermakna dalam kedamaian.
Kedamaian menjadi idaman semua orang. Kedamaian ibaratnya rumah yang nyaman, yang selalu ada tawa dan senyuman, yang dirindukan setiap orang untuk kembali bernostalgia dan membuat kisah-kisah inspiratif.
Air damai yang menyegarkan, membersihkan tubuh dari kotoran kejahatan itulah yang menjadi harapan semua orang, tanpa adanya kebencian.
Kitab Amsal.10:12 “Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutup segala pelanggaran”, kembali menyegarkan ingatan akan pentingnya kasih yang mempersatukan segala yang bertikai, kasih yang mampu memperdamaikan perselisihan di antara-manusia.
Temi nama wata ahi kene/ Mo ribu ratu, ue bele, belake, berwae/ Kame gepa mari ne mio moi / Nenge kame ate A po pori mio (Ulayat pesisir pantai dan pantai ini, dengan semua masyarakat-Mu, kecil besar, laki-laki dan perempuan semuanya, kami beritahu untuk kamu tau, supaya kami meredahkan perang dan perdamaian).
Pemaknaan akan bahasa-tutur memperdalam pemahaman kita, bawasanya perang maupun kebencian ataupun pertikaian fisik tidak akan menyelesaikan sebuah permasalahan.
Segalanya akan memperparah keadaan menjadi pertumpahan darah dan konflik yang berkepanjangan, kalau setiap orang tidak menyerukan perdamaian. Bagaimana seruan damai dapat saling mempertemukan kita?
Sebuah nilai yang mesti dibangun adalah melihat sesama saya sebagai saudara, yang tidak saja lewat pembicaraan hanya sebagai pemanis bibir, melainkan adanya himpunan yang saling mempertemukan dalam kesaksian dan pengalaman hidup, “bertatap-muka bersama, duduk-bersama dan berbicara mengenai segala hal tentang persatuan, kedamaian, keharmonisan, untuk mencapai tujuan bersama dalam ketenangan, kenyamanan dan kesejahteraan.
Di sini, sesama saya dilihat dalam kaca mata ketulusan yang mau menerima orang lain sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pribadi saya. Saya tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Orang lain berharga bagi kehidupan saya. Maka, kesadaran akan kebersamaan harus membentuk karakter saya dalam menghargai dan menghormati keberadaan orang lain tanpa menjelekan latar belakangnya.
Salah satu hal dalam menghargai orang lain yang ditulis, Subagio Sastrowardoya di dalam bukunya “Sekilas Soal Sastra dan Budaya”, menyadarkan kita bawasannya, kita harus melihat bahasa daerah, yang rupanya tidak pernah mati dan tetap penuh vitalitas itu, sebagai sarana pemersatu bangsa. Dengan mobilitas perpindahan masyarakat kita yang makin tinggi dan pergaulan hidup yang padu antara berbagai kelompok suku dan budaya di negeri kita, saling mengenal bahasa daerah masing-masing akan mendatangkan saling pengertian dan penghargaan, sikap yang maha penting peranannya dalam mempersatukan bangsa.”
Persatuan mestinya bukan hanya seruan, tetapi harus pula menjadi bagian kesaksian yang membentuk karakter setiap manusia, yang mau menjadi bagian dari kehidupan orang lain.
Mengartikan saya memaknai pribadi sesama dengan masuk pada budayanya. Bukan berarti saya menjadi orang yang dapat merobohkan semangat kebersamaan.
Tetapi kehadiran saya harus membawa dampak positif dalam membuka diri dan mau belajar bagaimana cara saya bergaul, berkomunikasi sebagai sebuah dukungan yang membangkitkan rasa persaudaraan bahwa sesama sangat berarti bagi kehidupan saya.
Karena itu, menghargai orang lain di dalam pemaknaan akan bahasa serta budayanya merupakan juga cerminan bagi saya untuk tidak berperasangkah buruk atau menjelekan budaya orang lain.
Inilah kehidupan yang harus dibangun dalam jalinan kasih yang terajut simpati dan empati. Bahwa ruang kehidupan harus selalu bercahayakan pemberian diri yang tulus dalam memberi bantuan ataupun menjadi motivator bagi sesama, tanpa harus ada perhitungan untung-rugi, ataupun mempertanyakan imbalan apa yang akan saya peroleh.
Tanpa sadar bila kita berprinsip demikian, kita menjadi manusia yang telah menciptakan pertikaian yang berkecamuk dalam diri, dan itu akan bermuara pada sikap ego yang hanya mau meraup keuntungan dari orang lain, yang membuat pribadi kita terjatuh dalam kesenangan sesaat.
Dengan demikian, bahasa-tutur ini, untuk membantu kita memaknai pentingnya menghargai kebersamaan di dalam budaya orang lain.
Pada prinsipnya keterbukaan diri untuk mau menerima keberadaan orang lain adalah nilai yang berarti bagi kehidupan.
Di situ kita saling belajar dan memaknai bahwa tidak seharusnya hidup adalah pertikaian dan kebenciaan melainkan hidup adalah seruan perdamaian yang diwujud nyatakan dalam pengalaman maupun kesaksian yang sungguh-sungguh terlihat dalam tutur kata dan perilaku sehari-hari.
Marilah kita saling mendukung, serta saling menghargai satu sama lain tanpa harus membuang muka dan menciptakan api amarah, sebaliknya ciptakan hati yang ditumbuhi kehijauan yang mekarkan dedaunan kedamaian.
“Hidup bukan hanya memikirkan diri, melainkan membuka jendela kehidupan dari hati yang tulus untuk menerima keberadaan orang lain sebagai saudara”.
“Goke mola pati dae beda, yang dapat memperbaiki dan mendamaikan, meredam perang, supaya tidak ada perang dan perselisihan lagi, kami beritahu untuk didengar dan diketahui”.