Oleh: Latrino Lele
Perempuan paruh baya itu sering kali keluar malam. Terakhir kali kami bertemu di depan pendopo warung makan milik Lukas.
Dia kala itu mengenakan gaun warna ungu ketat yang membuat dirinya lebih seksi dari gitar spanyol. Wajah bulatnya dihiasi penuh dengan pernak pernik make up ala artis korea.
Aku terperanga bukan main saat berpapasan langsung dengannya di pintu masuk warung. Aroma tubuhnya yang bermandikan parfum buatan cina terbaru merasuk sum-sum tulangku.
Tak aku sadar plastik bungkusan bakso yang aku pesan jatuh berserakan di lantai. Bayangkan aku yang sempat malu saat memungut bungkusan bakso tersebut merasa biasa-biasa saja sebab orang-orang di sekitar tidak memperhatikanku.
Mereka malah telah terbius untuk memandangi perempuan bergaun ungu yang seksi dengan senyum aduhai.
Kamu tidak menyapanya potong Tio yang penasaran.
Bagaimana aku mau menyapanya sedang aku lihat di sudut warung itu ada seorang memakai jas dan perutnya buncit. Lagaknya seperti seorang pejabat.
Senyumnya liar tak mampu aku tebak saat Ia melambaikan tangan kepada perempuan itu, jawabku sedikit kesal.
Ini menyakitkan bukan, Rikus? Tio langsung menepuk pundakku.
Ah. Kamu terlalu berlebihan. Apa yang menyakitkan? Aku tanya balik pada Tio, penasaran.
Aku kenal perempuan yang kamu ceritakan itu. Namanya Lade bukan? balas Tio berapi-api. Tepat sekali. Aku dengar pejabat itu memanggilnya Lade.
Aku kenal pula keluarganya, lanjut Tio dengan suara sedikit melemah.
Suaminya temanku. Namanya Rius dan sekarang tengah mengais rejeki di negeri Jiran. Rius sebenarnya terpakasa harus pergi merantau sebab kebutuhan ekonomi yang mendesak.
Ia harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya juga anaknya di bangku sekolah, Tio mengakhiri pembicaraannya sembari menatap kosong hamparan sawah yang luas.
Ia menarik nafas dalam kemudian kembali menyesap secangkir kopi yang hampir dingin. Sementara isi kepalaku sibuk membayangkan perempuan cantik yang kujumpa di warung bakso.
Membayangkan kelakuannya juga nasib Rius suaminya sebagaimana yang diceritakan Tio padaku.
Senja di bukit batu dekat hamparan sawah berlalu begitu cepat. Ia menggantung di langit barat memberikan senyum kecut pada kami yang menatapnya.
Mungkin ini petanda bahwa mentari hendak berteriak “hey dua lelaki berjenggot sekarang bukan zamannya gosip”! Ah. Mungkin ini hanya pikiranku saja, aku menyela.
Sekejap gelap mulai menyelimuti persawahan tempat kami bekerja. Bunyi-bunyian aneka penghuni malam bertaburan di kuping kami yang terlihat sangat peka mendengarkan segala berita terhangat yang beredar.
Kondisi ini membuat kami bergegas kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu.
***
Gosip tentang Lade kini beredar ke seluruh penjuru kampung. Ibu-ibu tidak luput juga bapak-bapak yang biasanya bersikap netral dengan segala hal tentang gosip malah ikut-ikutan menggosipkan Lade.
Nama Lade menjadi sasaran empuk mulut-mulut ember orang-orang di kampungnya. Ada banyak stigma negatif yang dilabelkan orang kampung kepada Lade. Terlebih ibu-ibu yang merasa takut kalau suami mereka akan bermain-main bersama Lade di belakang mereka.
Hal ini sangat dicemaskan sehingga pada suatu petang saat Lade hendak menimba air di salah satu keran umum di kampungnya, Ia mendapat ceramah yang sangat keras dari ibu Siti dan dihujani tuduhan-tuduhan yang tidak pernah Lade ketahui atau mungkin juga tidak Lade lakukan.
Meskipun Lade membela diri tentang tuduhan itu, tetapi malah Ia diusir oleh ibu-ibu di tempat timba. Mereka semua menghujat Lade habis-habisnya.
Lade pergi menghindari ibu-ibu yang menghujatnya itu bersama luka-luka yang bermekar dan malah bertumbuh pada hatinya. Rasanya Lade ingin menampar mulut-mulut ember ibu-ibu kampungan itu.
Sementara yang terjadi di kamar yang berukuran 1kali 2, air mata Lade tumpah berkali-kali. Kaca, tempat make up, tempat tidur dan segala tetek bengek di kamarnya yang menjadi saksi bisu.
Ia meratapi segala hujatan ibu-ibu di tempat timba. Namun Ia tidak memiliki kuasa apa pun untuk bertindak yang ada hanya makian atau hujatan balik kepada ibu-ibu di tempat timba.
***
Kecemasan ibu-ibu di kampung mereka tentang Lade seolah menjadi nyata. ketika tua muda hampir setiap malam bertandang ke rumah Lade. Mulai dari sekedar mencipi pisang goreng dan kopi pahit buatan Lade yang katanya luar biasa nikmatnya sampai kepada momen merayu Lade.
Biasanya mereka mulai membualkan kata-kata gombal yang acapkali sangat tidak masuk akal. Misalnya “jika melihat senyummu yang paling manis, maka lautan api pun akan aku seberangi”. Ah. Ini gila bukan? Gayanya seberangi lautan api, minum kopi panas saja masih pakai tiup. Katanya takut lidah melepuh.
Makan itu gombal, umpatku dalam hati terhadap om-om yang kebetulan aku dengar saat Ia menggombal Lade. Bagiku warung Lade menjadi tempat keajaiban, karena di sini aku temukan banyak manusia-manusia yang absurd.
Rasanya aku segera mainkan balok pada mukanya biar menjadi sadar. Namun ketika aku berpikir kembali, ini bukan urusanku kan? Ah. Entahlah.
Meskipun beberapa kali aku ikut mampir minum kopi dan makan pisang goreng di warung Lade atau hanya sekedar “mencuci mata” dengan kemolekan tubuh Lade yang super seksi itu, tetapi tidak dielakkan kalau di kepalaku selalu terbayang apa yang Tio pernah ceritakan kepadaku bahwa Lade mempunyai suami, namanya Rius dan sekarang sedang berada di negeri jiran tengah mengais rupiah.
Ingin rasanya aku tangisi nasib Rius yang aku bayangkan wajahnya berlumuran peluh dengan doa-doa harap segera berjumpa Lade, istrinya.
Terkadang ketika mataku hendak terlelap oleh candu malam yang kian merayuku untuk segera memeluk mimpi, wajah Lade seolah membentuk ruang tersendiri di anganku.
Ah pikiranku, kenapa harus wajahnya yang selalu terngiang di batok kepalaku yang cukup luas ini, aku meringkih seorang diri sembari telapak tanganku menepuk dahi seolah ini merupakan pikiran yang salah.
Ataukah memang aku memiliki rasa dengan Lade, ah ini benar-benar gila. Bagaimana mungkin aku harus mencintai perempuan itu. Tak tersadar ayam sudah berkokok berkali-kali, seolah hendak mengusik aku yang terlalu memikirkan Lade.
***
Pagi sekali Tio datang ke rumahku. Aku bisa melihat diwajahnya seolah tengah menyimpan seribu satu cerita.
Rikus, Tio menyapaku. Kamu tahu kalau Lade sekarang sedang keluar bersama pejabat yang pernah kamu lihat di warung itu, lanjut Tio dengan nada sedikit melemah.
Setelah aku biarkan hening beberapa detik. Apa urusan kita dengan perempuan itu, aku membantah Tio.
Aku prihatin sama suaminya, kata Tio sembari menepuk bahuku. Aku seolah langsung memahami maksud Tio dan mencoba menanggapinya hanya dengan diam.
Sembari menikmati kopi hitam yang kubuat kami lanjut bercerita. Tio terus panjang lebar menceritakan segala tentang Lade. Seolah Lade adalah tokoh entertainment atau apalah sehingga bahan tentangnya tidak pernah habis.
Tio pun bahkan seperti ibu-ibu di kampung yang hanya pandai menghujat Lade.
Selepas Tio pergi aku menjadi bingung sendiri. Apakah aku harus seperti orang-orang di kampungku yang pandai memberikan label kepada Lade sebagai “perempuan jalang”? ataukah memang dasar orang-orang kampung yang mulut ember yang hanya pandai menggosipkan orang lain.
***
Pagi-pagi benar, ketika aku hendak ke sawah, ada hal yang sangat aneh dan sungguh mengejutkan yang aku saksikan. Tio rupanya dalang semua ini, ah apakah arti semua ini? Aku mengumpat geram. Rupanya Lade adalah istri Tio. Anj**ng kau Tio.
September 2021
Identitas Penulis
Latrino lele dan sekarang masih kuliah. Seorang penikmat kopi dan biasanya saat hujan luruh isi kepalanya sibuk memikirkan kapan berjumpa denganmu.