Mbay, Vox NTT– Pada Kamis, 2 September 2021 pagi, beberapa orang dengan pakaian rapi bermotif batik tampak sibuk memasuki ruang VIP Bupati Nagekeo Yohanes Don Bosco Do.
Tampak juga pejabat utusan dari Kejaksaan Negeri Ngada, Pengadilan Negeri Ngada, anggota TNI dan Polri, serta pejabat tinggi Pemkab Nagekeo.
Di luar ruangan VIP itu, di atas sebuah deretan sofa tamu, awak media Nagekeo juga sedang menunggu.
Sesuai informasi, pada Kamis pagi itu, PT Waskita Karya akan melakukan penandatanganan kontrak kerja mega proyek pembangunan waduk Mbay/Lambo dengan pagu anggaran tahap pertama senilai Rp700 miliar.
Mega proyek pembangunan waduk Lambo memang begitu menjanjikan.
Masuk dalam program stategis nasional, nama waduk Lambo termasuk salah satu dari 7 waduk yang akan dibangun di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam perencanaannya, air genangan dari waduk Lambo disebut akan sangat bermanfaat menopang sendi perekonomian masyarakat di bidang pertanian, peternakan, pariwisata termasuk sebagai cadangan air baku dan pembangkit listrik. Demikian kata Imanuel Ndun, Asisten 1 Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Nagekeo kala menggelar diskusi bersama awak media pada Selasa, 28 September 2021 kemarin.
Acara diskusi bersama awak media ini diprakarsai oleh Pemda Nagekeo dan dihadiri oleh seluruh mitra humas Pemda Nagekeo seperti Humas Polres Nagekeo, Humas Kodim 1625 Ngada, Humas Pemda dan seluruh awak media yang bertugas di Nagekeo.
Nahasnya, dampak baik kehadiran waduk di Nagekeo tidak sejalan dengan respons masyarakat yang bermukim di seputaran wilayah calon waduk Lambo.
Mereka yang mengalami dampak langsung dalam proses pembangunan waduk hingga saat ini belum seluruhnya rela menyerahkan tanah mereka untuk dijadikan objek pembangunan waduk.
Sejak wacana pembangunan waduk Lambo mulai digaungkan kembali pada tahun 2016 silam, yang paling menonjol memberikan reaksi penolakan adalah kelompok dari forum penolakan pembangunan waduk Lambo (FPPWL) yang diketuai oleh Bernadinus Gaso.
Bernadinus dan kelompok FPPWL memang secara terbuka tegas menolak pembangunan waduk Lambo dengan dalil bahwa mega proyek itu sangat berpotensi menghilangkan tanah adat.
FPPWL kemudian menawarkan solusi bila pembangunan waduk Lambo tetap dilaksanakan yakni dengan menggeser titik nol yang semula akan dibangun di Lowo Se dipindah di lokasi alternatif di Lowo Pebhu dan atau ke Malawaka.
Namun, tawaran FPPWL itu tidak diindahkan oleh Balai Wilayah Sungai II Nusa Tenggara.
BWS II Nusra bersikeras tetap melakukan pekerjaan pendataan lokasi dan pemetaan di Lowo Se sehingga aparat keamanan dan warga penolak kerap terlibat cekcok di lapangan.
Yang tidak pernah muncul ke publik selama urusan pembangunan waduk Lambo adalah Suku Kawa dan Suku Lele.
Berada di ketinggian nyaris mendekati puncak gunung Amegelu, Suku Kawa dan Suku Lele menjadi salah satu peradaban tertua yang hingga saat ini masih konsisten menjaga ritus dan situs budaya peninggalan leluhur.
Saat VoxNtt.com meninjau lokasi perkampungan Kawa pada Kamis, 16 September 2021, pemandangan utama kampung Kawa yang paling ditonjolkan adalah bentuk perkampungan tradisional dengan type rumah joglo beratap ilalang dan berdinding kayu.
Kampung Kawa sendiri masuk dalam wilayah Desa Labolewa, di Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo.
Sementara, nama desa Labolewa itu sendiri merupakan akronim dari tiga nama Suku besar yakni Suku Labo, Suku Lele, dan Suku Kawa (Labolewa).
Peradaban tiga Suku tersebut sejak dahulu diketahui telah mendiami wilayah yang kini akan dijadikan lokus utama proyek pembangunan Waduk Lambo dengan rincian Suku Labo mendiami kampung adat Boazea, sementara Suku Kawa dan Suku Lele kini menetap bersama di kampung adat Kawa.
Sebagai pemilik ulayat adat, masyarakat Suku Kawa memang sejak awal tidak ingin berpolemik terhadap rencana pembangunan waduk.
Klemens Lae, anak dari Ketua Suku Kawa mengatakan sukunya tidak pernah menolak rencana pembangunan waduk Lambo.
Karena menurutnya, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan mau menyusahkan masyarakat, termasuk pembangunan waduk Lambo.
Saat Balai Wilayah Sungai II Nusa Tenggara mulai melakukan aktivitas di lokasi waduk, Suku Kawa memang telah diberitahukan bahwa aktivitas dari BWS itu hanya sebatas melakukan pengkajian dan pendataan saja.
Suku Kawa dijanjikan, akan dipanggil dalam presentasi jika kajian dan pendataan telah selesai dilakukan BWS.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kampung Kawa yang sebelumnya tenang dan asri berubah menjadi gaduh setelah tahu kalau mega proyek pembangunan waduk Lambo saat ini telah dilakukan penandatanganan kontrak kerja, termasuk juga telah dipasang papan informasi proyek yang dilakukan oleh Pemda Nagekeo yang diwakili oleh Oskar Sina, Camat Aesesa pada Senin 13 September 2021.
Masyarakat adat Suku Labolewa yang terlanjur kecewa kemudian melakukan aksi penyegelan Kantor Desa Labolewa pada 23 September 2021, sebagai bentuk ketidakpuasan mereka terhadap Kepala Desa, Marselinus Ladho.
Kades Marselinus Ladho juga dituduh telah melakukan mafia tanah dengan memanipulasi data kepemilikan tanah suku.
Hal itu terbukti ketika beberapa kali masyarakat adat Suku Labolewa melakukan pertemuan dengannya, sang Kades tidak pernah menuangkan hasil pertemuan tersebut dalam bentuk berita acara.
Karena tanah ulayat Suku Labolewa tidak kunjung diakomodadi dalam pendataan, ketiga suku itu kemudian melakukan aksi penyegelan Kantor Desa Labolewa pada 23 September 2021.
Aksi penyerudukan Kantor Desa Labolewa kembali dilakukan masyarakat adat ketiga suku pada 29 September 2021, hingga mereka mengeluarkan 7 poin tuntutan yang isinya:
Pertama, mendukung pembangunan waduk Mbay/Lambo sebagai program strategis nasional.
Kedua, meminta pemerintah dari tingkat desa Labolewa dan panitia pengadaan tanah pembangunan waduk harus mengakomodasi hak-hak ulayat masyarakat adat.
Ketiga, harus ada transpransi data ulayat tanah setelah ada klarifikasi dari masyarakat adat.
Keempat, hentikan aktivitas di lokasi waduk sebelum pemenuhan hak-hak ulayat masyarakat adat.
Kelima, Kapolri dan jajarannya harus memeriksa para mafia tanah pembangunan waduk jika ada indikasi penggelapan data tanah ulayat masyarakat adat Labolewa.
Keenam, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nurani masyarakat adat Labolewa terus mengadvokasi dan pendekatan hukum lebih lanjut.
Ketujuh, jika Kepala Desa Labolewa tidak mampu mengakomodasi hak-hak masyarakat adat Labolewa dalam program pengadaan tanah pembangunan waduk, maka harus mundur dari jabatannya.
Ketujuh poin tuntutan itu ditandatangani oleh sembilan orang yang mewakili masyarakat adat Labolewa.
Mereka yang membubuhkan tandatangan adalah perwakilan masyarakat adat Suku Labolewa yakni;
Hengky Kota, Wilhelmus Napa, Urbanus Papi, Vinsensius Penga, Klemens Lae, Markus Wolo, Fidelis Denga Bhaso, Wilhelmus Segi, dan Berolomeus Doi.
Hingga saat ini, kesembilan orang yang menandatangi surat pernyataan itu belum memberikan pernyataan lebih lanjut terkait aksi tersebut.
Sementara, Kepala Desa Labolewa, Marselinus Ladho ketika dikonfirmasi VoxNtt.com, Rabu (29/09/2021), menyebut aksi masyarakat adat Suku Kawa di kantor desa merupakan tindakan keliru.
“Jalur yang pas itu ya kalau SK pengadaan tanah kan SK Gubernur yang tentunya melalui BPN provinsi dengan perpanjangan tangan ke BPN Nagekeo. Ya kalau memang mau demo ya harus ke BPN Nagekeo,” kata Ladho.
Menurut Ladho, protes Suku Kawa terhadap tidak diakomodasinya wilayah Kawa dalam proses pengukuran tanah dapat dimaklumi.
Pasalnya, titik nol waduk Lambo, kata dia, memang benar berada di atas tanah ulayat masyarakat adat Suku Kawa.
Sebagai kepala wilayah, Ladho menduga, Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih menggunakan data lama dalam mengidentifikasi tanah masyarakat.
Untuk itu, Kades Ladho bersama masyarakat akan kembali membicarakan hak dan penguasaan wilayah terdampak waduk pekan depan di Kantor Desa Labolewa dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Sementara Kapolres Nagekeo AKBP Agustinus Hendrik Fai, meminta kepada seluruh masyarakat untuk memberikan pemahaman positif terkait pembangunan waduk Lambo demi kesejahteraan bersama.
“Kepada semua masyarakat nantinya kita beri pemahaman yang positif terkait pembangunan ini, semuanya bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk Kesejahteraan masyarakat sekitar. Saya minta, saya ajak kita untuk mensinkronkan potensi yang kita miliki untuk mendukung pembangunan di Nagekeo,” kata Kapolres Agustinus.
Penulis: Patrick Romeo Djawa
Editor: Ardy Abba