Labuan Bajo, Vox NTT– Tidak seperti biasanya, pada Rabu (29/09/2021) pukul 09.35 Wita, tiba-tiba halaman Kantor Kepolisian Resor Manggarai Barat (Polres Mabar) dipenuhi dengan belasan ibu rumah tangga.
Mereka berdiri sambil menangis. Sesekali tangan mereka mengusap air mata.
Suara tangisan para ibu itu pecah sampai di telinga para pengguna jalan. Para pengguna jalan yang berjalan di depan kantor Polres Mabar pun tiba-tiba berhenti menyaksikan tangisan tersebut.
Belasan ibu rumah tangga tersebut merupakan para istri dari 21 tersangka kasus dugaan menganggu ketertiban umum di Desa Golo Mori, Kacamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Tangisan Melania Mamu (52) salah satu istri dari 21 tersangka pecah, saat kakinya mulai melangkah ke depan untuk bertemu Wakapolres Mabar Kompol Eliana Papote.
Di hadapan Kompol Eliana, Melania berlutut dan memohon agar suami mereka dapat dibebaskan dari tahanan.
Tidak dapat dibendung lagi, tangisan Melania pecah saat Kompol Eliana memeluknya.
“Nia rona dami ta ibu? toe ma salah rona dami ta ibu. Rona dami ta ibu Waka, toe ma salah rona dami ta ibu. Telu wulang lau (penjara) ta ibu. Co tara toe kole rona dami, eme matas ibu nia boak? Ami kawe boa dise ibu kut sembayang lami agu anak dami! Tegi dami ibu nias rona dami?” tukas Melania dalam bahasa daerah Manggarai sambil memeluk Kompol Eliana.
(Di mana suami kami ibu, suami kami tidak bersalah ibu, suami kami di mana ibu Waka, suami kami tidak bersalah. Tiga bulan mereka berada di sana, kenapa suami kami tak kunjung pulang. Jika mereka telah meninggal, di mana kuburnya). Kami akan mencari kubur mereka ibu, supaya kami dan anak-anak kami bisa berdoa, kami minta beritahu di mana suami kami ibu).
Kehidupan Melania saat ini sungguh amat susah. Dirinya menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga saat suaminya ditahan Polres Mabar beberapa bulan lalu.
“Hidup kami susah. Tidak ada yang menafkahi kami. Suami kami di dalam penjara,” katanya.
Melania berharap, suaminya dan puluhan tersangka lainnya dapat segera dibebaskan.
Sementara itu, Wakapolres Mabar Kompol Eliana Papote menjelaskan, dirinya telah menerima pernyataan sikap dari para pendemo dan akan diteruskan ke pimpinan Kapolres Mabar, AKBP Bambang Hari Wibowo.
Terkait penyidikan kata dia, telah diserahkan kepada bagian penyidik.
Selain itu, Kasat Reskrim Polres Mabar IPTU Yoga Darma Susanto menjelaskan, pihaknya sudah menyerah berkas tahap 1 ke Kejaksaan Negeri Mabar.
“Kita masih menunggu dari Kejaksaan untuk P21-nya. Berkas sudah kita limpahkan ke Kejaksaan baru tahap 1, kita masih menunggu petunjuk dari Kejaksaan untuk P21-nya seperti apa,” kata Yoga.
Langkah Polres Mabar Dipertanyakan
Langkah Kepolisian Resort Manggarai Barat yang menangkap dan mengamankan 21 orang warga asal Manggarai dan Manggarai Barat terus menerus dipertanyakan.
Diberitakan sejumlah media, penangkapan dilakukan dalam upaya untuk mencegah dan meminimalisasi terjadinya konflik lebih luas di Golo Mori, lokasi yang kini mengalami sengketa lahan.
Dari keseluruhan warga yang ditangkap dan ditahan, tiga di antaranya adalah warga Golo Mori, Manggarai Barat.
Sedangkan 18 orang lainnya berasal dari dua desa di Kabupaten Manggarai yakni Desa Popo Kecamatan Satarmese Utara dan Desa Dimpong, Kecamatan Rahong Utara.
Dari informasi yang diperoleh VoxNtt.com, kehadiran 18 orang warga asal Manggarai di Golo Mori yakni karena ingin memenuhi permintaan dari sana. Permintaan yang dimaksud yakni tentang kerja pembersihan lahan dengan upah Rp75.000 rupiah per hari.
Pengakuan itu datang dari Adelheid Manur (48), istri dari Stanis Ngambut (49), warga asal Dimpong Kecamatan Rahong Utara yang hingga kini masih ditahan oleh Polres Mabar.
Adelheid mengisahkan bahwa maksud kedatangan suaminya ke Golo Mori karena ingin pergi kerja. Sang suami ditelepon dan ditawari kerja bersih lahan dengan upah 75.000 rupiah pada tanggal 29 Juni 2021.
Setelah mendapat persetujuan dari istri, Stanis dan beberapa orang warga kampungnya berangkat ke sana. Mereka berangkat keesokan hari tepat pada tanggal 30 Juni.
Mereka pun menginap semalam di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat. Keesokan harinya (01/07/2021), mereka berangkat menuju Golo Mori. Mereka baru mulai garap lahan pada tanggal (02/07).
Baru sehari kerja, mereka ditangkap dan diamankan aparat Polres Manggarai Barat. Mereka akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal (04/07/2021).
Informasi penangkapan dan penetapan tersangka itu sontak membuat Adelheid panik. Ia mempertanyakan maksud pihak kepolisian menangkap mereka. Apalagi, mereka hanyalah sebagai pekerja harian yang dijanjikan upah Rp75.000 per hari.
Ia mengisahkan bahwa dirinya tidak pernah tahu bahwa lokasi tersebut tengah didera konflik lahan. Yang dia tahu hanyalah informasi kerja bersih lahan seperti yang disampaikan sebelumnya.
Kesedihan terus mendera Adelheid setelah tiga bulan lebih mengalami kesulitan keuangan keluarga. Ia mengaku bahwa sejak suaminya ditahan, tidak ada lagi uang yang mengalir ke keluarga. Situasi itu membuatnya sedih dan terpukul.
“Kami ini orang susah sementara ada anak kami yang sedang di bangku kuliah. Anak saya sedang bersekolah di Makassar mengambil jurusan ilmu keperawatan. Biayanya cukup besar dan saya tidak tahu harus bagaimana sementara suami ditahan,” tutur Adelheid di Ruteng, Senin (20/09/2021).
Untuk itulah, lanjut Adelheid, pihaknya datang berdiskusi dengan Uskup Ruteng dalam tujuan untuk meminta kesediaan Uskup agar membantu menyelesaikan persoalan tersebut.
“Kami mengharapkan agar Bapak Uskup bisa menyelesaikan persoalan dengan ini dengan baik,” harapnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Merselinda Jelita (31), istri dari Isidorus Ata, warga asal Dimpong yang juga ikut ditahan.
Ia mengharapkan agar keuskupan Ruteng terlibat dalam penyelesaian kasus ini mengingat bahwa suami mereka ke sana hendak pergi kerja kebun.
Marselina juga mengaku bahwa ia telah mendengar kabar tentang Kejari Mabar yang mengembalikan berkas perkara kasus tersebut kepada pihak kepolisian.
Ia menaruh harap pada pihak kepolisian agar benar-benar melihat persoalan ini secara jelas.
“Kami juga mendapatkan informasi bahwa Jaksa menolak berkas perkara mereka, itu artinya memang suami kami tidak bersalah. Kalau misalnya punya kepentingan lain tolong jangan bawa suami kami untuk menjadi korban,” tutur Marselinda.
Sebagai informasi, berkas perkara kasus tersebut sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Manggarai Barat.
Namun, setelah Kejari Mabar melakukan penelitian selama 14 hari ditemukan bahwa berkas tersebut belum sepenuhnya lengkap.
Situasi itu mengantar Kejari Mabar untuk mengembalikan berkas perkara dimaksud ke Polres Mabar agar dilengkapi. Berkas dikembalikan pada Selasa (14/09/2021) yang lalu.
Pengacara Kritik
Edi Hardum, advokat dari Kantor Hukum Edi Hardum & Partners menilai bahwa penyelesaian kasus tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum.
Hal itu disebabkan karena konflik tersebut bukan kategori kasus pidana melainkan kasus perdata.
“Kasus ini murni kasus perdata. Kalau Kapolres Manggarai Barat pernah bertugas di Jakarta, di Jabodetabek lah, dia akan tahu setiap hari di sini kasus-kasus penguasaan lahan seperti itu dilakukan oleh orang-orang kita terutama orang NTT dan Ambon,” tuturnya pada Rabu (22/09/2021) sore.
“Orang yang menjaga lahan kosong itu tidak ditangkap oleh pihak Kepolisian karena kasus seperti itu adalah kasus perdata. Terkecuali kalau di lokasi itu sudah terjadi pembunuhan. Itu baru dikatakan kasus pidana. Kasus Golo Mori ini merupakan kasus perdata,” tambahnya.
Selain itu, Edi juga mengkritik langkah penangkapan yang dilakukan oleh Polres Mabar yang tidak mengantongi surat perintah penangkapan.
“Penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Polres Manggarai Barat bertentangan dengan hukum. Karena kalau menurut KUHAP, penangkapan dan penahanan itu harus berdasarkan bukti yang cukup. Dalam KUHAP itu minimal dua alat bukti yang cukup ya. Yang kedua, penangkapan itu harus dilengkapi dengan surat perintah penangkapan. Tetapi yang dilakukan oleh Polres Manggarai Barat itu tidak ada surat,” jelasnya.
Ia kemudian mengingatkan Polres Manggarai Barat agar tidak boleh terlibat dalam permainan untuk menggolkan kepentingan dari orang tertentu saja.
Peringatan disampaikannya karena ia menduga kuat bahwa Polres Mabar melakukan penangkapan bukan demi hukum melainkan karena terlibat dalam permainan.
“Oleh karena itu saran saya adalah segera melakukan praperadilan. Karena penahanan para tersangka ini berakhir maksimal 60 hari. Mereka ditahan mulai tanggal 2 Juli berarti itu berakhir pada 2 Oktober. Setelah tanggal 2 Oktober itu mereka harus bebas demi hukum. Oleh karena itu, sesuai dengan pasal 24 KUHAP, penahanan polisi itu hanya 20 hari tetapi bisa diperpanjang 40 hari untuk pemeriksaan,” jelasnya.
Edi lalu mengapresiasi langkah pihak Kejaksaan Negeri Manggarai Barat yang telah melakukan pengembalian berkas ke Polres Mabar untuk dilengkapi.
Selain mengapresiasi ia juga mengharapkan agar pihak kejaksaan terus menolak karena kasus tersebut adalah kasus perdata yang dipaksa menjadi kasus pidana.
“Itu karena Kejaksaan profesional dalam menyelesaikan kasus. Dia tidak diintervensi oleh pihak manapun. Harapan saya semoga pihak Kejaksaan terus menolak karena kasus ini kasus perdata yang dipaksakan menjadi kasus pidana. Kalau Kejaksaan benar-benar profesional maka tolak itu,” ujarnya.
Kapolres Mabar Diduga Terlibat dalam Sengketa Jual Beli Tanah di Golo Mori
Kepala kepolisian Resort Manggarai Barat (Kapolres Mabar) AKBP Bambang Hari Wibowo diduga terlibat dalam tindakan jual beli tanah di Golo Mori, Desa Golo Mori, Kecamatan Komodo.
Dugaan keterlibatan orang nomor satu di Polres Mabar itu disampaikan oleh Koordinator Justice, Peace and Integrity of Creation – Societas Verbi Divini (JPIC-SVD) Ruteng, Pastor Simon Suban Tukan.
Pastor Simon mengungkapkan, berdasarkan hasil asesmen lapangan, tim JPIC SVD Ruteng melihat bahwa kasus ini sulit diselesaikan karena diduga aparat Polres Mabar terlibat.
“Dugaan itu diperkuat dengan pengakuan dari penjual tanah di Rase Koe bernama Yasin bahwa ia menjual tanah tersebut ke salah satu anggota polisi di Polres Mabar,” jelas Pastor Simon, Sabtu (25/09/2021) pagi.
Menurut Pastor Simon, Yasin sama sekali tidak mengenal PT Platinum Persada dan tidak pernah berhubungan dengan perusahaan yang kini telah memasang plang di tanah Rase Koe.
Selain pengakuan tersebut, temuan lain dari tim JPIC SVD Ruteng yang memperkuat dugaan keterlibatannya, kata Pastor Simon, yakni karena melihat reaksi dari Kapolres Mabar AKBP Bambang Hari Wibowo, yang sangat reaktif dalam proses penangkapan ke-21 warga pekerja harian.
Hal itu disebabkan karena adanya bukti pengakuan pihak PT Platinum Persada yang berhasil dikantongi tim JPIC SVD. Bukti tersebut mengungkapkan bahwa terkait informasi pemasangan plang di tanah tersebut, dipersilakan untuk berhubungan dengan Kapolres Mabar.
VoxNtt.com telah berupaya mengkonfirmasi Kapolres Manggarai Barat terkait dugaan keterlibatannya seperti yang disampaikan JPIC SVD Ruteng. Namun, hingga berita ini diturunkan nomor HP Kapolres Bambang tidak aktif.
Meski begitu, sebelumnya Kapolres Bambang mengklaim bahwa langkah penangkapan dan penahanan 21 orang warga bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih luas.
“Saya jelaskan bahwa kemarin tidak terjadi bentrok namun yang dilakukan oleh Polres Manggarai Barat adalah mengamankan 21 orang yang membawa senjata tajam dan menduduki lahan yang sedang bersengketa,” ujarnya kepada VoxNtt.com melalui pesan WhatsApp-nya, Kamis (23/09/2021).
Ia mengaku bahwa memang yang menduduki wilayah tersebut adalah warga dari luar Golo Mori yakni dari Kabupaten Manggarai. Dengan demikian, kalau tidak diamankan maka berpotensi melahirkan konflik berbau SARA.
“Apalagi saat ini lokasi tersebut sedang terjadi sengketa, sehingga tidak benar kalau ada berita yang menyatakan bahwa mereka membawa parang di tanah sendiri karena statusnya lokasi ini masih sengketa,” ujarnya.
“Apabila kami tidak melakukan langkah yang cepat maka terjadi bentrok yang panjang. Itu bisa terjadi konflik SARA, perang antar kampung yang berujung lebih banyak kerusakan yang akan terjadi di sana yang akhirnya menghambat pembangunan itu sendiri,” tambahnya.
Bantah
Sementara Muhamad Yasin, tua Golo Nggoer, Desa Golo Mori pihak yang disebut memberikan informasi terkait keterlibatan Kapolres Manggarai Barat membantah pernyataan Pastor Simon.
Yasin menegaskan, pernyataan Pastor Simon di media eletronik sama sekali tidak benar dan itu merupakan fitnah.
“Saya (Muhamad Yasin) tidak pernah menjual tanah di Rasa Koe kepada Anggota Polisi ataupun kepada Kapolres Mabar,” tegasnya saat dikonfirmasi awak media, Minggu (26/09/2021).
Yasin juga menyampaikan bahwa tanah di Lingko Rasa Koe hanya dijual olehnya kepada saudara Mardin pada tahun 2018, dan tidak pernah dijual kepada pihak lain hingga saat ini.
“Terkait dengan berita yang menyebut saya menjual tanah kepada Kapolres Mabar sesuai pernyataan Pater Simon Suban Tukan, saya tidak tahu sumber informasinya dari mana, karena saya belum pernah bertemu dengan Pater Simon Suban Tukan atau menjelaskan kepada media ataupun tokoh agama siapapun terkait saya menjual tanah di Rasa Koe kepada Kapolres Mabar,” tegas Yasin.
Dia juga menegaskan, pernyataan dari Pastor Simon sangat merugikan dirinya. Sebab, akibat pernyataan tersebut dirinya dihadapkan dengan permasalahan baru yakni mempertanggungjawabkan berita yang ia nilai tidak benar.
Tidak hanya itu, Yasin juga mengaku kesal dengan adanya informasi liar yang beredar luas tanpa dibuktikan akurasinya.
“Saya berharap berita seperti ini tidak terjadi lagi, selain saya pribadi yang dirugikan juga terdapat orang-orang lain yang dirugikan seperti Nama Kapolres Mabar dibawa-bawa sebagai pembeli. Dan saya sangat setuju dengan langkah dari pihak Polres Manggarai Barat mengamankan 21 warga yang menguasai lahan karena akan besar kemungkinan terjadinya konflik sosial apabila tidak segera diamankan,” tegasnya.
Penulis: Sello Jome
Editor: Ardy Abba