Oleh: Toni Mbukut
Alumnus Pascasarjana STFK Ledalero
Setiap kali menjelang tanggal 30 September, isu tentang PKI selalu memanas. Kelompok tertentu menghembuskan isu bahwa PKI sudah kembali bangkit di tengah masyarakat dan bahkan meyusup masuk ke lembaga-lembaga vital Negara. Hal ini dianggap sebagai alaram berbahaya yang dapat merusak dasar Negara dan mengganggu keutuhan NKRI. Kelompok yang menghembuskan isu PKI ini menempatkan PKI sebagai opisisi Pancasila dan mengklaim diri mereka sebagai pelindung Pancasila dan siap membasmi PKI.
Jika ditelisik lebih dalam, sebetulnya pernyataan-pernyataan kelompok penghembus isu PKI ini menunjukkan sesuatu yang kontradiktoris. Mereka mengklaim diri sebagai pelindung Pancasila, tetapi serentak menegasikan nilai-nilai intrinsik Pancasila itu sendiri. Pancasila versi mereka hanya dapat diterima jika sekaligus ditolak. Mengapa demikian?
Pancasila adalah ideologi yang ramah dengan nilai-nilai kemanusian dan hak asasi manusia. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila, dengan jelas dan tegas mengakui eksistensi nilai-nilai kemanusiaan baik secara individu maupun secara kolektif sebagai sesuatu yang harus dihormati dan dihargai (Nurul Qamar: 2013).
Pengakuan akan eksistensi nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia itu tercermin dalam sila I “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai pengakuan atas hak untuk beragama dan berkeyakinan. Sila ke II “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai pengakuan akan eksistensi nilai-nilai kemanusiaan dan penegakan keadilan dengan cara-cara yang manusiawi. Sila ke III “Persatuan Indonesia” sebagai pengakuan atas kebersamaan dan kesatuan. Sila ke IV “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan” sebagai pengakuan atas nilai-nilai demokrasi, berkumpul untuk menegeluarkan pendapat dan pikiran. Sila ke V “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai pengakuan atas nilai-nilai keadilan yang universal.
Nilai-nilai itu berlaku bagi semua manusia bukan karena mereka merupakan bangsa atau kelompok tertentu dengan kebudayaan yang dihayatinya, bukan juga karena status sosialnya dalam masyarakat, tetapi karena satu-satunya alasan yang fundamental ini, yaitu hak asasi manusia. Sebab itu nilai-nilai Pancasila adalah milik dan kekayaan bangsa Indonesia, tidak secara eksklusif karena sekurang-kurangnya secara implisit terdapat juga pada manusia dan bangsa lain (Soerjanto Poespowardojo: 1989).
Memoria tentang pembasmian massal PKI tahun 1965 dan hasrat untuk terus membasmi PKI di masa sekarang maupun masa yang akan datang merupakan sesuatu yang pada dasarnya bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Pembantaian manusia berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila. Jangankan aktus membantai, hasrat untuk membasmi/membantai saja sudah berlawanan dengan Pancasila.
Karena itu, bagaimana mungkin kita melindungi Pancasila tetapi sekaligus dengan melawan nilai-nilai instrinsik di dalamnya? Pancasila pada dasarnya dapat terus dijaga dan dilindungi hanya dengan mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, bukan dengan menempatkannya sebagai oposisi dari ideologi lain dan mengganggap ideologi lain sebagai perongrong. Perongrong Pancasila adalah berbagai bentuk tindakan anarkis, ototriter dan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Dengan demikian, kelompok yang mengklaim diri sebagai pelindung Pancasila dengan mengangkat kembali memoria pembantaian massal PKI tahun 1965 dan menunjukkan hasrat untuk membasmi PKI serta menganggap kedua tindakan itu sebagai sesuatu yang benar adalah kelompok yang sebenarnya bertentangan dengan Pancasila itu sendiri (baca: anti Pancasila).