Oleh: Aprianus Defal Deriano Bagung
Hari-hari ini, praktik hidup kaum muda tak luput dari sorotan berbagai pihak. Hampir pasti, semua pihak memberi respons atau semacam umpan balik terhadap praktik hidup kaum muda.
Mirisnya, respons yang diberikan oleh pihak-pihak tersebut dominan merupakan respons negatif.
Respons negatif yang diberikan oleh berbagai pihak lahir semata-mata karena praktik hidup kaum muda yang telah berada pada jalur lain dari yang diharapkan.
Banyak kaum muda yang telah berjalan pada koridor tersendiri dan menunjukkan praktik hidup yang sungguh memprihatinkan.
Problem Kaum Muda
Pada galibnya, kaum muda merupakan aset negara yang berpotensi membawa perubahan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kaum muda adalah agen-agen perubahan (agent of change) yang bertanggung jawab untuk membawa negara ke arah yang lebih baik.
Untuk konteks Indonesia, peran kaum muda telah terbukti secara historis melalui peristiwa Sumpah Pemuda dan Peristiwa 1998.
Dalam dua peristiwa bersejarah tersebut, kaum muda merupakan aktor utama yang membawa bangsa kearah yang lebih baik. Keberhasilan kaum muda dalam kedua peristiwa tersebut patut diapresiasi.
Namun demikian, praktik hidup kaum muda kontemporer memunculkan sebuah ironi. Kaum muda bukan lagi agent of change yang membawa negara ke arah perubahan yang baik melainkan menjadi sumber keresahan sekaligus pemeran dari berbagai problem sosial tertentu.
Praktik hidup kaum muda yang sungguh memprihatinkan menjadi landasan utama yang melatarbelakangi pernyataan tersebut.
Sungguh tak dapat dimungkiri, tak sedikit pemuda saat ini memberi diri untuk melakoni aksi-aksi yang justru menimbulkan keadaan chaos yang berujung pada disintegrasi sosial.
Selain itu, ada banyak kaum muda yang kurang menyadari bahwa dirinya telah terjerambab dalam hal-hal yang sama sekali tidak diharapkan oleh masyarakat umumnya.
Salah satu bahaya yang tengah membayang-bayangi kaum muda ialah mengganasnya aksi pasukan siber yang beraktivitas di Indonesia.
Hingga Januari 2021, pasukan siber telah berhasil masuk dan beraktivitas di 81 negara, termasuk Indonesia (berdasarkan data yang dirilis oleh Oxford Internet Institute, Kompas, 19 Januari 2021).
Pasukkan siber adalah pemicu terjadinya berbagai cyber crime. Aksi pasukkan siber tergolong canggih dan cenderung tidak kentara. Masyarakat_khususnya kaum muda_yang tidak memiliki pengetahuan dan daya pikir kritis-analitis yang mapan akan kesulitan membedakan informasi asli dan informasi yang telah dimanipulasi oleh pasukan siber.
Sungguh disayangkan, ada sekian banyak kaum muda yang menjadi korban fake news atau korban penyebaran berita palsu.
Tak hanya itu, adapun problem lain yang tengah terjadi dalam realitas hidup kaum muda kita yakni kekerasan seksual berbasis digital.
Platform-platform digital dimanfaatkan sebagai sarana untuk melakukan aksi kekerasan seksual dan korban yang adalah sesama pemuda dijadikan sebagai komoditas penghasil duit.
Padahal intensi utama penciptaan teknologi bukanlah demikian. Problem semacam itu lebih merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan (unintended consequence) dari penciptaan serta kemajuan teknologi.
Korban kekerasan seksual berbasis digital selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Adapun jenis-jenis kasus kekerasan seksual yang dimaksudkan meliputi perundungan seksual lewat media sosial (online grooming), pemalsuan identitas (impersonating), menguntit, mengancam, melecehkan (cyber stalking), perundungan seksual lewat pesan (sexting), peretasan (hacking), fitnah lewat media sosial (online defamation), ancaman penyebaran video atau foto pribadi (malicious distribution), pengambilan gambar hubungan intim tanpa persetujuan (nonconsensual intimate image), dan perundungan internet (cyber harassment).
Pelaku didominasi oleh para pria dengan prsentasi 61% dilakukan oleh pacar atau suami dan 39% dilakukan oleh pihak lainnya (selain pacar atau suami).
Para pelaku akan melakukan berbagai modus pendekatan demi menjebak korban (Tempo, 1 Mei-6 Juni 2021).
Trauma yang dalam akan dialami oleh para korban dari berbagai jenis kasus kekerasan seksual berbasis digital.
Banyak korban yang harus melewati terapi selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun untuk dapat sembuh dari trauma.
Problem lain yang tak kalah mengkhawatirkan ialah isu radikalisme. Dr. A. Bagus Laksana dalam Basis menyebutkan bahwa saat ini ada begitu banyak pemuda (sevitas akademika) yang terpapar radikalisme. Tak sedikit pula dosen yang ikut terpapar.
Paham radikalisme kian mengkhawatirkan terutama karena lebih dari setengah kaum muda kita rentan terpapar. Survei terbaru yang dilakukan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terrorisme) menemukan bahwa 85 persen kaum muda kita rentan terpapar radikalisme yang saat ini justru banyak tersebar melalui platform media sosial (cnnindonesia.com, 15 Juni 2021).
Platform media sosial menjadi semacam corong besar yang menjadi jalan utama bagi masuknya paham-paham pemecah persatuan, semisal paham radikalisme.
Kaum muda yang terpapar radikalisme berpotensi menjadi aktor yang memerankan aksi-aksi radikal yang sangat boleh jadi menyebabkan kekacauan dalam atmosfer kehidupan bersama.
Langkah Solutif
Sebagai jalan keluar dari berbagai problem tersebut, peningkatan literasi menjadi hal yang perlu dan penting untuk dijadikan sebagai agenda kolektif.
Peningkatan literasi_khususnya literasi digital dan literasi baca-tulis_pada gilirannya akan mampu membentuk masyarakat_dalam hal ini adalah kaum muda_dengan daya pikir kritis analitis yang mapan.
Bila dibandingkan dengan masyarakat negara tetangga, tingkat literasi baca-tulis masyarakat Indonesia masih jauh dibelakang. Singapura misalnya, tercatat sebagai negara tertinggi di dunia dalam performa membaca. Sementara itu negara Indonesia berada pada urutan ke-44, kalah satu poin dari negara Peru.
Pada tingkat literasi bertajuk “Worlds Most Literate Nations” menurut catatan Central Connecticut State University (CSSU) Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia menang satu poin dari Botswana yang berada pada urutan ke 61.
Sungguh menjadi kondisi yang tak dapat dielakkan, tingkat literasi baca-tulis masyarakat kita memang rendah. Tak heran bila manusia Indonesia menjadi sasaran empuk penyebaran fake news atau berita palsu.
Dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise atau “Matinya Kepakaran,” Tom Nichols_seorang pakar berkebangsaan Amerika_memaparkan bahwa sekarang kita sedang berada pada era jurnalisme gaya baru yang lebih canggih.
Untuk dapat hidup di era jurnalisme gaya baru dengan ketersediaan sumber informasi yang melimpah ruah, Tom Nichols menggarisbawahi empat poin yang baginya mampu menjadi semacam tameng penangkal berbagai macam berita palsu.
Dua dari keempat poin tersebut diantaranya ialah masyarakat mesti lebih selektif dan harus bervariasi dalam mencari sumber berita. Pertama, bersikap lebih selektif. Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat oknum-oknum dan intrik-intrik tertentu yang sangat fanatik. Persisnya, oknum dan intrik seperti inilah yang berpotensi menjadi penyebar fake news demi tercapainya tujuan tertentu.
Kedua, lebih bervariasi dalam mencari sumber berita. Konsumen berita yang baik tentu tak ingin dirinya mengonsumsi berita-berita yang salah atau tidak akurat. Oleh karena itu, diperlukan banyak varian sumber sebelum akhirnya mempercayai suatu berita.
Dengan sumber yang lebih bervariasi, konsumen berita dapat dengan mudah melakukan perbandingan-perbandingan tertentu sebelum akhirnya mempercayai kebenaran suatu berita. Lebih jauh, tindakan yang demikian menjadi salah satu contoh upaya valsivikasi dan verifikasi berita.
Biodata Penulis
Penulis bernama lengkap Aprianus Defal Deriano Bagung ini adalah seorang pelajar yang sangat menggemari dunia baca tulis. Apri Bagung (demikian sapaan akrabnya), lahir pada 03 April 2004. Beliau aktif menulis di berbagai media online lokal.
Essainya yang berjudul Bunuh Diri dan Solusi Permasalahan dan Tantangan Persatuan Indonesia di Era Millenial telah dimuat di media Ngkiong.com. Selain Ngkiong.com, adapun media lain yang memuat tulisannya yakni Voxntt (essai berjudul “Fanatisme Agama dalam Realitas Kebhinnekaan Manusia Indonesia”) dan Nataslabar.com (antologi puisi “Kemeja Kenangan” serta cerpen berjudul “Senandung Pemakaman”). Selain menulis, beliau juga gemar membaca.
Pendidikan menengah pertamanya diselesaikan di lembaga pendidikan calon imam SMP Seminari Pius XII Kisol. Pada Mei lalu, beliau mengajukan surat pengunduran diri secara resmi ke lembaga pendidikan calon imam SMAS Seminari Pius XII Kisol. Sekarang beliau melanjutkan pendidikannya di SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng.