*Cerpen
Oleh: Lilin
Ini kisah tengah malam jelang pagi, malam yang berbalut kabut. Kukira awalnya malam itu menyenangkan, bertabur bintang. Sesekali tampak bercahaya dari mata kecil mengintip di celah genteng kaca beberapa tahun silam.
Begitulah pemikiran yang terus hidup di kepalaku, perihal malam di dunia ini, tetapi semua itu tidak benar. Malam itu begitu berkabut.
Bintang mulai sedikit lelah, setelah semalaman menerangi alam. Sesaat lagi cahayanya memudar berganti bintang fajar.
Kupikir ia akan menjemput seperti malam-malam yang sebelumnya. Seuntai nada notifikasi handphoneku berbunyi mengirimkan pesan singkat, “selamat malam gemintang.”
Lalu dengan tersenyum kutitipkan harap, bahwa kedatangannya masih lebih bersinar di ubun-ubun daripada ribuan bintang seperti yang dikatakannya.
“Maaf, bisakah kau segera menjemputku. Dingin terlalu lama tidaklah baik untuk cinta kita.”
Tak lama kau pun menjawab, “maaf kekasihku, lelah lebih duluan memenjarakan setiap kehendak. Hingga hanya menyisakan satu rindu yang lebih baik kupersembahkan esok hari saja.”
Ternyata malam ini setan kesendirian bergigi tajam akan menghabisiku. Dengan segala kebekuannya. Sungguh tiba-tiba saja aku ingin membuang anggapan tentang malam dengan segala keindahannya. Yang semestinya sudah kulakukan dari dulu.
Tak segera kukirimkan balasan dari pesannya. Aku sengaja, karena memang sudah tidak ada artinya lagi bagiku. Kata maaf saja tidak cukup mengantarkanku pulang melewati beberapa kilo perjalanan sampai tubuh setengah tua dan lelah ini menghilang di balik selimut.
Sesaat ia bisa membuatku melayang hingga terbang ke langit, tak siang atau malam hari. Lalu sekarang? Katakan jika harus ada perbedaan siang dan malam, apakah perasaan itu harus juga ada pembedanya.
Gemintang semakin kedinginan, pucat mengikis cahayanya sebelum fajar benar-benar hadir untuk mengucapkan salam
Aku melanjutkan perjalanan sendirian. Menitipkan harap pada malam dan binatang-binatang yang berkeliaran di jalanan, sesekali bersahabatlah denganku. Ketika sendiri tidak lagi memberi keamanan. “Semoga tidak ada orang gila atau orang yang kehilangan kewarasan di masa perjalananku ini,” pikirku.
Perjalananku mendekati persimpangan yang semakin berkabut. Jalanan beraspal telah beberapa waktu kulalui, dengan sepatu bersol tipis karena di makan waktu, sungguh membuatku kesulitan ketika kaki-kaki lelah menginjak kerikil di antara besi rel kereta. Sepintas semua begitu biasa-biasa saja. Hanya kabut kian menebal dan kesunyian menjadi-jadi. Sampai satu bayangan menabrakku hingga terjengkal mundur ke belakang.
***
Aku sengaja mencari tempat tinggal yang berada jauh di pinggiran kota. Jauh dari suara-suara bisik kata-kata. Menghindari tatapan mata jahat orang-orang yang memiliki kehormatan dan berpendidikan tinggi. Di mana strata sosial mereka lebih bertingkat-tingkat di atasku. Tetapi tak kusangka semuanya begitu sunyi dan berkabut.
Lasmi adalah namaku, wanita yang anggun dan seorang perempuan yang sangat menikmati hidupnya. Dengan segala keteraturan yang diperolehnya semenjak kuliah. Karena keteraturan hidup itulah yang membuatnya berada di sini, di dunia malam yang berkabut.
“Mungkin dengan mengikuti berbagai pelatihan kerja bisa membuka lebar kesempatanku untuk memperoleh pekerjaan,” kataku kepada Minah.
“Aku tahu Las, tapi apakah kamu tahu pelatihan seperti apa yang akan mereka berikan,” teriak Minah ketika langkahku semakin tidak memperdulikan larangannya, dan terus memasuki pintu kantor pelatihan kerja serta berbaur dengan calon-calon pekerja lainnya.
***
Udara siang itu terasa pengap menyumbat langit yang awalnya putih bersih. Tiba-tiba menjadi mendung, tatkala sebuah berita di koran memberitakan penutupan sebuah pelatihan kerja karena tersangkut kasus prostitusi online.
Tidak hanya mendung tetapi badai tiba-tiba meluluhlantakkan kehidupanku hingga nyaris tak berbentuk tatkala nama dan foto-fotoku terpampang di media massa sebagai korban. Beberapa kali panggilan dari yang berwajib membuatku benar-benar kehilangan wajah. Teman-teman, keluarga, dan Hans satu-satunya orang yang harusnya mempercayaiku justru malah bergeming. Tatapan penuh selidik, dan ribuan pertanyaan selalu menghiasi kepala mereka. Apakah aku bagian mereka? Apakah benar korban? Atau ….
Aku mendengus keras, lalu mau bagaimana lagi? Percuma memakai ribuan botol parfum guna melumuri tubuh jika aroma prasangka cukup pekat mengelilingi raga yang dipenuhi ketololan ini.
Rindu rasanya bisa bernapas lega, melenggang kemana saja, dan mendengar teriakan Minah yang terasa begitu memekakan kepalaku. Meskipun dia berusaha memperingatkan, tak satupun bisa menghentikan kerasnya kepalaku. Yang pada akhirnya meledak dengan sendirinya.
***
Kulihat surya mulai menunjukkan diri. Malam dengan kabutnya telah tersingkap. Tanpa sadar, cukup lama aku tenggelam dalam lamunan. Jauh di sebelah timur matahari dengan semburat merah telah mulai menjalankan tugasnya.
Kembali kubuka perlahan pintu kamar kost berukuran 3×3 meter yang kusewa dengan biaya empat ratus ribu setiap bulannya. Menjadi akhir sebuah perjalanan pulang. Kata orang malam jelang fajar terkenal begitu indah, tetapi entah mengapa tak kutangkap dengan kedua mataku. Mungkin juga aku tidak percaya jika saja ada yang menceritakannya kepadaku.
Malam jelang senja hanyalah sebuah perjalanan yang secepatnya harus kutinggalkan, seperti masa lalu yang sekalipun tak pernah kutuliskan di kertas-kertas kesunyian, tetapi harus kubakar habis.
Kini fajar di hadapanku hanyalah sebuah kenyataan dari sisa sepotong waktu yang diberikan Tuhan untukku. Waktu yang harus kugunakan untuk menikmati hidup, meski tidak senyaman dulu. Sekumpulan awan-awan putih yang memayungi kereta dengan rangkaian gerbong panjang bermuatan barang menjadi pemandangan real kehidupanku sekarang.
Lintang di langit malam telah benar hilang, Seperti hilangnya notifikasi darinya dan aku tidak suka. Entahlah bagaimana aku masih menitipkan harap pada Hans, lelaki yang menitipkan prasangka dalam setiap tatapan matanya. Meskipun saat ini hanya asap dan debu solar mesin pencetak ember plastik yang menjilati tubuhku sepanjang malam hingga nyaris fajar. Toh tetap saja sama-sama debu.
Kau perlahan memudar dan pergi seperti mimpi-mimpi masa depan yang gemilang. Seperti malam dengan ribuan bintang yang kuintip dari genteng kaca hilang menjelang pagi. Namun sudahlah tak apa, aku hanya perlu membiasakan diri saat kehilangan keindahan malam.
***
“Berani memiliki harusnya berani pula melepaskan,” begitu kata Minah suatu siang tatkala kuceritakan perubahan yang kurasakan atas diri Hans kekasihku.
Andai saja kata-kata sederhana itu segampang pelaksanaanya mungkin sudah dari dahulu malam kembali kunikmati di setiap perjalanan pulang ke tempat kost. Namun nyatanya menjadi sederhana itu juga bukan hal yang mudah.
Andai saja kabut di perjalanan pulang itu mudah menghilang. Aku mungkin bisa berkata, arunika itu memang benar-benar indah. Tatkala kulihat Minah menggamit mesra lengan Hans di taman kota senja ini. “Ah, asmara ….”
Surabaya, 18 Oktober 2021
Bionarasi Penulis
Lilin adalah nama pena dari ibu rumah tangga 37 tahun kelahiran Kota Surabaya. Dia pengagum sunyi dan sendiri. Menulis merupakan ekspresi meluangkan segala perasaan. Puisinya bisa dinikmati dalam antologi bersama pemuisi Jatim, puisi dua larik ‘Kalam 16 Seroja’, ‘Sepotong Sajak di Tepian Senja’ bersama grup literasi SASTRA PUJANGGA INDONESIA. Serta karya Solo noveletnya “Jejak Yang Tertinggal” sedang dalam proses cetak. Dan masih banyak antologi-antologi yang saat ini sedang dipersiapkannya. Karya-karyanya sudah tersebar di beberapa media online saat ini.
Jejaknya bisa dilacak di akun instagram Farren_farrenz atau farrenmey. Bisa juga kepoin akun facebooknya Lilin (Mey Farren).