Oleh: Kristian Frederiko Tepong
(Siswa kelas XII SMAK Seminari Pius Kisol)
Akhir-akhir ini, bonus demografi menjadi isu fundamental yang acapkali menyita perhatian banyak pihak. Banyak orang yakin, bahwa ekses positif dari bonus demografi dapat membawa angin segar demi terciptanya kesejahteraan pada suatu bangsa.
Hal ini cukup beralasan, sebab melihat sasaran bonus demografi yang mengarah pada perkembangan generasi produktif. Serentak membuka jendela berpikir masyarakat akan situasi yang adekuat lagi ideal.
Untuk konteks Indonesia, bonus demografi turut menjadi topik seksi yang kerap diperbincangkan oleh para elite politik.
Dilansir dari Kompas, Rabu, 28 Oktober 2020 tercatat, Indonesia menjadi salah satu dari 12 negara yang pada tahun ini memfokuskan perhatian pada dampak pandemi virus corona sekaligus pada situasi bonus demografi.
Menyelisik fakta tersebut, hemat penulis bonus demografi menjadi situasi yang amat urgen. Yang pada tarafnya dapat mendatangkan kemaslahatan bersama sekaligus mendulang keuntungan bagi negara ini.
Berhadapan dengan situasi bonus demografi ini, perlu ada stimulus dan wadah agar dapat mengakomodasi segala hal berkaitan dengan dampak situasi ini.
Maka, sehubungan dengan hal itu kontribusi pemerintah yang dalam hal ini memegang ahli kekuasaan dan demokrasi yang mewadahi segenap aspirasi masyarakat real dibutuhkan.
Kuasa menjadi hal mutlak yang dibutuhkan agar perkembangan generasi milenial bukan hanya sekadar menjadi lanscape yang diminati semata, melainkan menjadi suatu ajang pembaharuan di negeri ini.
Dan itu semua mesti terwujud dalam langgam demokrasi yang seyogyanya menjadi jembatan sebagai aspirasi masyarakat menuju suatu penciptaan negara yang sejahtera.
Namun terhadap tututan tersebut, kita menemukan kenyataan bahwa bonus demografi menjadi semacam bumerang baru bagi negeri ini. Berdasarkan data dari Kementrian Koodinator Perekonomian mencatat sebanyak 5,09 juta orang menjadi pengangguran dan rata-rata hal ini terjadi pada generasi milenial.
Hal ini sangat jelas menunjukan lemahnya kontribusi pemerintah terhadap kebutuhan rakyat. Pemerintah hanya seolah menjadi simbol yang bekerja untuk memenuhi hasrat pribadi.
Kesejahteraan yang selama ini didambakan rakyat memang masih jauh dari panggang api.
Selain itu, demokrasi yang menjadi aspirasi rakyat turut dipolitisasi demi keuntungan pribadi. Bonus demografi seakan menjadi guyonan baru bagi para elite pemeritahan yang tertawa di atas penderitaan rakyat.
Kepastisan pemerintah dalam menanggapi situasi ini menjadi semacam cambuk yang melukai esensi dari bonus demografi itu sendiri.
Persoalan ini semakin kompleks khususnya di era milenial ketika generasi milenial yang menjadi subyek sekaligus obyek bonus demografi itu sendiri turut terjerembab dalam permainan kuasa pemerintah.
Pemikiran progresif kaum milenial tidak didukung oleh kontribusi pemeritah akibatnya generasi milenial justru digiring menuju suatu jurang kehancuran yang dalam.
Karena itu melalui tulisan ini penulis akan menyuguhkan model kuasa dan demokrasi yang semestinya hadir di negara ini melalui bentuk partisipasi kaum muda.
Agar situasi bonus demografi bukan menjadi suatu masalah baru melainkan keuntungan tersendiri bagi negara ini.
Demokrasi yang Memerdekakan Kuasa: Tantangan Terhadap Bonus Demografi
Pada dasarnya demokrasi diyakini sebagai suatu sistem yang paling ideal. Hal ini lantaran sistem ini senantiasa menempatkan rakyat pada posisi yang paling atas. Di mana sistem demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.
Sehingga, dapat dikatakan demokrasi menjadi fasilitator bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Namun, keleluasaan demokrasi kerapkali menjadi sarana yang empuk bagi kebrutalan suatu kuasa yang terwujud dalam bentuk kekuasaan pemerintah.
Demokrasi kerap menyediakan celah agar terciptanya suatu hubungan korelasi yang menguntungkan antara pengusaha dan pemerintah. Demokrasi yang semacam inilah yang dapat berpotensi mendiamkan sebuah ketidakadilan atau demokrasi yang terpenjara dalam relasi timbal-balik yang memencilkan rakyat (Max Regus, 2011:12).
Hemat penulis, model demokrasi inilah yang menghadirkan suatu problem baru. Problem yang hadir dalam wujud sebuah tantangan terhadap rakyat sekaligus terhadap situasi bonus demografi. Di mana, suatu hal yang menjadi fokus penciptaan situasi bonus demografi yang unggul direnggut oleh model demokrasi yang runyam.
Ambil misal, kebutuhan akan lapangan kerja. Lapangan kerja menjadi suatu hal yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan bonus demografi. Namun, demokrasi seolah buta dengan hal ini.
Model demokrasi yang memerdekakan kuasa, di mana pemerintah sejatinya mengabdi pada korporasi. Membuat kebutuhan akan lapangan kerja menjadi buram. Korporasi senantiasa memanfaatkan model demokrasi yang runyam untuk mengambil sesuatu yang mestinya menjadi kepentingan masyarakat.
Sebagaimana yang terlampir dalam kompas 28 Agustus 2020, menyatakan bahwa jumlah penganggur di Indonesia pada Agustus 2020 mencapai 9,77 juta orang. Jumlah ini meningkat dibanding dengan Agustus 2019.
Fakta ini dengan jelas menunjukan bahwa situasi bonus demografi kini menghadapi sebuah tantangan yang besar. Ekses negatif dalam kecurangan demokrasilah yang senantiasa menciptakan tantangan tersendiri bagi situasi bonus demografi.
Generasi Progresif Pemuda: Menjawabi Bonus Demografi dan Tantangannya
Di tengah tantangan yang dihadapi oleh situasi bonus demografi. Kita tentunya mengharapkan suatu terobosan baru dari generasi pemuda. Generasi pemuda yang menjadi subyek maupun obyek dari bonus demografi itu sendiri.
Semestinya harus hadir dalam mendukung situasi ini bukan malah turut terjerembab dalam permainan kuasa pemerintah. Mengutip kata-kata dari seorang sastrawan terkenal Pramoedya Ananta Toer, “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa.”
Kata- kata ini hemat penulis menjadi pijakan tersendiri bagi perwujudan gerakan pemuda dalam mengentas model demokrasi serta praktek kuasa yang runyam. Sebagaimana dalam Kompas, Rabu, 28 Oktober 2020, gerakan pemuda melakukan unjuk rasa di kantor Gubernur Jatim untuk menolak RUU Cipta Kerja.
Fakta ini sungguh menujukan bahwa gerakan pemuda merupakan generasi yang peduli terhadap kebijakan sosial politik. Adapun kekhasan pemuda yang hemat penulis menjadi hal yang cocok untuk mengeritik kebijakan pemerintah ialah pertama,generasi milenial menjadi generasi yang mempunyai pikiran progresif lagi kreatif.
Melihat fakta yang terjadi di lapangan. Hal yang melatarbelakangi gerakan pemuda melakukan unjuk rasa ialah, adanya kesadaran akan kebijakan pemerintah yang salah.
Di sinilah terlihat jelas bahwa generasi milenial menjadi subyek yang cocok dalam merongrong model demokrasi yang hancur. Situasi bonus demografi yang sekiranya dapat mendulang keuntungan bagi negri ini dapat diupayakan melalui gerakan progresif pemuda.
Bonus demografi yang terjadi di tengah model demokrasi yang hancur. Agak kurangnya merupakan suatu hal yang dapat terobati. Kehadiran pemuda sebagai subyek dan obyek situasi bonus demografi itu menjadi tonggak awal dalam melawan model demokrasi serta praktik kuasa yang hancur.
Pemikiran progresif serta daya kritis yang tinggi menjadikan gerakan pemuda sebagai subyek yang dapat memperkecil setiap penyelewengan dalam suatu negara. Pada akhirnya bonus demografi yang menghadirkan generasi-generasi produktif akan menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi negara ini.