Oleh: Ardy Abba
Oretan ini terinspirasi dari harapan Kepala Kejaksaan Negeri Timor Tengah Utara (TTU) Robert Jimmy Lambila. Diberitakan VoxNtt.com sebelumnya, Kajari Robert meminta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk berperan aktif dalam seluruh pembangunan di desa.
Permintaan Kajari Robert bukan tanpa alasan. Bayangkan, di bawah kepemimpinannya, Kejari TTU sudah berhasil mengungkap 6 kasus dugaan korupsi dana desa, dalam kurun waktu 8 bulan terakhir pada tahun 2021 ini.
Persoalan korupsi dana desa sebenarnya tidak hanya terjadi di TTU. Di sejumlah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pun kasus dugaan korupsi dana desa sudah menjamur bak virus mematikan.
Berdasarkan data yang ada pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Kupang, sejak Maret 2016 hingga Maret 2019 tercatat ada 22 kepala desa yang telah divonis/diputus bersalah dalam kasus korupsi dana desa dan ADD.
Masih dalam data tersebut, 4 kades lainnya masih berstatus terdakwa karena masih menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor pada PN Kupang.
Ditambah lagi dengan 6 kades di 6 kabupaten yang masih berstatus tersangka, maka totalnya ada 32 kades di NTT yang berada dalam pusaran korupsi dana desa dan ADD. (ntt.bpk.go.id).
Sejak dana desa digulirkan pertama kali tahun 2015 hingga kini, pundi-pundi korupsi sudah mulai bertumbuh subur di desa-desa.
Korupsi dana desa sebenarnya tidak hanya terjadi di NTT. Dalam skala nasional pun tindakan penyelewengan dana desa dan ADD marak terjadi.
Dilansir Kompas. com, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak tahun 2015 hingga 2020, sedikitnya ada 676 terdakwa korupsi dari perangkat desa. ICW juga mencatat dalam periode tersebut, akibat tindakan korupsi yang dilakukan aparat desa, negara mengalami kerugian sebesar Rp111 miliar.
Data ini sungguh sebuah ironi. Nah, pertanyaan adalah, mengapa kasus korupsi dana desa masih saja terjadi, meski aparat penegak hukum kian garang? Mengapa pula calon koruptor terus bertumbuh subur di negeri ini?
Bukankah para pejabat sudah berjanji untuk senantiasa akan menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan pegawai negeri? Dalam sumpah jabatannya pula, para pejabat di desa yang terlibat dalam pusaran korupsi sudah berjanji akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan negara. Lantas mengapa korupsi masih saja terjadi?
Dalam oretan sebelumnya, saya menggambarkan korupsi bak tumor ganas yang bisa saja mematikan seluruh sendi-sendi kehidupan. Tumor ganas akan tetap survive jika lingkungannya selalu mendukung dan memberi asupan, atau lingkungan yang apatis.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Ketua Transparency International Delia Ferreira. Ia mengatakan, “People’s indifference is the best breeding ground for corruption to grow”. (Ketidakpedulian masyarakat adalah tempat berkembang biak terbaik bagi tumbuhnya korupsi). Saya pun setuju dengan Delia Ferreira.
Jika masyarakat apatis untuk mengawal seluruh pembangunan di desa termasuk beragam modus korupsinya, maka salah satu pihak yang diharapkan adalah BPD. Jika pandangan nya begitu, maka permintaan Kajari Robert di atas wajib didukung. Kita harus sepakat untuk menyerukan, BPD jangan hanya makan gaji buta.
Sebab kita tahu bersama bahwa salah tugas BPD adalah melaksanakan pengawasan terhadap kinerja kepala desa. Perintah ini tercantum dalam Pasal 32, poin 10, Permendagri Nomor 110 Tahun 2016.
Apalagi anggota BPD ialah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Posisinya tentu saja strategis dalam pembangunan di desa.
BPD tentu saja punya hak untuk menyampaikan usul dan/atau pendapat, serta mengajukan pertanyaaan. Hak ini jelas sudah diatur dalam poin 2 dan 3, Pasal 55 ayat (1) Permendagri Nomor 110 Tahun 2016.
Lantas mengapa BPD jarang menjalankan fungsinya (walaupun tidak semua) dengan baik? Bukankah mereka sudah digaji oleh negara untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam pembangunan di desa?
Semestinya BPD harus berada di garda terdepan untuk mengawasi jalannya pembangunan di desa, sebab dia adalah wakil rakyat di desa. Instrumen yang digunakan dalam pengawasan tentu saja segala peraturan perundang-undangan terkait.
Jika BPD tidak menjalankan fungsi tersebut, maka tidak adalah salahnya kita menduga bahwa, pertama, Dia tidak mengerti fungsi dan perannya, kedua, Dia ikut terlibat dalam berbagai pusaran korupsi di desa.