Borong, Vox NTT-Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (NTT) Jakarta menggelar diskusi bertajuk ‘Meneropong Polemik di NTT, Investasi dan Konflik Agraria, Rakyat Bisa Apa?’, Kamis (04/11/2021).
Diskusi ini digelar dalam rangka musyawarah besar (Mubes) pertama SP NTT.
Ketua Panitia Trian Walem mengatakan, selain bagian dari agenda Mubes, diskusi itu juga sebagai bentuk merespons problem investasi yang hadir di NTT saat ini.
“Investasi dan konflik agraria adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan ketika melirik sejumlah persolan mengenai agraria dan arah investasi yang masif mendominasi pada usaha ekstraktif yang di mana eksploitasi sumber daya alam jadi sasaran utama,” kata Trian.
Trian menegaskan, investasi kerap tidak melibatkan peran rakyat hingga munculnya berbagai masalah di tengah masyarakat karena aktivitas investasi atau investor.
“Hal itu dikarenakan banyak investasi dan segala bentuk aktivitasnya hanya berorientasi pada sisi profits atau menggali keuntungan tanpa memikirkan pembangunan berkelanjutan. Investasi
yang tak terkontrol dengan baik
hanya kemudian memunculkan masalah dan melahirkan dampak kehancuran tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di segala aspek kehidupan,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris panitia Saverius Jena menyinggung soal amanat Undang-undang Dasar (UUD) 1945 tentang Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara demi kemakmuran rakyat belum terwujud.
“Yang ada hanyalah ekploitasi sepihak dan privatisasi dalam pengelolaannya. Reforma
Agraria tak kunjung dijalankan dan dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat justru dihadapkan dengan ancaman dan tekanan karena konflik Agraria. Ancaman investasi yang berpotensi akan meminggirkan hak-hak masyarakat menguasai tanah dan praktik-praktik kongkalikong lainnya,” ujarnya.
Save menjelaskan, gejolak investasi yang masuk di Indonesia secara masif juga kerap kali meminggirkan masyarakat lokal.
Akibatnya, investasi malah menjadi sumber konflik yang mengganggu stabilitas politik dan pemicu konflik.
“Hal ini lantaran investasi hanya berbasiskan pada penguasaan modal. Investasi seperti ini akan menyebabkan penumpukan aset dan kekayaan kepada segelintir pelaku ekonomi. Dengan begitu, investasi menjadi sumber biang kerok terjadinya disparitas pendapatan,”
tegasnya.
Sementara di sisi lain, kata Save, masih banyak sektor strategis butuh sentuhan untuk diberdayakan seperti sektor pertanian, perternakan, perikanan, kerajinan tangan, parawisata.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi NTT Marsianus Jawa mengatakan, sampai pada triwulan III, realisasi investasi NTT capai 3,6 triliun dari target nasional 7,2 triliun.
“Sampai pada triwulan III ini, kita baru mencapai 3,6 triliun dari target 7,2 target nasional. Target yang diberikan Kementerian investasi kepada NTT 7,3. Hari ini kita baru sampe 3,2 triliun,” kata Marsianus.
Selain itu, kata Marsel, incremental capital-output ratio (ICOR) NTT untuk tahun 2020 belum ada lantaran pertumbuhan ekonomi NTT mengalami minus. Adapun data yang dihitung yakni tahun 2018.
“Untuk 2020 belum kita dapat karena pertumbuhan ekonomi kita minus sehingga kita tidak bisa hitung itu. Yang kita bisa hitung 2018, kita masih sampai pada angka 9,6, nasional 6,” ujarnya.
Hal itu, kata dia, karena para investor mengalami kesulitan di bidang perizinan.
Menurutnya, investasi di NTT tidak efektif lantaran perizinan yang berbelit-belit.
“Keluhan itu masih ada sampai hari ini karena dalam suatu investasi proses izin itu ada kewenangan bupati, gubernur, dan pusat. Sehingga masih ada kesulitan,” ucapnya.
“Kami mencoba untuk memberikan pelayanan secara baik kepada semua investor yang berinvestasi di NTT,” sambung Marsianus.
Sementara itu, Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan dalam catatan KPA pada tahun 2020, NTT merupakan provinsi urutan kelima paling banyak menyumbangkan konflik agraria.
“NTT pada tahun 2020 menjadi provinsi kelima yang menyumbangkan konflik agraria sejumlah 16 konsorsium,” katanya.
Penulis: Filmon Hasrin
Editor: Ardy Abba