Dekapan Kenangan Tentangmu
Tercekat kaki ini untuk melangkah lebih jauh
Ketika tatapan nanar itu begitu menusuk dengan rapuh
Dibalik binar yang berkaca tanpa ulasan yang pasti
Hati ini retak bagai kepingan kaca yang tak lagi berbentuk
Seiring jalan waktu yang menjauh
Jemari yang dulu rapat dalam genggamanku yang utuh
Kini tak ada lagi dalam jangkauanku untuk menyapa
Telah beranjak dengan langkah lain yang menemaninya
Masih teringat akan semua tawa yang dulu berderai
Kini perlahan memudar meninggalkanku yang terbuai
Senyuman dengan tutur kata yang dulu menawan
Kini memui bagai tak pernah menyentuh kesan
Dibalik isak yang kini ramai mendera
Ku sapa jejakmu yang telah lama tertinggal oleh masa
Dalam perih yang datang dan engkau pergi
Ku rangkul bayangmu dalam luka yang tersisa kini
Aku dan sisa kenangan yang tunduk dalam angan
Memandang jauh taman bunga kehampaan
Dalam bias sepi yang menerpa hingga tersesak
Ke memelukmu erat dalam penyesalan yang terkuak
Harapan pada Gerhana
Suatu hari aku melihat seorang perempuan dandelion sedang menulis sebuah pesan di sebuah kertas buram berwarna krem, ditemani secangkir embun, selembar kabut dan sebuah nama yang dia ucap sejak subuh tadi. Begini isinya:
Dear, Tuan Senja
Sebelum aku menyerah pada gerhana yang ku jadikan satu-satunya harapan kita bersama lagi, saat itu aku memiliki beberapa pertanyaan.
Begini, Tuan
Apakah salah jika aku terlalu mencintaimu?
Apakah salah jika aku berniat membesarkan bunga-bunga rindu, padahal aku tahu jika hatimu sedang dilanda kemarau?
Apakah salah jika aku terlalu sayang merawat luka?
Apakah salah jika aku terlalu tabah menjaga masa lalu?
Apakah salah jika aku terlalu sabar menjaga kenangan di mana lengan kita selalu terpaut?
Apakah salah jika aku menyelinap lewat mimpimu diam-diam agar bisa menciummu dengan leluasa?
Apakah salah jika kaki-kaki kecilku selalu berlari kecil menujumu?
Ini masih sebagian pertanyaan kecil, Tuan. Tak perlu dijawab, aku hanya ingin agar kau paham, aku tak pernah mengenal jenuh mengingatmu.
Dari yang mencintaimu, Dandelion.
Si perempuan dandelion melipat kertas itu menjadi sepucuk surat, lantas kemudian dia sematkan di salah satu tangkainya lalu di terbangkan ke angkasa, berharap langit membacanya.
Sayangnya tak lama setelah itu, tetiba badai datang dan membuat setangkai kecil dandelion tersesat namun ia bersikeras melawan badai untuk terus terbang ke langit. Celakanya hujan deras tetiba membuat si tangkai jauh ke tanah. Dalam sisa –sisa tenaganya yang berakhir, ia pun nyaris menyerah lantas pasrah.
Beberapa jam kemudian, senja sudah terlewat. Seorang perempuan dandelion menatap langit dengan resah. Bebintang mulai bermunculan. Ia merasa ditertawakan oleh mereka. Hingga di sisa-sisa tenaga dan juga harapannya yang terakhir, kali ini dia menyaksikan bulan bertemu matahari.
Dengan nafas tersengal, dia memekik setengah berbisik, “Gerhana”. Ya, aku melihat gerhana!. Rupanya harapannya telah terjawab.
Beberapa Minggu kemudian setelah badai itu, di sebuah senja yang keemasan, aku bergegas mengunjungi sebuah ladang tempat jatuhnya setangkai dandelion. Letaknya tak jauh dari dermaga. Seketika aku terpesona melihat ada taman dandelion menghampar di sana. Mereka serupa permadani putih berbulu yang empuk ditimpa cahaya keemasan. Senja lah yang merawatnya dengan tabah.
Kepada Rintik Gerimis Maupun Derasnya Hujan yang Malam Ini Tak Kunjung Datang
Malam ini kembali ku rebahkan diriku dalam pelukan bumi, bukan untuk menetap, hanya sekedar untuk menikmati harumnya bau tanah sembari melantunkan harap yang ku biarkan saja melangit.
Lalu, sayup lantunan suara angin menyapu lembut mukaku, menyapaku, seolah mengajakku untuk tinggal sejenak dalam pelukan sang bumi malam ini.
Aku, sama seperti yang lain, jika katanya, kalau lagi rindu bakalan tumbuh jerawat, sayangnya mukaku tetap mulus tak berjerawat, hanya saja jiwakulah yang hanyut terombang-ambing dalam lautan rindu.
Lautan yang membawaku mnyelam semakin dalam tanpa pernah ingin terapung di permukaan.
Seketika setelah sang angin malam menyapa, sejenak ku pejamkan mataku serta lirih ku jawab sapaannya “Apakah malam ini dia akan datang?” dan tiba-tiba suasana memnjadi pengap.
Pertanda jika sang angin malam pegi, seolah memberi jawaban jelas jika malam ini tak bersahabat denganku. Dia, sosok yang aku rindukan, sepertinya tak akan datang.
Padahal, dalam segala harap yang ku biarkan saja melangit, selalu saja ada dia yang ku inginkan datang bersama hembusan angin yang selalu menyapa setiap malam.
Kabarnya saja bahkan tak terdengar, seolah bumi telah melahapnya dalam-dalam karena tak ingin aku mendua atas dirinya.
Bagiku, sekarang bumi tak lagi sama. Harum tanahnya tak lagi semerbak. Gersang, panas, dan entah akan seperti apa nantinya, terlebih lagi tanpa kedatangannya. Baik pagi dan sang fajar.
Siang dan sang surya. Sore dan sang senja. Malam dan sang bintang. Bumiku tetap gersang, dan tugas angin kini hanyalah menjadi penyejuk bagi insan-insan lelap yang kepanasan.
Mungkin, engkau bertanya, sebenarnya siapa yang sedang aku tunggu kedatangannya malam ini. Jika aku tak menjawab, coba saja bertanya pada angin yang berhembus.
“Kenapa bau tanah tak seharum kemarin?” Atau cobalah bertanya pada bintang-bintang yang gemerlap indah menghiasi langit malam ini. Siapa tahu kau akan menemukan jawabannya.
Siapa yang sedang aku rindukan bahkan aku tunggu kedatangannya. Memeluku erat terlelap bersama sang bumi.