Oleh: Siprianus Edi Hardum, S.H.,M.H, Putra NTT, praktisi hukum di Jakarta
Sampai Minggu, 5 Desember 2021, jagat maya dan media online masih membicarakan “debat” sengit antara Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat versus Ketua Adat Marapu, Sumba, NTT, Umbu Maramba Hawu dan masyarakat adat yang dipimpinnya.
Sebagian besar warganet tidak membicarakan substansi perdebatan kedua belah pihak itu, tetapi lebih menyorot kepada tiga hal, pertama, kata “monyet” yang terlontar dari mulut sang Gubernur untuk anggota Masyarakat Adat Merapu.
Kedua, ancaman sang Gubernur akan memukul (flungku) Ketua Adat Merapu. Ketiga, sang Gubernur akan memenjarakan Ketua Adat Marapu dan jajarannya jika mengadang “niat dan usaha baik” sang Gubernur untuk mensejahterakan masyarakat Sumba.
Sekitar dua hari kemudian, Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan, video “perdebatannya” dengan Umbu Maramba Hawu dan masyarakat setempat yang viral di media sosial tidak utuh isi perdebatan mereka waktu itu.
Dari video dan dari penjelasan Viktor sebagaimana dikutip banyak media bahwa perdebatan Viktor versus Umbu Maramba Hawu soal sebagian tanah ulayat Adat Marapu yang sudah menjadi hak milik Pemerintah Provinsi NTT.
Menurut Viktor, keberadaan lahan tersebut awalnya disampaikan almarhum mantan Bupati Sumba Timur Umbu Mehang Kunda yang saat itu menjabat Ketua Komisi III DPR RI yang membidangi pertanian kepadanya Viktor.
Menurut Viktor, Umbu Mehang Kunda merupakan satu-satunya orang NTT saat itu yang menduduki jabatan ketua komisi di DPR RI.
“Dia menjelaskan ke saya bahwa daerah ini bagus, peternakannya bagus, tapi tidak ada yang kerja, tidak ada yang bantu. Maka dari itu beliau minta saya untuk urus waktu itu, sehingga ketika menjadi gubernur saya teringat,” kata Viktor seperti dikutip Tribunnews.
Penjelasan Viktor sepertinya diragukan Umbu Maramba Hawu dan masyarakat Adat Marapu lainnya. Saat “bertengkar” dengan Viktor Umbu Maramba Hawu meminta bukti penyerahan dari Umbu Mehang Kunda kepada Pemprov NTT.
Namun sebagaimana terlihat dalam video yang viral itu serta penjelasan Viktor sebagaimana dikutip sejumlah media massa, Viktor tidak menyebut ada bukti penyerahkan tanah tersebut apalagi menunjukannya kepada masyarakat Adat Merapu.
Viktor hanya menegaskan, warga tidak pernah meributkan keberadaan lahan tersebut sejak Umbu Mehang Kunda masih hidup.
“Dari dulu almarhum Umbu Mehang Kunda masih ada pun tidak pernah ada yang ribut. Bahkan kita masuk keluar mau buat apa di situ pun tidak ada yang ribut. Sampai dengan tempat itu sudah ada, bahkan sapi yang ada itu saya perintahkan untuk bagikan kepada masyarakat di sekitar situ dan semua dibagi,” ujarnya.
Dipayungi Konstitusi
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia sangat kuat. Pasalnya, keberadaannya tidak hanya dipayungi undang-undan, tetapi juga Konstitusi.
Ada pun peraturan perundang-undangan yang memayungi keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.
Pertama, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi,”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Kedua, UU Nomor 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi,”Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional..”.
Pasal 3 UU yang sama berbunyi,”Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi”.
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 5 UU Agraria berbunyi,”Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan Peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan undang-undang lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Ketiga, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam ketentuan umum poin 31 berbunyi,”Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,
dan hukum”.
Dari penyelasan Konstitusi dan dua UU di atas sangat terang benderang bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat sangat kuat. Berdasarkan itulah, siapa pun atau lembaga apa pun tidak boleh mengabaikan apalagi merendahkan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat termasuk Tetua Adat. Merendahkan Tetua Adat sama dengan merendahkan adat. Merendah adat berarti melanggar hukum. Orang yang melanggar hukum bisa dikatakan sebagai orang yang tidak bermoral.
Kepentingan Umum
Dari penjelasan Viktor, Viktor sepertinya dirinya sebagai Gubernur NTT mempunyai niat baik untuk membangun ekonomi masyarakat Sumba. Viktor sebagai Gubernur NTT akan mengelola lahan Masyarat Adat tersebut untuk pembangunan peternakan sapi, di mana hasilnya akan mensejahterakan masyarakat Sumba.
Namun, niat baik Viktor sepertinya diragukan Masyarakat Adat Merapu. Hal ini terbaca jelas ketika, pertama, Umbu Maramba Hawu meminta bukti penyerahan dari Umbu Mehang Kunda kepada Pemprov NTT. Kedua, seorang pemuda warga Masyarakat Adat Merapu menyahut ketika Viktor sedang berbicara bahwa tidak ada urusan Umbu Mehang Kunda dengan tanah ulayat itu, yang membuat Viktor murka dengan menyebut kata “monyet”.
Viktor mengaku terpancing emosinya ketika ada warga yang terlibat perdebatan menyebut almarhum Umbu Mehang Kunda tidak ada urusan dengan lahan tersebut.
Amarah Viktor tersulut karena pernyataan warga itu dinilai menghina senior yang sangat dihormatinya itu.
Masyarakat Adat Merapu melalui Ketua Adatnya Umbu Maramba Hawu meminta bukti penyerahan Umbu Mehang Kunda kepada Pemprov NTT menunjukkan Masyarakat Adat Merapu paham Peraturan Perundang-undangan mengenai pengalihan tanah ulayat untuk pemerintah atau kepentingan umum.
Sementara Viktor terlihat dari video dan penjelasan Viktor di media massa cenderung mengabaikan peraturan perundang-undangan. Ia hanya berpatokan penyerahan dari Umbu Mehang Kunda.
Viktor menghormati seniornya yang sudah meninggal dunia itu, tetapi justru lupa menghormati Tetua Adat Merapu Umbu Maramba Hawu yang sedang berhadapan dengannya.
Pengalihan yang Legal
Sang Gubernur mengalihkan hak tanah ulayat Masyarakat Merapu harus legal. Artinya sesuai ketentuan peraturan perundang-perudangan.
Pertama, UU Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 18 berbunyi,”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.
Penjelasan dari pasal a quo,”Pesan ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak”.
Penulis menduga Masyarakat Adat Merapu meminta ganti atas tanah ulayat mereka yang dijadikan ranch sapi.
Kedua, Pasal 26 ayat (1) UU 5 / 1960 berbunyi, “Peralihan hak atau jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksud untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP-red)”.
PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai aturan turusan dari pasal tersebut tidak dijelaskan kata peralihan yang menyebutkan mengenai peralihan hak, tetapi disebutkan dengan kata dialihkan. Definisi dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pemilik lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, dan hibah wasiat.
Pasal 29 PP 24 Tahun 1997 mengatur soal pembukuan hak atas tanah. Kalau benar tanah Masyarakat Adat Merapu itu sudah dialihkan entah melalui hibah atau jual beli, buktinya harus ditunjukkan kepada semua Masyarakat Adat Merapu.
Ketiga, tanah untuk kepentingan umum sudah diatur tersendiri dalam UU 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pasal 1 poin 6 (dalam ketentuan umum) UU Nomor 2 Tahun 2012 menyatakan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas (Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2012): kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan.
Dari asas-asas ini tersebut sangat terbaca Gubernur NTT Viktor Laiskodat mengabaikan asas keterbukaan, asas kesepakatan dan asas keikutsertaan.
Kalau Viktor melaksanakan asas keterbukaan tentu ia membuka bukti apakah tanah tersebut dihibahkan oleh Umbu Mehang Kunda. Demikian juga kalau seandainya pengalihan hak tanah tersebut berdasar proses jual beli. Buktinya harus terbuka.
Demikian juga dengan asas kesepakatan. Viktor hanya sepakat dengan almarhum Umbu Mehang Kunda tetapi tidak dengan semua Masyarakat Hukum Adat Merapu. Tentu Gubernur harus tahu, apakah pengibahan tanah ulayat cukup dilakukan Ketua Adatnya atau harus dirembukan dengan masyarakat adat?
Sepertinya dari protes yang disampaikan Masyarakat Adat Merapu kepada Viktor dengan mengatakan bahwa tidak ada urusan Umbu Mehang Kunda dengan tanah ulayat mereka, itu berarti penyerahan tanah ulayat harus melibatkan Masyarakat Hukum Adat semuanya. Siapa pun tentu tidak boleh intervensi kebiasaan atau “hukum” yang berlaku dalam Masyarakat Hukum Adat Merapu.
Ajaran Moral
Perlu diketahui, pemimpin seperti seorang Gubernur mempunyai tujuan dalam semua tindakannya yakni kesejahteraan masyarakat.
Pakar etika politik, Franz Magnis Suseno, mengatakan, agar tujuan seperti itu tercapai maka harus tahu dan menjalankan etika dan ajaran moral (norma moral). Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.
Sumber ajaran moral, kata Magnis adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan-tulisan para bijak, dan lain-lain. Dari yang dijelaskan Magnis ini maka Gubernur NTT, Viktor Laiskodat juga sebagai sumber ajaran moral.
Sedangkan etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Ajaran moral diibaratkan dengan buku petunjuk bagaimana kita memperlakuan sepeda motor kita dengan baik, sedangkan etika memberikan kita petunjuk tentang struktur dan teknologi sepeda motor (Frans Magnis Suseno, 1989: 13 – 14).
Ketika Viktor mengeluarkan kata “monyet”, mengancam akan flungku dan mengancam Masyarakat Hukum Adat Merapu akan dipenjaranya, Bapak Viktor sebagai Gubernur NTT tidak bisa dijadikan sumber ajaran moral.
Ia melakukan itu justru menggambarkan dirinya sebagai orang yang mengabaikan ajaran moral dan etika bahkan terbaca berusaha melanggar hukum.
Viktor mengancam masyarakat dengan dimasukkan ke penjara tentu berlebihan. Sebab, pertama, masasalah tanah ulayat itu adalah masalah perdata bukan pidana.
Kedua, kalau pun itu kasus pidana Viktor tidak berwenang memenjarakan orang. Yang berwenang adalah polisi tentu harus dengan bukti yang cukup.
Untuk itu, sebaiknya kalau Viktor benar-benar mau mensejahterakan masyarakat Sumba dengan peternakan sapi, pertama, proses pengalihan hak tanah ulayat itu harus terbuka dan melibatkan semua Masyarakat Hukum Adat Merapu. Kalau mereka meminta ganti rugi, berikan sesuai ketentuan Undang-undang.
Kalau mereka masih kekeuh tidak mau beri tanah ulayat mereka, padahal sudah dengan ganti rugi demi kepentingan umum, maka jalankan saja dengan konsiyasi, yakni titip saja uangnya di pengadilan.
Bapak Gubernur Viktor jangan minta gratis, dengan gaya paksa pula. Ingat ini bukan zaman Orde Baru yang abaikan etika, moral dan hukum. Kalau pakai gaya paksa maka hasil yang dinginkan tentu tidak tercapai.