Anda mungkin tidak bisa membayangkan kalau ada sebuah negara sampai yang jatuh miskin dan terlilit hutang hanya karena kehabisan tahi burung?
Ya, jelang KTT G20 yang akan membahas isu perubahan iklim dunia di Provinsi Bali tahun 2022 mendatang, Baron Waka, Presiden Negara Nauru sudah lebih dahulu membahasnya saat bertemu Presiden Joko Widodo pada September 2016 lalu.
Kedatangan Baron di Istana Bogor ini telah berdampak pada munculnya nama Negara Nauru di sejumlah pemberitaan media massa, sehingga memantik minat orang menelusuri informasi tentang negara itu.
Salah satu informasi menarik adalah tentang keindahan alam dan kekayaan yang luar biasa yang pernah menjadi milik negara itu sekitar 60 – 70 tahun lalu.
Dikutip dari berbagai sumber, Nauru merupakan negara kecil berbentuk republik di Samudera Pasifik. Luasnya hanya sekitar 21 kilometer persegi.
Republik Nauru saat ini telah menjelma menjadi negara miskin setelah kehabisan sumber daya alamnya yakni kotoran burung dalam dua dekade terakhir.
Padahal, sebelum menjadi sebuah negara merdeka pada 13 januari 1968, Pulau Nauru merupakan sebuah pulau dengan keindahan alam yang sangat menakjubkan.
Hingga salah satu penjelajah asal Inggris Captain Jhon Fearn menyebutnya dengan julukan the pleasant island atau pulau yang sangat menyenangkan.
Kekayaan utama di Negara Nauru mulai terjadi sejak ribuan abad silam saat pulau kecil itu menjadi rumah singgah dan tempat istirahat bagi burung-burung migrasi antarbenua.
Burung-burung migrasi itu kemudian meninggalkan kotoran (tahi) di situ, yang kemudian secara alamiah berubah menjadi kerak Guano.
Guano sendiri adalah bahan alamiah utama penghasil fosfat yang bernilai ekonomis sangat tinggi karena hanya bisa diambil dengan cara ditambang.
Sementara, berdasarkan catatan penambangan era kolonial dalam buku paradise of sale karya McDainel & Gowdy halaman 42 dan 157, saat masih di bawah jajahan Jerman tahun 1914, Pulau Nauru sudah mampu memproduksi seratus ribu ton fosfat.
Saat itu, setiap ton fosfat bernilai 12,5 dolar Australia dengan ongkos produksinya hanya 6 dolar Australia. Dengan kata lain, keuntungan bersih yang diperoleh dari penambangan fosfat di Nauru mencapai 52 persen.
Namun, selama 50 tahun lebih atau sejak 1916 hingga tahun 1968, sudah sekitar 34 juta ton fosfat telah diambil oleh para penjajah asing yang menguasai Nauru termasuk Negara Jepang, hingga akhirnya mereka bisa merasakan kemerdekaan pada 13 Januari 1968.
Setelah lepas dari penjajahan dan memperoleh kemerdekaan, Republik Nauru yang baru itu kemudian mendapat peninggalan penjajahan berupa sejumlah peralatan tambang raksasa lengkap dengan fasilitasnya.
Saat itu, diperkirakan masih terdapat sekitar 60 – 70 juta ton cadangan fosfat di Nauru
Sejak itu, rakyat Nauru benar – benar menikmati hasil kekayaan alam mereka. Pekerjaan utama rakyat Nauru setiap harinya hanya berkerja di tambang – tambang fosfat dan menikmati segala kemewahan yang mereka punya.
Tak hanya memiliki uang yang berlimpah, Pemerintah Negara Nauru juga memberikan bantuan rumah gratis, layanan air minum bersih dan listrik gratis termasuk membebaskan pajak bagi seluruh rakyat Nauru.
Bayangkan saja, hanya untuk berbelanja saja, seluruh rakyat Nauru akan berbelanja di Australia atau Singapura dengan menumpang pesawat yang tiketnya juga sudah ditanggung negara alias gratis.
Seorang jurnalis national geographic bernama Mike Homes, pada tahun 1976 pernah melakukan penelitian dan menerbitkan artikel tentang keadaan Nauru saat itu berjudul This is the world’s Richest Nation-Al Of It.
Dikatakannya, pada tahun 1976, produksi fosfat di Negara Nauru mencapai dua juta ton fosfat di setiap tahunnya dengan harga 60 juta dolar Australia per ton.
Ini artinya, pada tahun 1976, dari hasil penjualan fosfat saja, pendapatan negara berpenduduk tujuh ribu jiwa ini mencapai 120 juta dolar atau jika dikonversikan dengan rupiah saat ini mencapai Rp9 triliun, setiap tahunnya.
Selama satu dekade antara tahun 1974 Hingga tahun 1980 an, segala kemewahan benar- benar menjadi milik masyarakat Nauru. Rumah-rumah mereka dipenuhi barang-barang berharga seperti televisi, tape, mesin cuci, lemari pendingin dan lain sebagainya termasuk memiliki mobil dan sepeda motor. Bahkan pantai di Nauru dipenuhi perahu mewah bermotor milik perorangan.
Karena terbuai dengan segala kemewahan itu, rakyat Nauru lupa bahwa untuk mengelola keuangan seseorang harus belajar dan bersekolah.
Hingga memasuki tahun 1986, pemerintah dan seluruh rakyat Nauru mulai menyadari kalau cadangan fosfat di negara itu mulai berkurang.
Pemerintah Nauru yang kebingungan itu kemudian memikiran cara bagaimana mengelola keuangan negara mereka yang nilainya miliar dolar melalui pembentukan badan hukum investasi nasional (SWF) bernama Nauru Phosphate Royalties Trust (NPRT).
Sialnya, tidak ada satupun warga Nauru yang dianggap cakap di bidang ekonomi, keuangan maupun investasi. Sehingga mereka menggunakan jasa konsultasi asing dengan biaya mahal untuk mengelola keuangan negara.
Oleh para konsultan keuangan yang dibayar negara Nauru, maka keuangan mereka kemudian diubah dalam bentuk aset-aset Negara Nauru seperti real estate, hotel berbintang, properti, dan gedung – gedung besar yang tersebar di hampir setiap kota besar di seluruh dunia.
Salah satu aset Negara Nauru yang paling terkenal pada masa itu adalah Nauru House di Melbourne Australia yang menjadi gedung pencakar langit tertinggi di dunia.
Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Para konsultan keuangan yang disewa pemerintah Nauru ini ternyata melakukan korupsi besar-besaran dengan melaporkan kebutuhan keuangan yang mengada-ada.
Mengetahui kalau Nauru sudah diambang kehancuran namun masih memiliki sisa kekayaan dalam bentuk aset negara, mendorong para politisi lokal setempat untuk menjadi pemimpin di Nauru dengan misi utama yakni menyelamatkan keuangan negara.
Itu terbukti, selama kurun waktu dari tahun 1989 hingga tahun 2004, telah terjadi 21 kali pergantian presiden Nauru.
Karena itulah, para pejabat tersebut kemudian mulai bepergian ke sejumlah negara dengan menggunakan pesawat VIP dan menginap di hotel-hotel berbintang yang mahal membuat Nauru menuju ambang kehancuran.
Akibat dari persoalan keuangan itu, pemerintah Nauru kemudian mulai berani berutang dari GE Capital sebesar USD 239 juta.
Karena dianggap tidak mampu lagi membayar hutang-hutang negara, banyak aset mereka di sejumlah negara itu disita pengadilan.
Hingga akhirnya, pada tahun 2002, Nauru dinyatakan sebagai negara bangkrut.
Yang lebih menyedihkan lagi, tidak hanya bangkrut secara ekonomi. Tanah-tanah di Nauru sudah tidak bisa lagi dijadikan lahan pertanian dan perkebunan karena telah rusak akibat pertambangan. Belum lagi, laut mereka juga ikut tercemar akibat limbah-limbah tambang.
Sejak itu, hidup rakyat Nauru benar-benar bersandar pada bantuan FAO melalui makanan siap saji yang kaya karbohidrat, tinggi kadar gula dan bahan pengawet yang berdampak pada meningkatnya penderita penyakit obesitas yang parah di negara itu.
Sebagai akhir dari cerita indah Nauru, Negara itu kemudian menjadi next heaven, ladang nyaman bagi koruptor dan para mafia untuk melakukan pencucian uang karena hukum negara itu sudah bisa dibeli dengan uang.
Nauru dan segala kisahnya ini menjadi pelajaran penting bagi kita di Republik Indonesia ini. Bahwa, jika kekayaan alam yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita harus dikelola dengan arif dan bijak demi keberlangsungan masa depan negara kita.
Penulis: Patrick Romeo Djawa