Oleh: Ardy Abba
Meski sudah lewat lebih dari satu tahun, namun polemik Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, hingga kini masih mampir dalam ingatan kita. Pro-kontra dan karut-marut rencana pembangunan hotel di pantai itu sempat mengisi ruang informasi khalayak bahkan ramai diperbincangkan banyak kalangan.
Sekitar tahun 2015 lalu, masyarakat dan sejumlah aktivis ramai menolak rencana pembangunan hotel yang ditaksasi menelan biaya Rp120 miliar itu.
Kala itu, banyak alasan penolakan. Namun satu yang penting bahwa masyarakat dan aktivis lingkungan menilai Pantai Pede satu-satunya pantai di Labuan Bajo yang menjadi ruang publik, sehingga tidak boleh diprivatisasi.
Polemik pembangunan hotel mewah yang rencananya akan dibangun oleh PT Sarana Investama Manggabar itu hingga kini tidak muncul lagi di permukaan. Polemik kala itu sebenarnya mau menunjukkan kepada publik bahwa masyarakat Mabar menjaga tanahnya sendiri dari gempuran para pemodal. Sebab, ada potensi para pemodal “menjajah” masyarakat lokal di tanahnya sendiri.
Belakangan, muncul informasi terbaru soal sempadan pantai di Labuan Bajo yang diduga dilanggar oleh para pemilik hotel mewah dan berbintang.
Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi mengeluarkan Surat Keputusan Bupati bernomor: 277/Kep/HK/2021 tentang sanksi kepada pemilik bangunan hotel yang melanggar ketentuan ruang sempadan Pantai Pede dan Wae Cicu, Kecamatan Komodo.
Dalam SK-nya, Bupati Edi menetapkan sanksi administratif kepada 11 pemilik hotel yang dinilai melanggar ketentuan ruang sempadan pantai. Kesebalasnya antara lain, Jayakarta Suites sebesar Rp347.601.745,00, Atlantis Beach Club sebesar Rp293.359.324,00, Sudamala Resort sebesar Rp1.150.992.808,00, Puri Sari Beach sebesar Rp312.346.620,00, dan Luwansa Beach Resort sebesar Rp213.805.481,00.
Kemudian, Bintang Flores sebesar Rp1.181.393.598,00, La Prima sebesar Rp5.825.800.079,00, Ayana Komodo Resort sebesar Rp18.800.587.055,00, Waecicu Beach Inn sebesar Rp907.987.813,00, Silvya Resort Komodo sebesar Rp3.406.836.728,00, dan Plataran Komodo Wae Cicu sebesar Rp1.560.213.156,00.
Besaran denda administrasi tersebut dibayar dengan mekanisme dan tata cara yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati paling lambat 6 bulan kalender terhitung sejak penetapan Surat Keputusan Bupati bernomor: 277/Kep/HK/2021. SK ini ditetapkan pada 3 Desember 2021 dan total dana sanksi untuk 11 hotel tersebut sebesar Rp34.000.884.407,00.
Dalam gebrakannya ini Bupati Edi harus diberi profesiat. Sebab, ia berani menetapkan keputusan untuk menguntungkan daerahnya dengan menambah pendapatan sebesar Rp34 miliar lebih. Setidaknya, sejak Mabar dimekarkan berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2003, baru kali ini ada bupati yang melakukan gebrakan “gila”.
Meski begitu, sanksi yang diberikan Bupati Edi ini belum adil. Sebelum mengulas lebih jauh, saya mengajak untuk melihat kembali apa itu ‘Sempadan Pantai’.
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007, Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Sanksinya tidak main-main bagi yang melanggar yakni, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), sebagai tertera dalam pasal 73 UU Nomor 27 Tahun 2007.
Selanjutnya diatur dalam pasal 63, sanksi administratif dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian semen tara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e, pencabutan izin; f. pembatalan kin; g. pembongkaran bangunan h. pemulihan fungsi ruang, dan/atau i. denda administratif
Lantas mengapa Bupati Edi hanya memilih menerapkan sanksi administratif kepada 11 hotel tersebut? Apakah karena Peraturan Daerah tentang Rencana Tata ruang Wilayah Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2012-2032 baru muncul tahun 2012, yakni Perda Nomor 9 Tahun 2012?. Ini pertanyaan penting yang tentu saja membutuhkan jawaban jelas. Jika tidak, maka penerapan sanksi administratif ini masih tidak adil bagi rakyat Mabar.
Sebab, jika melihat geliat pembangunan mewah di kota pariwisata super prioritas Labuan Bajo hingga kini marak terjadi. Jika tidak banyak menguntungkan masyarakat lokal, maka saya pun sependapat dengan pernyataan Ferdy Hasiman, pengamat Alpha Research Database Jakarta.
“Pariwisata super premium di Labuan Bajo yang digagas oleh Presiden Jokowi untuk masyarakat NTT, tetapi bagi saya pembangunan super premium bukan untuk rakyat NTT melainkan untuk tuan-tuan kapitalis dan elit-elit pusat,” ujar Ferdy Hasiman dalam Channel YouTube ‘Narasi dari Timur’
Menurut dia, praktik kehidupan di Labuan Bajo masih terjadi perhambaan atau perbudakan pegawai swasta honor oleh negara dengan gaji yang mengenaskan.
Mobilitas wisatawan yang masuk ke Labuan Bajo di atas 200 ribu per orang pada tahun 2019 tidak memiliki efek apa-apa untuk pundi-pundi keuntungan Pemerintah Daerah Manggarai Barat.
Ferdy mengatakan, hotel-hotel mewah yang dibangun di Labuan Bajo juga tidak berefek. Ramainya wisatawan bahari di laut pun sama sekali tidak berefek.