Jakarta, Vox NTT- Koalisi Masyarakat Pembela Adelina Sau Korban Human Trafficking (KOMPAS KORHATI) mendesak Pengadilan Malaysia untuk menghukum seberat-beratnya pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap korban Adelina Sau.
Tidak hanya itu, KOMPAS KORHATI juga endesak Polisi Diraja Malaysia dan Aparat Penegak Hukum Malaysia untuk memproses aktor intelektual di balik kasus human trafficking dengan korban Adelina Sau
“Kami juga mendesak Pemerintah Malaysia untuk segera menandatangani MoU penempatan dan perlindungan PMI dengan pemerintah Indonesia agar tidak terulang kasus seperti Adelina Sau,” ujar Koordinator KOMPAS KORHATI, Gabriel Goa, dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Senin (20/12/2021).
Gabriel menjelaskan, praktik perdagangan orang sudah terjadi sejak zaman dulu dengan berbagai cara.
Kendati melanggar Hak Asasi Manusia, perdagangan orang tidak pernah berhenti, bahkan menjadi kejahatan lintas negara.
Modusnya pun semakin canggih dengan melibatkan jaringan pelaku, baik di dalam maupun luar negeri.
Di Indonesia, kata Gabriel, perdagangan orang terjadi dalam berbagai modus yang menyasar sejumlah warga, dengan lokus yang berbeda-beda.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari tidak banyak yang menyadari. Korban terbesarnya adalah perempuan dan anak-anak perempuan.
Dikatakan, hingga kini sebagian masyarakat hanya memahami perdagangan orang yang terkait dengan perekrutan dan pengiriman pekerja migran Indonesia ke luar negeri, eksploitasi, kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan perbudakan terhadap tenaga kerja. Itupun sebatas pekerja informal seperti pekerja rumah tangga.
Faktanya, menurut Gabriel, perdagangan orang dengan korban warga Indonesia terjadi dalam berbagai modus. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir muncul kasus perdagangan orang yang bermodus pengantin pesanan yakni perempuan-perempuan di Indonesia dijodohkan dengan laki-laki di Taiwan dan China.
Mereka menjadi korban jaringan perdagangan orang yang memanfaatkan situasi kemiskinan para korban.
“Perdagangan orang juga belakangan banyak mengincar pekerja migran Indonesia yang bekerja di industri perikanan, seperti kapal-kapal ikan yang beroperasi di luar perairan Indonesia,” jelas Gabriel.
Terkini, lanjut dia, kasus yang dialami oleh Adelina Sau, korban human trafficking asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia.
Persoalan tersebut dipicu oleh berakhirnya nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) terkait kerja sama penempatan pekerja migran Indonesia di Malaysia telah kadaluarsa sejak tahun 2016.
Sementara, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 belum bermanfaat apa-apa bagi perlindungan PMI. Hal tersebut terutama pencegahan PMI ilegal dari Indonesia ke luar negeri seperti Arab Saudi dan negara-negara timur tengah lainnya termasuk Malaysia.
Di lain sisi pelaku human trafficking idealnya dapat diproses hukum melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Dalam UU ini menyatakan secara tegas bahwa perdagangan orang merupakan tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, penjeratan utang, sehingga diperoleh persetujuan dari orang yang mempunyai kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara atau antarnegara, dengan tujuan melakukan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
UU 21/2007 ini memuat ketentuan pidana penjara dan pidana denda bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang. Di lain aspek korban juga memiliki hak untuk mendapatkan rehabilitasi kesehatan dan sosial, pemulangan, dan integrasi sosial dari pemerintah apabila korban mengalami derita fisik dan psikis.
Apabila korban berada di luar negeri, pemerintah melalui perwakilannya di luar negeri wajib memberikan perlindungan.
Di sisi yang lain, Menurut hukum Malaysia, majikan Adelina yang bernama Ambika M. A Shan dijerat pasal 302 hukum pidana, dengan ancaman hukuman mati.
Sementara Ambika R Jayavartiny didakwa telah mempekerjakan imigran ilegal sejak Maret 2017 hingga 10 Februari 2018.
Perempuan 36 tahun tersebut dianggap melanggar Pasal 55 B ayat 1 Hukum Imigrasi.
“Jika terbukti bersalah, Jayavartiny akan dihukum selama satu tahun, dan denda maksimum 50.000 ring- git (sekitar Rp173 juta),” jelas Gabriel.
Penulis: Ardy Abba