*Cerpen
Oleh: Fersi Darson
Tiara sudah satu hari mengurung diri di dalam kamar. Ia lakukan itu bukan hanya karena tak tahan malu dengan para tetangga yang sempat menyaksikan peritiwa itu. Ia lakukan itu juga karena benar-benar kecewa dan bersedih. Hatinya perih dan sangat membenci peristiwa itu.
Di dalam kamar yang berukuran 4×4 itu ia menangis tersedu-sedu. Sesekali menatap layar Hp-nya. Lebih tersedu-sedu dan dadanya terasa sesak ketika layar Hp-nya menampilkan sepasang kekasih yang serasi. Itu tak hanya membuat ingatannya terulur kembali pada masa merasakan kebahagiaan. Sebetulnya, ia juga tak rela kebahagiaan yang bertumbuh dan berkembang itu pergi. Apalagi cinta mereka tersimpul dalam janji melangsungkan pertunangan.
Kondisinya semakin melemah. Sudah satu hari tak mengisi perut. Selain itu, ia juga terlarut dalam kesepian. Tapi, bukankah kesepian adalah kesempatan terbaik untuk menangis? Ia tidak mengijinkan ayah, ibu, dan adik-adiknya masuk ke dalam kamar. Bahkan untuk membawa makanan sekalipun. Ia hanya berharap ada pesan masuk dari lelaki itu, meskipun sebatas kata perpisahan. Tapi, sia-sia. Hanya nomor baru yang mengirim pesan.
***
Tiara dan lelaki itu empat tahun di Pulau Jawa. Mereka menjalin cinta dengan ketulusan. Akhirnya cinta itu bertumbuh dan berkembang. Namun, jalinan cinta itu terasa aneh. Terutama karena saling menutupi latar belakang keluarga masing-masing. Dalam hal ini, Tiara sama sekali tidak menceritakan perihal keluarganya kepada lelaki itu. Foto keluarganya juga tidak pernah ia tunjukkan. Dan begitu pun sebaliknya, lelaki itu tak pernah menceritakan dan menunjukkan foto keluarganya.
Itu karena pandangan mereka tentang cinta. Bagi mereka, cinta yang murni mesti tak terpengaruh oleh hal-hal lain. Mencintai mesti atas nama cinta. Bukan karena apa pun, termasuk latar belakang keluarga pasangan. Karena itulah, tak penting bagi mereka saling mengetahui lebih dalam latar belakang keluarga pasangan.
Mereka diwisudakan sebulan yang lalu. Beberapa hari yang lalu mereka memutuskan pulang ke Manggarai. Menjelang kepulangan itu, Tiara tak memberi tahu orang tuanya bahwa ia pulang bersama lelaki itu. Ia bahkan memberi tahu bahwa ia pulang sendiri. Itu cukup membuat keluarga khawatir akan dirinya.
Dua hari setelah keberangkatan, akhirnya mereka tiba di ujung barat Pulau Flores. Sejenak Tiara mengabari ibunya, lalu beberapa saat kemudian mereka bertolak dari Pelabuhan Labuan Bajo dengan sepeda motor Beat yang dibeli bekas lelaki itu sejak pertama kuliah. Itulah kesempatan pertama lelaki itu untuk megenal keluarga Tiara.
Beberapa jam kemudian tiba di depan rumah Tiara. Ibu dan adik-adiknya bersorak bahagia. Berpelukan. Sejenak mereka menatap lelaki yang berjalan bersamanya. Mereka terkejut dan melemparkan senyum. Lelaki itu pun membalasnya dengan sedikit malu. Ia beralih pandang ke arah lelaki paruh baya, dan tiba-tiba pandangannya berhenti setelah melihat dengan jelas lelaki itu. Lelaki yang disebut ayah oleh Tiara.
Demikian pun ayah Tiara, memandang lelaki itu terkejut sambil mengernyitkan dahi, berusaha mengingat dengan jelas. Ia menyodorkan tangan dan diikuti tetangga yang berdatangan.
Lelaki muda itu tampak tak bersemangat sejak melihat ayah Tiara. Bahkan jantungnya berdetak lebih cepat, seolah badai besar akan datang. Ia benar-benar gugup. Bukan karena Pak Mateus bertampang beringas. Bukan pula karena malu di hadapan para tetangga yang datang. Melainkan merasa bersalah sebab telah menjalin cinta dengan Tiara, anak Pak Mateus yang pernah dijumpainya 5 tahun lalu di kampung asal ayahnya, yang merupakan kampung asal Pak Mateus juga.
“Enu, kamu bikin orang tua khawatir saja. Ternyata kamu pulangnya sama saudaramu ini.” kata Pak Mateus.
Mendenglar itu, lelaki itu semakin gugup.
“Ayah, bilang saudara? Macam sudah saling kenal saja?” timpal Tiara dengan senyum.
Tiara merasa lain dengan sebutan “saudara” itu. Tapi ia pikir itu sekadar celoteh. Lagi pula sejak kapan lelaki dari Ruteng itu menjadi keluarga mereka. Ruteng dan Lembor dua tempat yang terpisah dengan jarak yang jauh. Sejauh itulah ia tak menyangka hubungan keluarga itu. Ia benar-benar tak menyangka hubungan keluarga di antara mereka berdua.
“Kok, kamu bilang begitu? Bukankah ini, Nana Adrian?” Kata ayahnya.
“Ayah betul mengenalnya?” tanya Tiara terkejut.
“Mana mungkin ayah tahu dia kalau tak mengenalnya.” Kata sang ayah “bukannya, dia anak Kaka Anton? Sepupu ayah yang tinggal di Ruteng!”
Tiara bingung. Tak tahu harus berkata apa. Sebab ia sama sekali tak tahu yang sebenarnya. Dan hanya lelaki itu yang tahu apa yang dibilang Pak Mateus. Barangkali itu yang membuatnya menunduk seperti rusa kena panah. Jantungnya terasa mau copot ketika mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut ayah Tiara.
“Adrian, apa benar yang dibilang ayah?” tanya Tiara sorot mata yang tajam.
Lelaki itu tak menjawab. Matanya berkaca. Tiara tahu, biasanya, air mata hadir seturut kebenaran. Itu cukup membuat Tiara sedikit percaya apa yang dibilang ayahnya itu.
“Jadi, selama ini betul kalian tidak tahu hubungan keluarga ini!” Tegas Pak Mateus dengan nada marah.
“Dari mana kami bisa tahu itu, Ayah?”
“Haah… Hanya binatang yang tidak bisa tahu itu!”
Situasi berubah. Pak Mateus benar-benar marah. Mencurigai hubungan cinta mereka.
“Lalu dia datang bersamamu bukan karena keluarga! Dia siapa? Pacarmu!”
Sulit Tiara mengatakan sebenarnya. Matanya berkaca-kaca.
Terlepas dari perkawinan tungku, tak ada perkawinan sedarah dalam budaya Manggarai. Apalagi hubungan keluarga mereka terbilang dekat. Ayah dari Pak Mateus beradik kakak kandung dengan ayah dari ayah lelaki itu. Jadi, kakek mereka berdua adik kakak kandung.
Wajah Pak Mateus memerah. Ia marah besar. Tiba-tiba tangan kekar melayang mengenai wajah Tiara. Tiara terjatuh dari tempat duduk. Seluruh badannya lemah. Selain kena tangan itu, ia juga terlampau kecewa. Ibu dan kedua adik memapahnya ke kamar. Para tetangga hanya diam seribu bahasa.
“Sap-siap menanggung malu. Keluarga pasti akan menelantarkan kita!” Pak Mateus mengancam.
Jika mereka berdua nekat melanjutkan hubungan itu, sudah pasti keluarga tak setuju. Bukan hanya orang tua Tiara. Orang tua lelaki itu juga demikian. Bahkan leluhur memberi kutukan besar. Maka tak mungkinlah mereka melakukan itu.
Tiara semakin tersedu-sedu. Lelaki itu terus menunduk dengan mata berkaca-kaca. Selain kecewa, lelaki itu sangat malu. Terutama di hadapan para tetangga yang datang.
“Dasar anak zaman sekarang. Baru bertemu langsung bercinta. Bukankah ndunduk itu penting” Sesal Pak Mateus.
Lelaki itu tak menjawab. Dadanya sesak membayangkan perpisahan. Beberapa saat kemudian ia meninggalkan tempat itu tanpa pamit. Setelah menyadari lelaki itu pergi, tiba-tiba Tiara membanting pintu lalu mengunci diri di dalam kamar. Dadanya sangat sesak. Sesekali berteriak histeris dan menggigit bibir menahan pilu. Memang tak ada pilihan lain. Mengorbankan cinta adalah satu-satunya cara menjaga nama baik mereka dan keluarga.
***
Kini sudah tiga hari mengurung diri berbekal makanan ringan dan tiga botol air mineral. Kesendirian yang agak lama itu membuatnya memikirkan hal terburuk. Ia bahkan ingin mengakhiri hidup dengan jalan membunuh diri dan sempat mengatur strategi untuk melakukan upacara itu. Tapi, untunglah niat itu dikalahkan dengan energi positif yang datang tiba-tiba. Pikirannya tertusuk dengan bayangan wajah ibu yang melahirkannya, wajah ayah yang tersengat mentari demi membesarkan dan menyekolahkannya, dan wajah adik-adiknya yang ceria membangga-banggakannya.
Karena itu, gadis cantik itu tidak jadi membunuh diri. Ia berpikir itu bukan jalan yang tepat mengatasi persoalan seberat apa pun. Itu bahkan menjadi balasan kejam bagi keluarga, serta menghilangkan masa depan yang lebih baik. karena itu, ia hanya berharap pada sang waktu agar segera mengantarnya ke suatu titik di mana lelaki itu pergi tanpa membekas dalam ingatan dan segera menemukan lelaki masa depan yang menjanjikan kebahagian bagi dirinya.
Tetesan bening membasahi layar HP. Ia berusaha menutup hati agar tak memandang masa lalu yang kejam itu. Ia menghapus foto-foto lelaki itu. Ia benar-benar tersiksa karena cinta. Barang kali atas berkat sang waktu, cinta pula yang akan menyembuhkannya.
Setelah menghapus foto, ia menghapus pesan lelaki itu. Ia benar-benar tak ingin ada bekas yang tertinggal. Ia membalas pesan masuk yang tak memberikan harapan itu.
“Iya, selamat malam. Siapa?” cetusnya.
“Saya Arman Malan. Masih ingat?”
Ia menggulir ingatan dari waktu ke waktu. Hingga akhirnya mengingat dengan jelas nama dalam pesan itu. Arman Malan, seseorang yang kehilangan kabar karena pergi melanjutkan pendidikan di kota karang. Dulu ia pernah mengharapkan lelaki itu yang menjadi masa depannya, sebelum mengenal lelaki yang ternyata sepupunya itu.
Malam itu, ia tidak sesepi malam-malam sebelum. Ia merasa nyaman menyambung pesan dengan lelaki itu. Tak puas dengan cara bertukar pesan, beralih dengan cara bertelepon. Rupanya, Tiara temukan harapan baru dalam hatinya. Wajahnya agak cerah dari sebelum.
Agak lama bertukar pengalaman hidup di kota yang berbeda. Ingatan mereka pun kembali pada masa-masa dahulu saat masih bersama.
“Enu, masih ingat cerita pada tanggal 23 Maret 2013?” Kata lelaki dari seberang telepon.
Tiara berpikir agak lama. Berusaha mengingat kembali kejadian pada tanggal itu. Baru pertama kali ia tersenyum lebar, ketika teringat cerita dalam tanggal itu. Hanya mereka yang tahu ceritanya.
Benih-benih cinta bertunas kembali. Detik-detik itulah lelaki itu mengatakan kembali perasaan yang dulu. Ia serius mencintai gadis itu. Kata-kata lelaki itu bagaikan obat yang mengobati kekecewaan gadis itu, hingga gadis itu pun tersenyum malu-malu sendiri.
Si gadis yang kecewa membuka pintu kamar dan memutuskan berhenti menyekap diri. Ayah, ibu, dan adik-adik senantiasa cemas dan berjaga di depan kamarnya. Tiba-tiba mereka sontak berdiri ketika melihatnya di pintu kamar. Kecemasan mereka sirnah seketika, melihat senyum lebar tersungging di bibir gadis itu. Bukan karena kesintingannya. Melainkan bahagia dan masih membayangkan sebuah cerita.
Keterangan
Nana: Panggilan untuk anak atau saudara laki-laki.
Enu: Panggilan untuk anak atau saudara perempuan.
Nunduk: Bersejarah/ bercerita perihal keluarga.
Tungku: perkawinan antara anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak laki-laki dari saudara perempuan.
Penulis
Fersi Darson, berdomisili di Lelak, Manggarai, NTT. S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Menulis cerpen dan opini di beberapa media.