Ruteng, Vox NTT- “Wow, setelah melewati jalan rusak parah dan medannya yang seram, sampai di sini dijamu dengan tarian Rangkuk Alu yang memanjakan mata. Luar biasa anak-anak SMAN 3 Lamba Leda ini,” komentar Ronald Tarsan, salah satu jurnalis yang datang ke sekolah itu, Rabu (05/01/2022).
Decak kagum Ronald memang bukan tanpa sebab. Bagaimana tidak, di bawah awan gelap yang diwarnai rintik demi rintik gerimis, puluhan siswa SMAN yang berlokasi di Kampung Wantal, Desa Compang Mekar, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) itu tetap menunjukkan kebolehan.
Mereka memainkan tarian Rangkuk Alu, sebuah tarian khas daerah Manggarai. Lenggak-lenggok disertai hentakan kaki yang terukur sesuai irama musik para penari sungguh mengundang decak kagum.
Busana Manggarai beragam corak dan warna yang dikenakan para penari pasangan pria dan wanita, serta anggota paduan suara yang menyanyikan lagu daerah penuh merdu menambah deretan daya pikat.
Meski menari di atas lumpur akibat hujan, tidak lantas membuat siswa patah semangat. Mereka terus mengikuti ragam demi ragam dalam tarian ini.
Keberhasilan para siswa SMAN 3 Lamba Leda dalam memainkan tarian Rangkuk Alu pagi itu tidak lahir begitu saja. Ada sosok penting di baliknya sebagai pelatih. Dia adalah seorang guru bernama Marselina Feniestin.
Feni, demikian ia akrab disapa, menjelaskan Rangkuk Alu terdiri dari dua kata dalam bahasa daerah Manggarai. Keduanya yakni Rangkuk dan Alu. Alu dalam tarian ini adalah sebatang kayu yang panjangnya kurang lebih 2 meter. Pada zaman dulu, Alu biasanya digunakan sebagai alat tumbuk padi di lubang lesung (ngencung) untuk menghasilkan beras.
Sedangkan Rangkuk adalah bunyi alat peraga yang dimainkan secara bersamaan dan saling dibenturkan. Jika kurang lihai saat melompat di antara Alu tersebut, maka bisa saja kaki penari terjepit.
“Latihan Rangkuk Alu hanya membutuhkan waktu yang sedikit pa, yakni tiga minggu. Karena tarian ini sudah lazim dilakukan, makanya anak-anak tidak merasa kesulitan dalam melakukannya,” terang Feni.
Dalam tarian ini terdapat susunan bambu dan Alu yang dimainkan dengan cara diapiti dan diayunkan oleh beberapa orang.
BACA JUGA: Tangis Haru Rensi di Tengah Buruknya Infrastruktur Menuju SMAN 3 Lamba Leda
Kemudian para penari secara bergantian melompat-lompat di antara kedua Alu sembari kaki mereka menghindari jepitan Alu tersebut.
Saat melompat, penari terus melakukan gerakan tari. Gerakan penari dan pemain Alu dipadukan dengan irama musik dan lagu daerah, sehingga menghasilkan seni tari khas bernama Rangkuk Alu.
Uniknya, dalam tarian ini penari tidak sekadar mengikuti ayunan Alu, tetapi juga alunan musik tradisional seperti gong dan gendang yang mengiringi nyanyian lagu daerah Manggarai.
Irama musik dan nyanyian disesuaikan dengan pemain Alu, sehingga gerakan penari yang melompat pun jadi seirama.
Biasanya, tarian ini dilakukan pada malam hari dan dimainkan oleh laki-laki dan perempuan. Para pemain mengenakan pakaian adat yang lengkap.
Tarian ini juga biasanya dimainkan oleh 10-12 orang pemegang Alu dan beberapa orang penari secara bergantian.
Dalam tarian Rangkuk Alu membuntuhkan kelincahan dan konsentrasi yang tinggi untuk menghindari jepitan Alu.
Dikatakan, ada tiga ragam dalam tarian Rangkuk Alu, di mana ragam 1 dianggap paling mudah karena gerakan menjepit kaki penari agak lambat.
Sedangkan ragam 2 disebut Ndota. Ragam ini ada kemiripan dengan ragam 1. Selanjutnya, ragam 3 disebut Aso dan biasanya gerakan menjepit kaki penari agak cepat. Itu sebabnya dianggap paling berat dan membutuhan kelincahan dan konsentransi para penari agar kaki mereka tidak terjepit Alu.
Tarian Rangkuk Alu tidak hanya permainan biasa. Ia juga dimanfaatkan sebagai sarana hiburan masyarakat dan edukasi pembentukan diri.
“Tarian ini dapat melatih kelincahan dan ketetapan anak dalam bertindak,” jelas Feni.
BACA JUGA: Lenggak-lenggok Tarian Yuvensia Meriahkan HPN di Mabar
Tarian Rangkuk Alu juga mengandung nilai-nilai filosofis dan spritual dan sering dilakukan masyarakat Manggarai ketika melaksanakan acara adat dalam mensyukuri hasil panen setahun.
Seiring perkembangan zaman, tarian Rangkuk Alu menurut Feni, seakan “ditelan bumi”. Sebab itu, SMAN 3 Lamba Leda sebagai salah satu sekolah penyeimbang kemajuan zaman berinisasi untuk menghidupkan kembali tarian Rangkuk Alu sehingga generasi penerus mampu mengenalnya.
Jamu Tamu
Tarian Rangkuk Alu yang dimainkan oleh puluhan siswa SMAN 3 Lamba Leda tersebut sebenarnya untuk menjamu tiga pemateri dalam kegiatan workshop jurnalistik. Ketiganya antara lain, Ronald Tarsan wartawan AFB TV Kupang, Ardy Abba redaktur media online VoxNtt.com, dan John Manasye wartawan Metro TV.
Pelatihan ini melibatkan 65 siswa dan para guru di sekolah itu. Mereka tampak antusias saat pelatihan yang dimulai sejak pagi hingga sore hari tersebut.
Ketua panitia pelaksana workshop Tomi Orlando Janur dalam sambutannya mengatakan, kegiatan tersebut sengaja didesain agar para siswanya bisa mendapatkan ilmu baru terutama terkait jurnalistik.
Kegiatan workshop menurut Tomi, bertujuan untuk meningkatkan budaya literasi bagi siswa SMAN 3 Lamba Leda.
Ia menjelaskan, seiring perkembangan zaman literasi tidak hanya berhenti pada kemampuan seseorang dalam menghitung, mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi menjelma menjadi orang yang memiliki tekad dan kemauan untuk terus belajar.
“Mudahan-mudah kegiatan workshop jurnalistik ini dapat bermanfaat bagi kita semua,” harap Tomi.
Hal senada juga disampaikan Kepala SMAN 3 Lamba Leda Daniel Diaman. Menurut dia, peningkatan budaya literasi merupakan agenda baru di sekolahnya.
Daniel menganggap program peningkatan budaya literasi saat ini menjadi kebutuhan utama dalam dunia pendidikan. Antara lembaga pendidikan dan pengembangan budaya literasi, sebut dia, bagai baju dan celana yang kerap dipakai manusia. Dia sudah menjadi kebutuhan utama.
“Harapannya selaku pimpinan lembaga ini, kegiatan workshop jurnalistik dapat bermanfaat dan sebagai pijakan pengembangan literasi di SMAN 3 Lamba Leda. Saya berharap pula setidaknya ada di antara 65 siswa ini yang terpanggil menjadi jurnalis,” harap Daniel.
Penulis: Ardy Abba