Labuan Bajo, Vox NTT- Sidang perkara perdata antara penggugat Hendrikus Chandra melawan Keuskupan Denpasar selaku tergugat I bersama 11 tergugat lainnya telah bergulir di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Sidang yang bergulir sejak September 2021 tersebut tinggal memasuki tahap putusan.
Keuskupan Denpasar dikawal langsung oleh 10 pengacara kenamaan yang dikoordinasi oleh Dr. Munnie Yasmin.
Salah satu kuasa hukum Keuskupan Denpasar, FX. Joniono, meminta hakim agar mempertimbangkan juga saksi dan alat bukti dari penggugat sebelum memutuskan perkara bernomor Nomor 21/Pdt.G/2021/PN.Lbj itu. Penggugat hanya menghadirkan satu saksi saja, yang menurut Joniono, sangat lemah.
Ia menjelaskan, dalam hukum bahwa satu orang saksi itu bukan saksi. Artinya, di mata hukum tidak sah dan tidak memenuhi syarat.
Apalagi dalam fakta persidangan yang sudah ada, saksi penggugat sama sekali tidak memberikan kesaksian yang jelas dan berarti bagi kepentingan penggugat.
“Kami meminta agar Majelis Hakim di PN Kabupaten Manggarai Barat memutuskan perkara ini seadil-adilnya, sesuai dengan fakta dan bukti secara hukum yang ditemukan dalam persidangan,” kata Joniono dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Jumat (04/02/2022).
Obyek tanah yang menjadi pokok perkara ini adalah tanah dengan SHM Nomor 534/Labuan Bajo dengan luas 6.578 M2 dengan gambar situasi nomor 1299/1994 tertanggal 16 Desember 1994.
Joniono menegaskan, tanah tersebut sudah jelas atas atas nama Keuskupan Denpasar yang diperoleh berdasarkan akta jual beli Nomor 08/KK/VI/1991.
Tanah dibeli oleh Keuskupan Denpasar tanggal 30 Agustus 1989 dari pemilik atas nama Kamis Hamnu dan Usman Umar yang juga digugat dalam perkara ini.
Saat jual beli, pihak Keuskupan Denpasar diwakili oleh Uskup saat itu yakni Mgr. Vitalis Djebarus.
Tanah tersebut telah dibayar lunas yang dibuktikan dengan dua lembar kuitansi tertanggal 30 Agustus 1989.
Joniono mengaku antara Mgr. Vitalis Djebarus dengan Hendrikus Chandra memiliki hubungan baik.
Itulah sebabnya, Mgr. Vitalis Djebarus memberikan kuasa kepada Hendrikus Chandra untuk mengurus segala sesuatunya.
Urusan terutama mulai dari proses jual beli sampai terbit akta jual beli atas nama Keuskupan Denpasar.
“Surat kuasa itu tertanggal 10 Mei 1991, diberikan kepada Hendrikus Chandra,” timpal Joniono.
Anehnya, belakangan Hendrikus Chandra justru menjadi penggugat di atas obyek yang sama.
Hendrikus Chandra mengklaim tanah itu miliknya yang diperoleh dari mendiang istrinya yang bernama Trotji Yusuf.
BACA JUGA: Tanah Keuskupan Denpasar Digugat, Kuasa Hukum Minta Majelis Hakim Putuskan Seadil-adilnya
“Aneh, orang yang diberikan kuasa atas dasar kepercayaan seorang Uskup saat itu, sekarang malah menggugat kembali,” ujarnya.
Saat pemeriksaan perkara di PN Labuan Bajo, kata Joniono, Keuskupan Denpasar memberikan bukti-bukti yang kuat.
Beberapa di antaranya adalah surat kuasa tertanggal 10 Mei 1991 dari Keuskupan Denpasar kepada penggugat I Hendrikus Chandra, dua kuitansi pembayaran lunas uang tanah tertanggal 30 Agustus 1989, Surat Akta Jual Beli Nomor 08/KK/VI/1991 tertanggal 22 Juni 1991 antara Kamis Hamnu dan Usman Umar di hadapan Anton US Abatan selaku Camat Komodo saat itu yang bertindak sebagai pejabat pembuat akta tanah.
Kemudian ada juga berita acara pengukuran pengembalian batas nomor IP.02.03./BA.20-53.200/III/2019 tertanggal 13 Maret 2019 yang dikeluarkan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Bukti lain adalah sertifikat asli yakni SHM nomor 534 atas nama Keuskupan Denpasar yang sudah terbit tahun 1994.
“Jadi, orang yang tidak belajar hukum saja tahu alurnya. Kuitansi jual beli ada. Surat kuasa ada. Akta jual beli ada. Berita acara pengukuran pengembalian batas tanah ada. Sertifikat yang asli nomor 534 atas nama Keuskupan Denpasar yang terbit tahun 1994 ada. Logika hukum tidak masuk kalau saudara Hendrikus Chandra menggugat tanah tersebut yang katanya milik mendiang istrinya,” ujarnya.
Dia menambahkan, sertifikat SHM nomor 534 milik Keuskupan Denpasar diterbitkan terlebih dahulu oleh BPN Kabupaten Manggarai Barat yakni pada tahun 1994. Sedangkan SHM yang diakui oleh Hendrikus Chandra baru terbit pada tahun 2012.
“Jika terdapat sertifikat ganda di atas tanah yang sama dan bila ternyata keduanya sama sama otentik, maka bukti yang paling kuat adalah sertifikat yang terbit terlebih dahulu dan sekaligus menggugurkan sertifikat yang terbit kemudian,” tandas Joniono.
Apalagi dalam petitumnya, lanjut dia, penggugat meminta agar majelis memroses kesalahan BPN dan meminta PN membatalkan sertifikat 534.
“Ini salah alamat,” ujarnya.
Penulis: Ardy Abba