Jakarta, Vox NTT- Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) Jabodetabek dan Perkumpulan Mahasiswa Basudara NTT Pamulang menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta, Rabu (09/02/2022)
Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan untuk menolak rencana proyek geothermal Wae Sano, Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Unjuk rasa berlangsung di Kantor KLHK dan Kementerian ESDM.
Ketua umum SP NTT Jabodetabek Saverius Jena dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, mendesak dan menuntut Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi, dan DPRD setempat untuk menindaklanjuti aspirasi penolakan rencana pengembangan panas bumi di WKP Wae Sano ke Pemerintah Pusat.
Jena juga mendesak dan menuntut Bupati Edi dan Wakilnya Yulianus Weng untuk berhenti memfasilitasi “niat jahat” pihak PT SMI dalam mengembangkan panas bumi di WKP Wae Sano.
“Sebaliknya harus tunduk dan taat pada suara rakyat selaku pihak yang memberikan mandat kepada Anda sebagai Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Barat,” ujar Jena.
Ia juga menuntut dan mendesak PT Geo Dipa Energi (Persero) dan PT Sarana Multi Infrastruktur untuk segera menghentikan segala aktivitas di Desa Wae Sano, termasuk berhenti membuat konflik antar- sesama masyarakat Desa Wae Sano dan sekitarnya.
Tidak sampai di situ saja, Jena juga menuntut dan mendesak Menteri Pariwisata, Sandiaga Salahuddin Uno untuk menolak rencana eksplorasi dan eksploitasi geothermal, dan mendukung pengembangan pariwisata Danau Sano Nggoang yang berbasis pada masyarakat.
“Menuntut dan mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya untuk segera turun tangan, menghentikan rencana pengembangan panas bumi yang berpotensi besar merusak lingkungan dan ekosistem, juga Danau Sano Nggoang sebagai salah satu danau vulkanik kebanggaan Provinsi NTT,” tegasnya.
Senanda dengan rekannya, Ketua umum PMB NTT Pamulang Yusuf Hendra S SuJu juga ikut menuntut dan mendesak Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, DPRD Provinsi NTT untuk serius melakukan moratorium tambang di provinsi itu, termasuk di dalamnya menghentikan rencana pengembangan panas bumi di WKP Wae Sano dan wilayah lainnya.
Yusuf juga menuntut dan mendesak Menteri ESDM, Arifin Tasrif untuk segera menghentikan rencana eksplorasi dan eksploitasi panas bumi di WKP Wae Sano.
“Menuntut dan mendesak Menteri Keuangan, Sri Mulyani di Jakarta untuk segera menghentikan rencana eksplorasi dan eksploitasi oleh PT Sarana Multi Infra Struktur di WKP Wae Sano, selaku perusahaan Badan Usaha Milik Negara di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia,” ujarnya.
Dasar Penolakan
Ketua umum SP NTT Jabodetabek Saverius Jena mengatakan, masyarakat lingkar danau Sano Nggoang yang terdiri dari warga di tiga kampung adat di Desa Wae Sano (Dasak, Nunang dan Lempe) dan satu kampung adat di Desa Pulau Nuncung (Kampung Lenda) telah menyatakan ketegasan hati mereka “menolak rencana penambangan panas bumi dalam ruang hidup mereka”.
Mereka juga, lanjut Jena, dengan tegas menolak siasat pemerintah dan perusahaan yang melakukan kegiatan konsultasi publik yang memakai pendekatan adat duduk bersama (Lonto Leok) di Kampung Lempe dan di Kantor Desa Wae Sano.
“Konsultasi publik, apalagi kalau memakai pendekatan adat duduk bersama (Lonto Leok) seharusnya mendengarkan warga, bukannya memaksakan kehendak kepada warga,” tegasnya.
Menurut dia, warga juga sudah menyatakan penolakan terhadap pengeboran panas bumi di dalam ruang hidup mereka dengan berbagai cara: mulai dari siaran pers, unjuk rasa, hingga menulis surat penolakan kepada Bank Dunia dan kepada Presiden.
“Karena itu, acara duduk bersama (Lento Leok), mereka nilai sebagai siasat busuk dari pemerintah untuk terus memaksakan proyek geotermal Wae Sano. Ini bukan lagi konsultasi publik, melainkan pemaksaan publik,” tambah Jena.
Sementara itu, Ketua umum PMB NTT Pamulang Yusuf Hendra S SuJu yang juga korlap aksi mengatakan, selama ini pemerintah terkesan tidak mendengar suara penolakan warga.
Hal itu terbukti ketika pemerintah secara sepihak melakukan penandatanganan MoU yang di antaranya dilaksanakan oleh Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, PT Geo Dipa Energi (Persero), PT Sarana Multi Infrastruktur, dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat untuk mengembangkan Panas Bumi di Wae Sano.
Dalam acara tersebut juga turut ditandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Pengadaan Tanah untuk Area Eksplorasi (Pengeboran Eksplorasi) pada Wilayah Terbuka Wae Sano antara PT Geo Dipa Energi (Persero) dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Yusuf menegaskan, upaya sepihak pemerintah dan perusahaan ini menimbulkan banyak pertanyaan penting dari warga selaku pemilik ruang hidup Wae Sano. Itu terutama terkait kepentingan apa dan siapa sesungguhnya yang sedang diperjuangkan di balik upaya paksa pembangunan ini.
Yusuf juga menegaskan, sejak awal warga Wae Sano sudah menyuarakan bahwa titik eskplorasi berada di dalam ruang hidup mereka.
“Yang mereka maksudkan dengan ruang hidup adalah, kesatuan yang utuh tak terpisahkan antara pemukiman (golo lonto, mbaru kaeng, natas labar), kebun pencaharian (umat duat), sumber air (wae teku), pusat kehidupan adat (compang takung, mbaru gendang), kuburan (lepah boak) dan hutan dan danau (puar agu sano),” katanya.
Bila ruang hidup warga rusak, maka makna hidup sebagai sebuah kelompok masyarakat adat tentu saja akan hancur.
Dikatakan, titik pengobaran yang telah ditetapkan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur dan PT Geo Dipa Energi (Persero), berlokasi di Lingko Laja persis di belakang kampung Nunung. Lingko Laja sendiri merupakan warisan leluhur yang dikeramatkan.
Lingko, jelas Yusuf, merupakan tempat dikuburnya leluhur (keturunan 1) masyarakat kampung Nunang termasuk benda – benda sakral milik leluhur tersebut.
“Berdasarkan amanat leluhur bahwa lingko tersebut dilarang keras untuk dialihfungsikan selain untuk berladang,” tandasnya.
Apalagi lokasi pengeboran jaraknya ± 60 meter dari kampung Nunang. Aktivitas pengeboran tersebut pun berpotensi sangat menganggu kenyamanan dan ketenteraman masyarakat Kampung Nunang yang sudah terbina sejak dulu kala.
Penolakan Selalu Dibantah Pemerintah
Dalam rilis yang sama, Jenderal Lapangan aksi Deditus Seneng menegaskan, selama ini suara penolakan warga selalu dibantah oleh pemerintah dengan dalih bahwa energi geothermal sebagai energi yang ramah lingkungan, karena itu perlu didukung.
“Bagi kami pernyataan ini sangat asumtif dan tidak berbasis pada fakta serta dengan jelas menunjukkan kemalasan pemerintah untuk mendalami berbagai informasi tentang daya rusak energi geothermal,” ujar Deditus.
Salah satu contoh kasus yang membantah dalih pemerintah adalah proyek pengembangan geothermal di Kampung Mata Lako, Kabupaten Ngada NTT. Selain telah gagal total, juga telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah bagi lingkungan sekitar.
Lokasi persawahan warga yang berjarak 2-3 KM tidak bisa digunakan lagi karena sumber airnya sudah kering. Juga kasus yang terjadi di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal.
Pada hari Senin, 25 Januari 2021, lima warga mati dan setidaknya puluhan korban lainnya masih menjalani perawatan di rumah-sakit, karena semburan gas dari sumur bor proyek ekstraksi panas-bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP).
Empat dari lima yang tewas adalah perempuan–dua ibu berusia 40-an dan anak perempuannya, usia 5 dan 3 tahun, serta satu petani remaja berusia 15.
Kemudian, kata Deditus, dampak-dampak lain yang dihasilkan jika pengelolaan geothermal ini terus dilanjutkan, seperti ekologi yang ditandai dengan berkurangnya sumber mata air, kerusakan lahan pertanian, tumbuhan menjadi keropos dan mati, dan terjadinya gempa bumi.
Selanjutnya, dampak ekonomi yang ditandai dengan gagal panen, kehilangan mata pencaharian. Dampak sosial-budaya yang ditandai dengan timbulnya konflik horizontal dan vertikal, terganggunya relasi sosial, hilangnya ritus adat dan situs budaya, meningkatnya penyakit ISPA dan kulit, dan punahnya kampung Nunang. (VoN)