Oleh: Yohanes Mau
Misionaris SVD, asal Belu Utara-NTT-Indonesia.
Kini tinggal di Zimbabwe-Afrika.
Angka di kalender tertulis 5 Februari 2022. Hari itu menjadi momen penting di dalam buku pastoral harian keuskupan atambua.
Dikatakan demikian karena pada hari itulah Mgr. Dominikus Saku, Pr selaku Uskup Atambua mengeluarkan Surat Pelarangan ritual adat Hel Keta kepada semua umat katolik di wilayah pastoral Keuskupan Atambua.
Wilayah pastoral keuskupan atambua meliputi Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Malaka, dan Belu. Surat ini menimbulkan aneka reaksi dari umat.
Umat seolah merasa bahwa Gereja hadir untuk melarang masyarakat berbudaya dan melestarikan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Pada awal dikeluarkannya surat pastoral resmi ini umat pasti bertanya, ada apa dengan Hel Keta?
Ritual ini lazim dilakukan oleh suku dawan sebelum menikah apabila kedua keluarga besar ada perselisihan di masa silam.
Dari kacamata Gereja ritual Hel Keta tidak sesuai dengan ajaran gereja, tidak memiliki dasar dalam kehidupan socio- cultural, dan memiskinkan umat yang ekonomi hidupnya sudah lemah lembut.
Ini beberapa alasan di balik surat larangan itu. Barang siapa yang melakukan acara Hel Keta sebelum resmi menerima sakramen perkawinan maka pemberkatan pernikahannya dibatalkan.
Pernyataan itu meriasuhkan sebagian besar umat keuskupan atambua, dan aneka reaksinya.
Namun perlu dipahami bahwa seorang pemimpin Gereja tertinggi di wilayah keuskupan melakukan suatu keputusan berdasarkan inspirasi roh Kudus dan kajian budaya yang mendalam.
Uskup sendiri adalah warga suku dawan, maka tidak diragukan lagi akan keputusan surat larangan itu. Mungkin saja ada hal-hal praktis yang bertentangan dengan ajaran Gereja.
Berdasarkan tujuan pelaksanaan Hel keta itu ritual rekonsiliasi pemulihan. Momen mendamaikan kedua pihak keluarga untuk menjalin relasi normal seperti yang dulu lagi.
Hel Keta menghubungkan kembali tali perdamaian yang telah lama putus oleh masa lalu. Segala yang telah berlalu dan masih terbalut oleh rasa benci kini dipugarkan kembali menjadi damai.
Hel keta menyatuhkan kembali yang tercecer dan mengalirkan damai untuk kedua belah pihak suku.
Di sanalah cinta kedua sejoli bertumbuh dan bersemi di dalam keluarga baru diselimuti balutan hangat damai. Hidup yang layak dihidupi adalah hidup yang berlandaskan damai.
Suku dawan pada umumnya dalam membudayakan ritual Hel Keta bukanlah akhir dari seremonial untuk menyatuhkan kedua belah pihak keluarga, tetapi lebih dari itu adalah bagian terpenting yag telah diwariskan secara turun temurun sebelum adanya Gereja.
Gereja masuk dan melebur di dalam tradisi budaya Hel Keta. Di sana para misionaris melihat bahwa praktik-praktik tradisi dan budaya lokal itu telah dan sedang merayakan ritus pertobatan.
Ritus pemulihan kembali untuk berdamai dan berjalan bersama menuju esok dengan langkah ringan. Sehingga sekarang di dalam gereja katolik dikenal dengan sebutan Gereja yang ber-inkulturasi.
Gereja yang membudaya. Gereja yang tidak serta merta mendobrak masuk budaya masyarakat dengan nilai-nilai Injil tetapi Gereja yang melebur di dalam budaya wilayah setempat.
Seremonial Hel Keta menjadi sempurna dipadukan di dalam Ekaristi sebagai puncak tertinggi dari kehidupan umat beriman katolik.
Maka di sini dapat dipandang dan dijunjung tinggi ritual Kel Keta sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang lama dan baru.
Cara lama yang ada bukanlah sebagai gangguan yang mesti dihapuskan tetapi cara lama itu diperbaharui dengan cara baru di dalam Kristus sebagai satu kesatuan yang utuh.
Lantas bagaimana dengan surat keputusan yang telah dikeluarkan oleh Dominikus Saku, Pr selaku uskup atambua terkini? Jalan terbaik adalah surat keputusan itu ditarik kembali.
Memang surat keputusan dikeluarkan berdasarkan pertimbangan matang. Namun yang terbaik adalah jangan hanya melakukan penelitian di satu wilayah dawan saja.
Sebaiknya perlu dilakukan penelitian di beberapa wilaya dawan yang memiliki basic kuat akan ritual Hel Keta.
Dalam penelitian hal terpenting yang mesti diperhatikan adalah menghadirkan tokoh-tokoh adat, budayawan untuk menggali secara mendalam akan tradisi Hel Keta.
Pendekatan komunikatif adalah jalan terbaik untuk mengerti secara holistic akan adanya Hel Keta dan praktik-praktiknya oleh suku dawan.
Menggali informasi akan adanya Hel Keta ini juga artinya suatu respek tinggi terhadap budaya lokal yang telah membesarkan warga suku dawan.
Jadi, melarang dan menghapusnya secara sepihak itu artinya mengecewakan tokoh-tokoh adat suku dawan serta semua umat yang selama ini menjunjung tinggi peradaban budaya Hel Keta.
Ritual ini menjadi bagian tak terpisahkan dari suku dawan. Maka jalan terbaik adalah jangan larang, tetapi selidikilah lebih dalam dan hilangkan unsur-unsur lama yang masih mengarah kepada praktik berhala dan menguras.
Kalau saja sejauh tidak ada unsur berhala maka biarlah budaya ini tetap ada dan dilestarikan hingga keabadian.
Melestarikan Budaya Hel keta
Saya secara pribadi mengimbau agar Hel Keta jangan dilarang tetapi diperbaharui dan dilestarikan. Mengapa ritual Hel Keta dilestarikan? Karena Hel Keta telah ada sebelum adanya Gereja.
Hel Keta adalah jalan yang menyatukan umat dan Gereja. Maka jalan terbaik adalah mari semua umat bersatu dan bulatkan hati untuk rawat Hel Keta.
Dari Hel Keta menuju Gereja yang inkulturasi. Gereja yang mencairkan kebekuan umat dan mencairkan segala kebajikannya di dalam realitas hidup umat secara hari ini tanpa melenyapkan peradaban-peradaban yang telah ada.
Gereja datang dan hadir untuk menggenapi Hel Keta bukan untuk melenyapkannya.
Di dalam ritual Hel Keta terselubung nilai-nilai kebajikan kristiani yang menghantar kedua pribadi yang berbeda karakter dan hati disatukan tanpa menoleh ke belakang.
Sejarah silam dan hitam menjadi putih salju menuju bahagia. Bahagia yang sesungguhnya adalah ketika adanya keharmonisan di dalam keluarga bersama anugerah-anugerah kehidupan yang Tuhan titipkan.
Hel Keta adalah proses ungkapan syukur dan merayu Sang pemilik semesta untuk menyatuhkan kembali segala keterceceran dan kececokan nenek moyang pada masa lampau.
Biarkanlah Hel Keta tetap terlestari di tengah derasnya budaya luar yang mengalir masuk menggerogoti budaya lokal.
Kita semua adalah anggota Gereja yang mengimani Kristus dan sedang berziarah menuju kepenuhan iman sejati.
Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah sarana yang telah diciptakan olehNya untuk manusia bisa merasakan bahwa di sanalah Tuhan hadir.
Tuhan menyatakan diri di dalam semesta yang indah dan memesona. Manusia diciptakannya secara istimewa agar kreatif dan mampu melestarikan semesta secara baik.
Di balik peradaban budaya terselubung nilai kaya makna. Makna menghantar seseorang untuk tahu unsur dan ujud tertinggi dari ritual Hel Keta.
Hadirnya sesuatu yang berlawanan dengan nilai-nilai kristiani pasti akan dilawan dan dihapuskan bila mengganggu kesakralan ritual kristiani.
Namun di balik suatu budaya kalau ada nilai kebajikan dan berpuncak kepada ujud tertinggi sang penguasa langit dan bumi maka mari kita lestarikan bersama.
Gereja harus bergandeng tangan bersama budaya masyarakat dalam merawat dan melestarikannya, sehingga dari sana terciptalah lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya nilai-nilai kristiani.
Di sini Gereja menjalin relasi haromonis dengan budaya masyarakat dan saling melengkapi satu sama lain. Mari berjalan bersama melewati ziarah panjang ini menuju akhir yang membahagiakan.