Dewa Damai
Di penghujung malam ini
Izinkanlah rindu ini terlelap dalam pelayaran malammu
Di penghujung malam ini
Izinkanlah mimpi yang tak sempat ku raih
Menyingsing bersama senyummu esok pagi
Di penghujung malam ini
Izinkanlah mahligai batinku
Merangkul kembali amarahku dalam kata “Maaf”
Sekali lagi dan lagi
Izinkanlah aku menjadi dewa damai
Untuk Kau yang di Sana
Aku di sini kehilangan jari jemari
Menghabiskan tinta nadiku
Mengukir dalam segala
Merangkul jiwamu di antara bebatuan
Menjahit kenangan bersama semilir angin
Kau pun tahu
Aku pernah berontak
Mengapa Tuan rumah
Lebih betah dengan senyummu dan bukan tangisku?
Tanya
Malaikat di Perantauan
Aku merilis rindumu
Bersama sajak-sajak yang merana
Menjahit senyummu yang kian pudar
Pun di kemarau
Mataku perih menahan ombak tangis
Terbayang istana bahagia kala itu
Sampai kapan aku meniduri sunyi
Temaram rembulan tak lagi sejuk
Aku di sini
Sesak mengukir jejak
Pedang makin rentan menenangku
Malaikat di perantauan
Masih pantaskah aku mengenangmu
Walau engkau tak pantas untuk dikenang?
Tanya
Pergimu
Siapa sangka
Ternyata
Pergimu adalah kebahagiaanku
Karena aku lebih bebas
Bersajak tentang dustamu
Tergolong Dewasa
Rindu ini tergolong dewasa
Mengingat aku telah belajar
Menjadi penjala egomu
Raga terlampau manja
Bermandikan keabaian
Lantas kubertanya
Kapankah kita bebas memuja cinta
Setelah rohnya kita bisukan?
Catatan : Puisi-puisi ini pernah dibukukan, dengan judul “Malaikat di Perantauan”
Sony Bandung (Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang)