Ruteng, Vox NTT- Dana program penanganan pencegahan stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp165 miliar diduga tidak tepat sasaran.
Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (KOMPAK) Indonesia pun siap melaporkan hal tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kejujuran Ketua Pokja Stunting NTT Sarah Lery Mboeik mengakui ke publik bahwa pelaksanaan program pencegahan stunting di NTT dengan anggaran 165 miliar oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tidak tepat sasaran dan ada yang one man show patut didukung untuk dibongkar tuntas,” ujar Ketua KOMPAK Indonesia, Gabriel Goa, dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Sabtu (26/03/2022).
Menurut Gabriel, dulu Ketua Pokja Stunting NTT Sarah Lery Mboeik dikenal sebagai orang yang cukup garang dalam pemberantasan korupsi.
Karena itu, kata dia, saat ini wajib hukumnya Sarah Lery Mboeik melaporkan kasus tersebut ke KPK.
Gabriel sendiri mengaku siap mendampingi Ketua Pokja Stunting NTT untuk melaporkan resmi ke KPK yang tentu saja disertai bukti laporan resmi hasil audit BPK RI.
“Ibu Sarah juga bisa menjadi whistleblower (peniup pluit/pelapor) membongkar one man show di NTT yang diduga kuat sangat berkuasa sehingga OPD bertekuk lutut tak berdaya dalam realisasi program stunting sehingga salah sasaran,” tegas Gabriel.
Ia menambahkan, jika Ketua Pokja Stunting NTT tidak melakukan apa-apa atau takut membongkar dugaan korupsi berjemaah dana stunting di NTT senilai Rp165 miliar, maka KOMPAK Indonesia bersama AMMAN Flobamora, beserta Penggiat Anti-Korupsi akan melaporkan resmi ke KPK.
Sebagaimana dilaporkan Korantimor.com, Ketua Pokja penanganan pencegahan stunting NTT Sarah Lery Mboeik
mengakui pelaksanaan program pencegahan stunting oleh OPD di provinsi itu tidak tepat sasaran.
Salah satu sebabnya menurut Sarah, karena tidak adanya komitmen OPD dan dinas teknis terkait dalam melaksanakan program sesuai rancangan tata kelola pelaksanaan program sebagaimana hasil desain Pokja.
“Banyak program (yang dilaksanakan baik oleh OPD di Provinsi maupun Kabupaten/Kota-red) tidak berbasis pada hasil ansit atau hasil analisa situasi (yang didesain Pokja-red), makanya ada temuan (BPK-red) di situ,” jelas Sarah saat diwawancarai Korantimor.com di Kantor PIAR NTT pada Kamis (24/03/2022).
Menurut Sarah, program pemberian makanan tambahan (PMT) tidak tepat sasaran pada penerima manfaat. Sebut saja misalnya, PMT menyasar kepada anak SD atau SMP. Padahal, PMT seharusnya diberikan kepada anak balita gizi buruk.
“Itu misalnya begitu. Kemungkinan besar seperti itu. Kemungkinan tidak tepat sasaran kepada semua anak gizi buruk,” imbuh dia.
Selanjutnya, ungkap Sarah, program air bersih kemungkinan tidak diberikan pada daerah lokus stunting. Hal tersebut menurut dia, merupakan temuan BPK.
“Kita mesti akui, dan kami sendiri (Pokja) juga temukan itu dan mempertanyakan konsistensi teman-teman (OPD provinsi dan kabupaten/kota-red) terhadap hasil ansit itu,” tegasnya.
Ia menambahkan, pencegahan stunting tidak tepat sasaran juga karena program tersebut tidak dilakukan dalam satu koordinasi tim kerja yang kompak dan solid. Pelaksanaannya terkesan hanya monopoli orang tertentu atau one man show.
“Saya tidak bermaksud untuk mencuci tangan (terkait masalah pencegahan stunting di NTT- red), tetapi yang saya lihat adalah banyak yang masih kerja one man show. Padahal ini (stunting-red) masalah multi sektor. Gereja harus kita libatkan, masjid harus kita libatkan, lembaga adat harus kita libatkan,” jelas Sarah.
Dikatakan, dari 25 cakupan persoalan dasar stunting, Pokja menemukan hal pertama dan mendasar yaitu sanitasi dan air bersih. Kedua, bina keluarga balita dan PKH.
“PKH itu yang katong (kita) dapat (temukan di lapangan-red) ketika kita melakukan indepth monitoring, kartu PKH yang seharusnya dipegang ibu-ibu itu dipegang oleh bapak-bapak. Padahal, tujuannya untuk pemulihan kesehatan. Tetapi ditemukan, misalnya di Sumba, PKH itu digunakan untuk bayar hutang pesta,” bebernya.
Kemudian terkait air bersih, menurut Sarah, seluruh wilayah untuk program 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
“Kita temukan, untuk be’ol (buang air besar-red) mereka taputar (berpindah-pindah). Ini hari di sini, lalu besok di situ, dan seterusnya,” ungkap Sarah.
Seharusnya, kata mantan Anggota DPR RI itu, program air bersih tepat pada sasaran penerima manfaat dan tidak asal kemauan atau keinginan pelaksana program.
“Bukan lu (Anda) punya basis politik di mana, baru lu pi (pergi) ke situ. Ini yang jadi soal. Saya memang tidak bisa pungkiri. Itu namanya temuan BPK memang begitu karena kerja penanganan stunting tidak berdasarkan hasil ansit,” tegasnya.
Penulis: Ardy Abba