Jakarta, Vox NTT– Klarifikasi Kejaksaan Agung (Kejagung) soal mafia hukum dan peradilan dalam sebuah kasus di Jakarta Pusat dibantah para korban yang dikriminalisasi.
Sejumlah bukti sejak penyelidikan dan penyidikan bisa dipertanggungjawabkan agar prinsip keadilan dan kebenaran terungkap.
Aparat hukum (polisi, jaksa dan hakim) yang terkait dalam proses hukum tersebut perlu diperiksa.
Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (Kompak) Indonesia mendesak agar klarifikasi soal mafia hukum tersebut perlu memperhatikan bukti dan proses yang sudah dijalani para korban.
Apalagi, sejak awal ditahan tahun lalu, tudingan korban sebagai mafia tanah tidak terbukti.
Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia Gabriel Goa menilai ada yang tidak beres terkait kasus ini sejak awal penahanan hingga putusan hukum.
Klarifikasi yang disampaikan Kejaksaan Agung dikhawatirkan tidak diperkuat dengan bukti yang cukup.
“Sejak awal polisi mengatakan penahanan karena terkait mafia tanah tapi tidak terbukti. Sekarang Kejaksaan Agung melakukan klarifikasi atas proses hukum yang juga keliru. Jangan sampai semua bukti dan proses hukum yang diterima Kejaksaan Agung tidak lengkap atau sengaja ditiadakan,” ujar Goa dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (23/4/2022).
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Ketut Sumedana di Jakarta, Selasa (22/3), menyampaikan tanggapan atas beberapa pemberitaan media bahwa korban laporkan jaksa ke Kejagung dan Komisi III DPR RI.
Klarifikasi dimuat dalam laman resmi kejaksaan.go.id dan sejumlah media online terkait kasus di Jalan Bungur Besar Raya Nomor 54 Kecamatan Bungur Jakarta Pusat.
Adapun korban yang dikriminalisasi atas kejadian pada awal Februari 2021 itu diantaranya Devid dan Effendi.
“Dugaan terjadinya kriminalisasi hukum dan kriminalisasi HAM terhadap terpidana Devid dan terpidana Effendi adalah tidak benar karena penanganan perkara sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” kata Kapuspenkum.
Selanjutnya, kata Ketut, terkait dugaan JPU tidak melaksanakan restorative justice juga tidak benar karena beberapa hal.
Di antaranya, tidak ada perdamaian dalam tingkat penyidikan dan pada tahap penyerahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) serta perkara splitsing atas nama terpidana M dan terpidana AS, dkk telah terlebih dahulu disidangkan.
Kemudian, terpidana Devid dan Effendi merupakan pelaku utama (dader) yang mengajak terpidana M dan AS,dkk (mededader) untuk melakukan perbuatan yang didakwakan.
Padma dan Kompak menepis klarifikasi Kejagung tersebut. Informasi dan bukti dari para korban menyebutkan sudah ada kesepakatan (perdamaian) dan pencabutan laporan dilakukan di Polres Metro Jakarta Pusat saat penyelidikan.
“Saat wawancara P21, kami sudah memberikan surat kesepakatan bersama/perdamain dan surat pencabutan laporan kepada jaksa walaupun penyidik mengatakan itu sudah diberikan semua ke jaksa,” ujar salah satu korban mafia hukum tersebut.
Terkait dengan penyebutan sebagai pelaku utama (dader) juga dibantah. Menurut korban, jika merunut pasal 335 ayat 1 KUHP, mereka bukan pelaku utama.
Hal ini sesuai fakta persidangan yang menyebutkan saat kejadian tidak terlihat terdakwa dan mereka tidak dilaporkan.
“Dalam persidangan disebutkan semua terjadi spontan dan tidak disuruh siapapun,” ujar korban.
Sebelumnya, mewakili korban Devid dan Effendi, Padma Indonesia melaporkan ke berbagai pihak, seperti Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung.
Korban juga melapor ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Komisi III DPR RI terkait kriminalisasi hukum dan diskriminasi hak asasi manusia (HAM).
Secara khusus, korban juga mempertanyakan dakwaan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan pasal 114 ayat (2) UU Narkotika yang sudah diumumkan ke publik. Penerapan pasal tersebut keliru dan menyalahi Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHP. [*]
Sumber: Rilis