Oleh: Lalik Kongkar
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. pendidikan dengan berbagai coraknya yang berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, semestinya pendidikan selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis) tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Perhatian dan pemikiran terhadap pendidikan selalu muncul sepanjang zaman karena pendidikan pada hakikatnya adalah meminjam bahasanya John Dewey “a necessity of life” (kebutuhan dasar umat manusia).
Sehingga pendidikan merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan manusia.
Hal tersebut semakin di rasakan urgen dan kemestiannya pada saat muncul berbagai masalah dalam kehidupan manusia yang menyangkut peningkatan kesejahtraan dan kebahagiaan mereka.
Begitu urgennya pendidikan, Munir Mulkhan mengatakan secara ektrim bahwa, nasib suatu bangsa dan peradaban di masa depan terlihat dan tergantung dari bagaimana bangsa itu memperhatikan dan mengembangkan pendidikan bagi generasi dan anak-anak bangsa.
Sebuah bangsa dan peradaban adalah produk pendidikan, kegagalan suatu bangsa dan hancurnya sebuah peradaban adalah kegagalan dunia pendidikan.
Mengingat pentingnya pendidikan bagi kemajuan beangsa dan peradaban, maka dibutuhkan model pendidikan nasional yang bermutu. Hal ini seperti yang diamanatkan oleh UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pada BAB II Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemapuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Makna di Balik Peringatan Hardiknas
Hari Pendidikan Nasional, atau disingkat dengan Hardiknas, diperingati setiap tanggal 2 Mei.
Hardiknas sendiri merupakan slaha satu hari yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia guna memperingati kelahiran Ki Hadjar Dewntara.
Beliau adalah tokoh pelopor pendidikan di Indonesia, pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa, dan pahlawan nasional.
Tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara inilah yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Sebagaimana kita ketahui bahwa, dalam pelaksanaan peringatan Hardiknas dilrayakan dengan berbagai macam cara oleh insan-insan pendidikan di seluruh tanah nusantara, mulai dari upacara, seminar, mengadakan perlombaan, turun ke jalan, dan lain sebagianya.
Perayaan-perayaan tersebut dilakukan agar insan-insan pendidikan bisa memahami serta memaknai makna pendidikan yang sebenarnya.
Akan tetapi, tidak sedikit dari kita yang merayakannya hanya dilakukan secara seromonal belaka, tanpa mengetahi makna dibalik peringatan hari pendidikan nasional yang dilaksanakan.
Tujuan peringatan Hardiknas bukan hanya dirayakan secara seromonial belaka, akan tetapi tujuan yang sebenarnya adalah bagaimana memperkuat komitmen seluruh insan pendidikan akan penting dan strategisnya pendidikan bagi peradaban dan daya saing bangsa, meningkatkan kembali kepada seluruh insan pendidikan akan filosofi perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam meletakkan dasar dan arah pendidikan bangsa, serta meningkatkan rasa nasionalisme dikalangan insan pendidikan.
Dengan demikian, peringatan Hardiknas yang dilakukan akan membekas dalam jiwa seluruh insan pendidikan yang akhirnya bisa memberikan kontribusi yang efektif-konstruktif bagi kemajuan bangsa dan Negara melalui pendidikan.
Realitas Pendidikan Nasional
Realias pendidikan nasional kita hari ini masih dilanda berbagai macam problem, baik dari tataran ontology, epistemologi, aksiologi, manajemen, kesadaran, dan lain sebagainya. Sehingga berdampak pada penurunan mutu pendidikan nasional.
Persoalan pendidikan pada hakikatnya merupakan persoalan yang berhubungan langsung dengan kehidupan manusia dan mengalami perubahan serta perkembangan sesuai dengan kehidupan tersebut, baik secara teori maupun konsep operasionalnya.
Problem-problem yang dihadapi oleh manusia sering dicari pemecahannya dalam dunia pendidikan.
Dalam hal ini, mungkin orang akan mempertanyakan konsep filosofis yang melandasi sistem pendidikan yang sedang dilaksanakan atau mungkin juga konsep-konsep operasionalnya ditinjau dan dikritik serta diperbahrui agar tetap relevan dan up to date dengan tuntutan perbahan dan perkembangan kehidupan mansuia (shalih li kulli zaman wa makan).
Sudah menjadi rahasia umum, kejahatan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai saat ini telah dilakukan oleh berbagai golongan dalam lapisan masyarakat dan berbagai aspek kehidupan.
Ironisnya kejahatan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai ini justru banyak dilakukan oleh kaum atau golongan yang seharusnya memberikan teladan kepada masyarakat luas atau yang dikenal dengan sebutan penjahat kerah putih (white color crime).
Tindakan yang merugikan masyarakat luas ini merupakan kejahatan yang dilakukan oleh golongan terpelajar, pengusaha, pejabat dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Bahkan kejahatan kerah putih ini lebih berbahaya daripada yang dilakukan oleh kaum kerah biru (blue color crime), yaitu golongan yang menempati strata rendah, kaum kurang terdidik atau kurang terpelajar.
Jika dikaitkan dengan pendidikan, hal itu menunjukkan rapuhnya landasan moral dan nilai-nilai dalam pendidikan.
Sistem nilai dan moral yang terbangun dari dunia pendidikan masih jauh dari harapan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pendidikan nasional perlu merekonstruksi kembali konsep dan sistem pendidikannya sesuai dengan moral dan nilai-nilai Islam serta sesuai dengan moral dan nilai-nilai pancasila sehingga dapat membangun peradaban sesuai dengan misi Islam serta sesuai dengan misi ideologi Negara yaitu pancasila.
Pendidikan tidak lagi berorientasi pada kemandirian para peserta didik, tetapi justru menjerumus ke praktik-praktik dehumanisasi.
Para peserta didik tidak dikondisikan pada situasi-situasi pembelajaran yang mendorong tumbuhnya kemampan untuk memecahkan masalah, tapi lebih pada orientasi pragmatis mendapatkan nilai dan lulus.
Proses pendidikan telah direduksi sekedar transformasi knowledge, namun miskin aplikasi.
Paradigma pendidikan seharusnya memandangg siswa/mahasiswa sebagai subjek pendidikan.
Pendidikan merupakan proses pendewasaan, interaksi edukasional, dan pembentukan karakter (budi pekerti) serta pembenatukan akhlak (adab).
Pendidikan nasional kita hari ini masih menerapkan model pendidikan “gaya bank” seperti yang dikritik Paulo Fraire, para murid diposisikan sebagai objek pendidikan dan menjauhkannya dari realitas sosialnya.
Dan masih banyak lagi problem-problem yang terjadi di sector pendidikan nasional kita yang tidak penulis sebutkan dalam tulisan ini, tanpa mengesampingkan prestasi-prestasi serta keberhasilan yang diraih oleh pendidikan kita.
Namun, secara realita kita bisa melihat bahwa, problem yang terjadi di sektor pendidikan lebih menonjol dari pada keberhasilan yang pernah diraih oleh pendidikan nasional kita.
Sebagai indikatornya adalah pendidikan nasional belum mampu mewujudkan apa yang menjadi tujuan pendidikan, seperti yang tertuang dalam UU Sisdiknas NO. 20 Tahun 2003.
Jadi, dapat dipahami bahwa, pendidikan nasional belum mampu mengembangkan kemapuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, serta belum mampu mencetak generasi-generasi bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Pendidikan Nasional Masa Depan yang Mencerdaskan
Pendidikan dalam pandangan Paulo Fraire, ditunjukkan untuk menggugah kesadaran kritis para pelajar dan dipahami sebagai aksi kultural untuk memanusiakan manusia.
Pendidikan harus berorientasi pada realitas diri dan manusia dalam relasi yang kompleks dengan realitas sosialnya.
Melalui proses tersebut, setiap pelajar secara langsung dilibatkan dalam permasalahan realitas sosial dan eksistensi dirinya.
Dalam konteks ini, pendidikan diarahkan untuk membangun kemampuan kritis pelajar dengan mengedapankan etika dan estetika.
Dengan kata lain, pendidikan nasional ke depannya harus bisa mengarahkan pelajar sebagai generasi bangsa agar mereka menjadi pribadi yang cerdas dan berakhlak, sehingga mereka mampu membangun bangsa yang adil dan beradab.