Ruteng, Vox NTT-Perubahan iklim telah nyata terjadi di Nusa Tenggara Timur, terutama di Kawasan Flores Timur, Lembata, dan Manggarai.
Hal ini ditemukan pada kajian kerentanan iklim yang dilakukan oleh Koalisi Pangan Baik yang beranggotakan Kehati, Yaspensel, Ayu Tani, Ayo Indonesia, dan KRKP.
Kajian ini dijalankan oleh koalisi pangan baik sebagai bagian dari kegiatan Koalisi Voices for Just Climate Action Indonesia yang dikomando oleh Hivos.
Berdasarkan hasil survei, ditemukan beragam fenomena tak lazim yang terakumulasi secara massif di 6 wilayah desa/kota di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur.
Survei ini sedikitnya menggambarkan bahwa perubahan iklim yang tidak segera dimitigasi sangat berdampak terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
Ada 3 tren yang diukur dalam survei, yakni tingkat sensitivitas (kepekaan), kerentanan, dan resiliensi (adaptasi) masyarakat terhadap dampak perubahan iklim selama kurun 10-15 tahun terakhir.
Dari ketiga tren tersebut, tingkat sensitivitas dan resiliensi masyarakat diuraikan cukup bervariasi, mengingat kapasitas masing-masing daerah beragam sesuai dengan tingkat pendidikan masyarakat, kondisi desa, mata pencaharian, kemampuan adaptasi, dan kemampuan masyarakat mengakses informasi open source.
Sementara tingkat kerentanan merepresentasikan temuan yang cukup seragam, yakni sebanyak 5 dari 6 daerah sampel yang diobservasi memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim.
Ditemukan bahwa perubahan iklim (climate change) bukanlah istilah yang lazim dipakai dalam Masyarakat Manggarai.
Beberapa daerah, kecuali Goloworok, Colol, dan Ruteng, menyebut situasi perubahan iklim dengan fenomena perubahan curah hujan yang belakangan jadi persoalan serius.
Bagaimana pun juga, tingkat sensitivitas masyarakat terhadap perubahan iklim juga diukur melalui pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim itu sendiri, serta dampak dan cara memitigiasi.
Kendati demikian, mereka tetap menyadari adanya fenomena peristiwa alam selama kurun 10-15 tahun belakangan.
Perubahan paling signifikan terjadi pada sector pertanian, yakni merosotnya hasil panen, berubahnya pola tanam masyarakat karena curah hujan tidak menentu, naik-turunnya debet air, serta ledakan populasi hama yang semakin tidak terbendung.
Di beberapa daerah, seperti Wewo, Colol, Rai, dan Goloworok, misalnya, masyarakat mengeluhkan hasil panen yang merosot drastis dalam tahun-tahun terakhir.
Bahkan tahun ini, Desa Wewo mengalami kerugian sangat parah karena gagal panen.
Sebanyak 5 dari 6 daerah penelitian sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kelima daerah tersebut yaitu Wewo, Colol, Goloworok, Rai, dan Tal.
Hal ini karena sebagian besar daerah atau komunitas tidak memiliki kemampuan adaptasi, sebaliknya memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam.
Jika terjadi sedikit saja gangguan/disaster pada kondisi alam, maka perubahan kehidupan masyarakat akan berubah.
Kerentanan masyarakat pada sisi infrastruktur cukup bisa diatasi namun ada beberapa daerah yang infrastruktur vitalnya justru mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Sementara Kota Ruteng tidak cukup rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Sementara itu, tingkat resiliensi masyarakat menunjukkan bahwa daerah-daerah dengan tingkat kerentanan yang tinggi tidak cukup resilien terhadap dampak perubahan iklim.
Kapasitas penyangga masyarakat bergantung pada kondisi alam. Sehingga ketika terjadi gangguan pada sektor-sektor strategis pangan, masyarakat tidak siap – mereka tidak memiliki cadangan pangan baik pada level rumah tangga maupun level desa.
Resiliensi yang buruk ini juga diukur sejauh mana intervensi pemerintah local terhadap kebutuhan-kebutuhan vital masyarakat.
Selain itu, penyebarluasan informasi tentang perubahan iklim masih kurang teramplifikasi hingga ke semua lapisan masyarakat.
Hanya dua daerah, yaitu Wewo dan Ruteng, yang menunjukkan tingkat resiliensi cukup tinggi.
Sebagian besar masyarakat, khususnya petani di dua wilayah tersebut, dengan inisiatifnya sendiri mengubah jadwal tanam dan jenis tanaman yang dibudidayakan.
Selain itu, Pemerintah Daerah, khususnya Ruteng, juga telah berupaya untuk meningkatkan ketersediaan pangan melalui berbagai program.
Rumah Pangan Lestari, misalnya, yang memanfaatkan pekarangan rumah untuk ditanami berbagai jenis varietas yang mudah diolah (sayur, umbi-umbian, dll).
Tentunya dengan melihat fenomena-fenomena dan temuan di atas, langkah untuk memitigasi dampak perubahan iklim di Manggaai sudah semestinya didesak.
Ada beberapa rekomendasi penting dalam kajian ini. Utamanya, rekomendasi-rekomendasi tersebut dibuat untuk sedikitnya dapat mempengaruhi kebijakan para pemangku kepentingan, mulai dari tingkat desa hingga kabupaten/kota.
Selain itu, rekomendasi aksi untuk sensitisasi masyarakat terhadap perubahan iklim juga tidak kalah pentingnya. Berikut sejumlah rekomendasi tersebut.
1.Pembentukan jejaring masyarakat yang partisipatif untuk membahas isu perubahan iklim.
2. Penyediaan dan maintenance fasilitas/infrastruktur vital penunjang aktivitas ekonomi masyarakat.
3. Pembentukan forum anak muda sebagai penggerak aksi mitigasi perubahan iklim.
4. Masyarakat khususnya petani perlu diperkuat baik di tingkat pengetahuan maupun keterampilannya mengenai permasalahan dan dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian.
5. Perlu didorong upaya peningkatan cadangan pangan pada tingkat rumah tangga dan juga desa yang dikelola dengan baik, seperti daerah pangan lokal.
6. Pemerintah memberikan pendampingan dan monitoring terhadap program mitigasi perubahan iklim agar dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
7. Pengembangan strategi yang dapat meningkatkan kemampuan adaptasi dan ketahanan masyarakat memerlukan keterlibatan semua pemangku kepentingan dan seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya pemerintah desa.
Sumber: Siaran pers Ayo Indonesia