Labuan Bajo, Vox NTT- Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng mendesak Pemerintah Daerah Manggarai Barat segera memperbaiki bendungan Wae Cebong.
Ketua Presidium PMKRI Ruteng Yohanes Nardi Nandeng menjelaskan, bendungan Wae Cebong yang terletak di Desa Compang Longgo, Kecamatan Komodo, mengairi Persawahan Satar Walang seluas 582 hektare.
Sawah tersebut milik warga tiga desa yakni Desa Compang Longgo, Golo Bilas, dan Desa Macang Tanggar.
Terdapat kurang lebih 2.000 kepala keluarga pemilik lahan persawahan tersebut yang menggantungkan mata pencahariannya pada hasil panen padi, baik itu untuk kebutuhan sehari dan maupun membiayai sekolah anak-anak mereka.
Hasil panen setahun diperkirakan 10.000 ton, dan menjadi “mangkuk” beras Labuhan Bajo, yang menjadi lumbung kebutuhan beras bagi kurang lebih 50.000 manusia untuk makan selama setahun.
Apabila gagal panen terjadi di Persawahan Satar Walang, maka harga beras di Labuan Bajo menjadi naik.
Namun, kata Nardi, bendungan Wae Cebong tidak bisa berfungsi mengalirkan air lagi, akibat dari telah munculnya Daerah Aliran Sungai Baru (DAS Baru) sejak tahun 2021.
Ia menegaskan, DAS baru tersebut terjadi akibat dari aktivitas pertambangan galian C yang dilakukan oleh Perusahaan Kelompok Handel Berseri, yang dengan serakahnya menambang di sisi timur bendungan Wae Cebong.
Akibatnya, air sungai Wae Mese tidak lagi melewati DAS Lama tepat DAM bendungan Wae Cebong berada.
“Masyarakat telah berupaya berulang-ulang kali melakukan penolakan terhadap aktivitas pertambangan, akan tetapi tidak pernah ada penertiban dan pengawasan,” ujar Nardi dalam pernyataan sikap aksi unjuk rasa PMKRI Ruteng di Labuan Bajo, Selasa (17/05/2022).
Perjuangan Masyarakat
Nardi mengungkapkan, masyarakat setempat sudah melaporkan berulang kali terkait dengan tidak berfungsinya bendungan Wae Cebong sejak tahun 2021. Sayangnya, hingga kini belum juga kunjung diperbaiki secara permanen.
Pada 22 Oktober 2018, sebanyak 35 warga Desa Compang Longgo bersurat kepada Pemdes terkait penolakan perpanjangan IUPOP Perusahaan Kelompok Handel Berubah dan Perusahaan Kelompok Handel Berseri yang beroperasi didekat fasilitas publik seperti bronjong dan bendungan Wae Cebong.
Pemdes Compang Longgo, jelas Nardi, kemudian menindaklanjuti surat tersebut kepada Pemprov NTT dan Pemda Mabar.
Akan tetapi, surat-surat tersebut tidak pernah dijawabi, malah keluar perpanjangan izin dua perusahaan selama 5 tahun sejak 2018 hingga 2023.
Kemudian, pada masa reses dan Musrenbang tahun 2018, masyarakat sudah menyuarakan penolakan terhadap perpanjangan izin tambang dua kelompok tersebut karena lokasi WIUP dekat dengan fasilitas umum seperti bronjong dan bendungan Wae Cebong.
Tahun 2019 juga demikian. Pada 6 Februari 2019, Pemdes Compang Longgo mengeluarkan surat larangan melakukan penggalian batu dan pasir kepada kelompok Handel Berseri dan Handel Berubah karena telah terjadi kerusakan di bronjong dan bendungan Wae Cebong. Sayangnya, tidak pernah diindahkan oleh kedua perusahaan tersebut.
Lalu, pada 7 Februari 2019, Pemdes Compang Longgo bersurat ke Dinas PMD dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemprov NTT untuk meninjau kembali perpanjangan izin kedua perusaaahn karena telah berdampak signifikan terhadap fasilitas umum.
“Pada masa reses dan Musrenbang tahun 2019 masyarakat sudah menyuarakan hal yang sama,” ujar Nardi.
Selanjutnya, pada 4 Maret 2020, Generasi Compang Longgo sebanyak 46 orang bersurat ke DPRD Manggarai Barat untuk meminta tindakan Pemda Mabar menghentikan aktivitas dua perusahaan tersebut.
“Pada masa reses dan Musrenbang tahun 2020 masyarakat sudah menyuarakan hal yang sama karena sudah terjadi DAS baru,” ungkap dia.
Tidak berhenti di situ saja. Pada masa reses dan Musrenbang tahun 2021, masyarakat sudah menyuarakan hal yang sama karena sudah terjadi DAS baru dan air sudah tidak masuk ke bendungan Wae Cebong, masyarakat hanya satu kali panen mengandalkan musim hujan.
“Pada Juni 2021 terjadi permasalahan hukum yaitu lapor-melapor antara masyarakat dan pemilik Perusahaan Kelompok Handel Berseri. Akan tetapi, laporan tersebut diduga sengaja didiamkan dan tidak mendapatkan solusi perbaikan secara permanen oleh perusahaan yang melakukan kerusakan atas bendungan Wae Cebong,” jelas Nardi.
Ia menegaskan, PMKRI sebagai organisasi yang berjuang untuk menegakan nilai kemanusian, keadilan dan persaudaraan sejati.
PMKRI memandang persoalan itu adalah bentuk ketidakadilan, mengabaikan kemanusiaan, dan telah mengadu domba masyarakat. Sehingga persoalan ini harus disuarakan.
“PMKRI menerima permintaan masyarakat untuk melakukan advokasi secara mendalam. Advokasi telah dilakukan PMKRI sepanjang bulan April hingga saat ini,” tegas Nardi.
Hasilnya, lanjut dia, PMKRI menemukan kerusakan di bendungan Wae Cebong terjadi kerena adanya aktivitas galian C perusahaan yang diduga melanggar ketentuan hukum.
Ditambah lagi tidak ada satupun penanganan perbaikan serius dari pemangku kebijakan atas fakta kerusakan bendungan Wae Cebong yang telah terdampak bagi aktivitas pertanian di Persawahan Satar Walang.
Sepanjang advokasi atas persoalan ini, PMKRI mendengar begitu banyak jeritan petani yang tidak bisa lagi menanam dan terancam ketiadaan sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi ini diperparah, dengan intimidasi yang diduga didesain pihak perusahaan yang kerap didapatkan petani atas protes-protes galian C yang terus mereka lakukan,” tegasnya.
PMKRI juga menemukan bahwa ada penambang manual rakyat yang melakukan aktivitas secara baik sebagai mata pencahariaan mereka, justru terabaikan dan terpingkirkan karena tidak didorong untuk mengurus perizinan pertambangan rakyat.
“Penambang rakyat secara manual tersebut kerap berebutan lahan dengan WIUP perusahaan, akan tetapi mereka kalah secara fasilitas dan perusahaan sendiri tidak mempekerjakan mereka tetapi hanya mencatut nama mereka,” ujar Nardi.
Penulis: Ardy Abba