(Reformasi Pendidikan)
Oleh: Sobe Milikior
Eksistensi Pendidikan
Pendidikan di dunia adalah realitas terberi yang bahwasannya menembus batas kehidupan manusia. Ia ada sejak manusia mulai ada dan selalu membuat manusia eksis ada. Pendidikan hadir pada ruang serta sesuai konteks yang memberi arti dan makna bagi manusia di dunia.
Proses pencarian panjang manusia di dunia dikemas dalam kata eksistensi. Eksistensi melekat pada pribadi manusia sebagai ada yang selalu memberi, bekerja, dan saling melengkapi. Seluruh aktivitas kehidupan manusia menegaskan eksistensinya sebagai makhluk yang ada dan juga mampu meng-ada bagi yang lain (Heideger, 1949).
Pergumulan panjang mencapai eksistensi puncak kehidupan manusia tak pernah selesai. Proses yang panjang demikian tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman empiris dan pengalaman-pengalaman rasionalis manusia.
Apapun cita-cita manusia merujuk pada pembelaan akan eksistensi. Dengan demikian, cakupan khasana kehidupan manusia tidak pernah selesai dan terus-menerus menegaskan eksistensinya.
Realitas empiris dan rasionalis sebetulnya sedang menuntun manusia serentak meminta pertanggungan jawab manusia akan kehidupan yang lebih baik dan baik bagi kehidupan bersama.
Meminjam istilah puncak tentang politik dari Aristoteles, bonum commune (kebaikan bersama) bisa menjadi satu cakupan makna implisit puncak pencaharian manusia (Arendt, 1958:23).
Kompleksitas problem kehidupan manusia justru muncul bersamaan saat manusia sedang dalam perjalanan mencari jati dirinya yang utuh.
Tanggung jawab atas kehidupan bersama dengan yang lain di dunia menjadi satu tugas manusia itu sendiri. Perhelatan dalam seluruh bidang kehidupan juga menarik manusia serentak memberikan seluruhnya (totality) kepada manusia.
Di sini gugatan akan eksistensi manusia semakin dipertegas. Dengan demikian, pendidikan menjadi salah satu kunci membuka rahasia atas kehidupan dan menjadi salah satu solusi alternatif di tengah kompleksitas persoalan manusia bersama yang lain.
Pendidikan: Matahari Kehidupan
Istilah dan sebutan kata pendidikan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat biasa dan masyarakat akademis. Saya menyebut pendidikan dengan kata matahari.
Kehidupan di bumi tak ada artinya bahkan tidak bisa hidup tanpa matahari. Tumbuh-tumbuhan tidak bisa melakukan fotosintesis, hewan tidak bisa melakukan reproduksi secara sempurna bahkan manusia tak mampu melihat dan menciptakan energi lainnya tanpa kehadiran cahaya, matahari.
Jadi, tanpa matahari, bumi akan mati dan tanpa pendidikan yang berkarakter, dunia akan hancur.
Matahari memberi arti bagi kehidupan dunia dan segala isinya. Maka pendidikan seyogianya pun mampu memberi makna bagi kehidupan manusia.
Cakrawala berpikir manusia akan dibentuk, diubah bahkan dalam balutan proses yang panjang untuk menjadikannya berarti.
Maka konteks dasar yang menjadi tujuan dasar pendidikan sebetulnya memanusiakan manusia atau membuat manusia menjadi manusia yang siap memiliki dan menjadi berarti bagi dunia (Sobe Milikior dalam kumpulan Artikel Cakrawala NTT_HUT NTT ke-63_judul: Matahari Terbit di NTT).
Menurut John Dewey pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
Lebih dari itu Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah tabiat manusia dan manusia biasa.
Dengan demikian, melalui pendidikan, manusia dibentuk dan dibekali pengetahuan dan keterampilan sehingga mampu menjadi agen pembebasan bagi dirinya dan bagi orang lain.
Pengalaman adalah basis pendidikan atau pengalaman sebagai sarana dan tujuan pendidikan (Dewey, 2004). Oleh karena itu, pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus-menerus.
Pendidikan karakter dan karakter yang baik adalah dua kata yang selalu melekat erat dan tidak boleh dilepaspisahkan antara satu dengan yang lain.
Secara umum bisa diartikan bahwa pendidkan karakter sebagai fakta induk dalam tubuh pendidikan dunia.
Dunia memiliki arti bagi kehidupan dan atau dunia akan dihancurkan oleh manusia. Ya , realitas ini tetap mengarah pada tanggung jawab manusia, pada pendidikan manusia. Masa depan dunia ada pada pendidikan manusia.
Pendidikan bagaikan pedang yang selalu diasah dan terus diasah, ia tajam, membantu dengan cepat aktivitas manusia.
Namun, ia sangat serem, bahaya dan menakutkan ketika salah digunakan, bisa membunuh sesama manusia dan menghancurkan dunia.
Dengan demikian, pendidikan yang salah akan mengganggu tatanan hidup manusia dan sebaliknya pendidikan yang benar serta berkarakter menjadi solusi dan jalan menuju dunia yang sejahtera.
Pendidikan karakter merupakan akumulasi watak, sifat, dan kepribadian individu yang mengarah pada keyakinan dan kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Mengacu pada pengertian di atas, pendidikan karakter memiliki fungsi dasar untuk mengembangkan potensi seseorang agar dapat menjalani kehidupannya dengan bersikap baik.
Dalam lingkup pendidikan formal, pendidikan karakter di sekolah berfungsi untuk membentuk karakter peserta didik agar menjadi pribadi yang berakhlak mulia, bermoral, tangguh, berperilaku baik, dan toleran.
Reformasi Pendidikan pada Kemampuan Olah Pikir dan Olah Hati
Pendidikan orang muda bukan hanya persiapan untuk hidup nanti, tetapi sudah merupakan kehidupan sendiri (Knight, 1982:66). Pendidikan sudah ada sejak manusia ada dalam kandungan ibu. Saat itu pendidikan itu sudah mulai.
Sehingga pendidikan dan cakupan persoalan sekarang adalah paragraph-pragraf hidup menuju alinea kehidupan yang penuh nilai.
Lantas, nilai-nilai budaya bangsa yang berbudi luhur itu yang seperti apa? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan nilai-nilai pendidikan karakter sebagai prioritas pengembangan Penguatan Pendidikan Karakter. Dan lima karakter utama yang turut menetukan pentingnya pendidikan karakter.
Pertama, Religius diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan lain.
Kedua, Nasionalis ditunjukkan melalui apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku, dan agama.
Ketiga, Integritas yaitu meliputi sikap tanggung jawab, konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran, menghargai martabat individu, serta mampu menunjukkan keteladanan.
Keempat, Mandiri yaitu menjadi pembelajar sepanjang hayat, mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi, dan cita-cita.
Kelima, Gotong royong yaitu sebuah harapan agar peserta didik menunjukkan sikap menghargai sesama, dapat bekerja sama, inklusif, tolong menolong, memiliki empati dan rasa solidaritas.
Nilai-nilai sebuah pendidikan tentu dengan harapan besar menuju pada pembentukan karakter diri sejati yang baik, benar dan bijaksana. Namun, kegagalan atau keberhasilan pendidikan karakter anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya naluri, kebiasaan, hereditas, dan lingkungan.
Di sisi lain, Penguatan Pendidikan Karakter melibatkan keluarga, sekolah, dan komunitas. Maka, sekolah sebagai bagian dari lingkungan memiliki peran penting dalam pendidikan karakter anak.
Di sekolah pula, pendidikan karakter bangsa dapat dibangun melalui kegiatan rutin sehari-hari maupun keteladanan dari Guru Pintar. Penguatan Pendidikan Karakter di sekolah juga dapat diintegrasikan melalui kegiatan ekstrakurikuler, kokurikuler, dan intrakurikuler.
Pendidikan pada Tubuh Dunia Milenial
Pendidikan dalam wajah cantik dunia meski dibingkai dalam goresan-goresan ilmiah yang tak akan terhapus oleh usia dan waktu.
Maka tuntutan dunia milenial pada pendidikan seperti gerakan literasi dunia, literasi nasional dan literasi sekolah seperti yang dipertegaskan kembali oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia meski terus ditingkatkan.
Pada dasarnya, Penguatan Pendidikan Karakter melibatkan literasi (olah pikir), etika dan spriritual (olah hati), estetika (olah rasa), dan kinestetik (olah raga). Ungkapan Sein und Zeit dari Heidegger (Guignon, 1993:89) bahwa manusia menegesakan eksistensinya dalam seluruh proses perjuangan hidupnya.
Manusia memberi nama pada proses panjang kehidupan itu, sejarah. Sejarah dalam deretan kisah waktu dan diberi arti oleh keberadaan manusia yang membuat literasi itu mengalir.
Coretan-coretan itu dilukiskan dalam waktu oleh sang ada, sehingga semuanya indah. Sekali tertulis, tetap tertulis untuk waktu, dunia dan manusia.
Saya sedikit mengambil nilai pendidikan keluarga Pater Justin Russolillo (Santo pelindung dan pendiri biara Vocationist/SDV) yang dimulai dari kehidupan keluarga yang religius dan disiplin yang tinggi.
Kehidupan seperti ini adalah sebuah penegasan Dasein atau Being in the world (Barton&Deutsch, 1949:17) dalam sejarah dunia.
Eksistensi manusia semakin diperjelas dan kehidupan manusia dipertajam dalam usaha memahami makna hidup dan dunia kehidupan.
Literasi membawa manusia pada pemahaman yaitu untuk saling memahami satu dengan yang lain, di mana bersama orang lain suatu pengalaman terjadi dan menempatkannya dalam teks kehidupan itu sendiri.
Orang lain menjadi teks bagi pemahaman manusia dalam seluruh realitas pengalaman hidupnya di dunia.
Seni berbicara (kolaborasi olah pikir vs olah hati) membawa manusia pada seni memahami satu sama lain.
Maka seni ber-pikir (filsafat) dan seni ber-hati (etika) menjadi dua elemen penting bagi kehidupan manusia dalam dunia pendidikan. Pendidikan mengajarkan manusia untuk selalu bijaksana (Sobe, 2021:40)
*Sobe Milikior (sapaan Melky), menyelesaikan Sarjana di STFK Ledalero (2012) Maumere, Pascasarjana CRCS UGM Yogyakarta (2016), kini mengabdi sebagai praktisi pendidikan, peneliti masalah-masalah sosial, politik, budaya, agama dan ham di NTT.
Beliau Pendiri Forum Peduli Ham Manggarai, aktif menulis buku, artikel, opini dan berita pada Kampus UNIKA St. Paulus Ruteng.